Categories
kesehatan

Akira 2: Seharian Berpartner dengan Bocah 3 Tahun

Setelah berwisata medis tiga hari berturut-turut, besoknya, istri saya merasakan kontraksi sekitar pukul 2 dini hari. Semula, dia mengira itu kontraksi palsu, sebagaimana yang pernah dirasakannya sebulan silam. Makanya dia cuek saja, walaupun ada rasa curiga juga. Saya sendiri bersikap, “Tunggu dululah.”

Partner saya kali ini adalah bocah berumur 3,5 tahun

Kontraksi berikutnya terasa kira-kira pukul 6.30. Juga, dua jam kemudian yang bahkan disertai keluarnya sedikit darah dan lendir. Tetap, saya memintanya menunggu. Jika memang itu tanda-tanda akan melahirkan, pasti kontraksinya akan berulang dan semakin intens.

Sekitar pukul 10, ada kontraksi lagi. Kontraksi yang menurutnya masih lemah. Jadi, saya masih ragu untuk berangkat ke rumah sakit. Sebab, seandainya kami ke sana berbekal kontraksi palsu, kami akan kecele, kecewa, dan harus pulang dengan tangan hampa, bahkan bukan mustahil dikenakan biaya pemeriksaan.

Tapi saya juga tidak mau kecolongan. Makanya, saya akhirnya menanyainya, “Feeling Bunda gimana soal ini?”

Feeling-ku, sih, nggak enak,” jawabnya mantap.

Hm…. Ya sudahlah, saya matikan laptop. Saya percaya pada insting istri saya. Tanda-tanda kelahiran anak pertama dulu juga berdasarkan instingnya. Syahdan, pada Kamis, 9 Juni 2016, pukul 10.10, kami berangkat ke RSI bersama putri sulung saya, Kiara, yang jelas tidak mau ditinggal di rumah.

Ruang IGD

Di RSI, kami masuk ke bagian Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan mengurus administrasinya. Lalu, istri saya dipersilakan masuk ke ruang Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency Komprehensif (PONEK) untuk pemeriksaan bagian dalam, tensi, darah, serta detak jantung sang janin.

Kamar PONEK di IGD

Pemeriksaannya sendiri memakan waktu satu jam lebih. Mereka memeriksa istri saya setelah dua pasien bersalin lainnya.

Sembari itu, saya diminta memberesi administrasi di Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap (TPPRI). Namun sebelumnya, saya bertanya apakah kelahiran benar-benar akan terjadi.

Bidan itu menjawab, “Iya, Pak. Ini sudah bukaan 3.”

Saya manggut-manggut. Berarti, sekali lagi, insting istri saya benar.

Mengantongi surat dari bidan IGD, saya berjalan ke TPPRI ditemani putri saya yang berumur 3,5 tahun. Di sana, petugasnya menjelaskan mengenai hak dan kewajiban keluarga pasien. Diterangkan pula alur pasien BPJS dan jam besuk. Tapi saya sedang malas berpikir. Saya tanda tangan saja. I don’t read what I sign.

Urusan TPPRI beres, mereka meminta saya membeli pembalut khusus untuk ibu melahirkan di apotek rumah sakit. Harganya 35.000. Itu tidak ditanggung BPJS, katanya.

Ruang Mawar

Sekembalinya dari apotek, istri saya sudah ditransfer ke Ruang Mawar dengan baju pasien berwarna pink. Di tempat persalinan normal itu, sekali lagi, saya menandatangani beberapa kesepakatan, antara lain tentang program ASI eksklusif enam bulan, vitamin K, dan vaksin Hepatitis B.

Kamar bersalin: penuh ketegangan sekaligus harapan

Pukul 12.01, istri saya sudah berada di Ruang Bersalin. Sialnya, anak kecil tidak boleh masuk. Sementara Kiara menempel terus ke saya, padahal biasanya dia menempel ke bundanya. Ketika orangtua saya datang pun Kiara menolak ikut mereka. Menempel terus ke saya, pokoknya!

Tapi saat Kiara lengah, saya berhasil menyelinap masuk dan menemui istri saya yang berbaring di dipan. Dia mengaku, kontraksinya sekarang tiap 10 menit. Tapi tidak dahsyat. Daripada bosan tiduran, saya suruh dia keluar saja menemui Kiara dan mertuanya.

Baru saya sadar, Kiara belum makan siang. Saya bingung. Makanan yang dijual di sini pastinya porsi dewasa. Tidak mungkin Kiara menghabiskannya. Terus, siapa yang akan memakan sisanya? Kami semua berpuasa. Sementara istri nanti mendapat jatah dari rumah sakit.

Sambil berpikir mau beli apa, saya mengajak Kiara salat Duhur di Masjid RSI dulu. Kiara yang senang sekali dengan air kontan bersemangat melihat kolam kecil (untuk membasuh kaki pengunjung masjid) di area wudhu. Dia pun kecek-kecek dengan riangnya.

Asyik! Saya jadi punya “senjata” untuk menghiburnya seandainya rewel nanti: kecek-kecek di tempat wudhu masjid.

Setelah salat, saya memutuskan membeli Dunkin Donuts saja di dekat lobi rumah sakit.

Saya melihat, wajah RSI Jemursari telah banyak berubah dibanding tiga tahun lalu ketika kami mempersiapkan kelahiran Kiara. Untuk mendapatkan nomor antrean dan mendaftar, kini sudah ada mesin otomatisnya.

Mesin otomatis untuk registrasi dan mengambil antrean

ATM Center-nya juga kian lengkap. Ada gerai-gerai makanan, vending machines, bahkan butik. Ah, rumah sakit modern sekarang sudah mirip bandara saja.

Ada gerai makanan, butik, dll. di RSI Jemursari

Sembari membalasi SMS dan telepon dari keluarga di Garut dan Bandung yang menanyakan kabar terbaru, saya menyuapi Kiara di lorong menuju Ruang Mawar. Syukurlah, satu donat besar cepat habis di mulut Kiara. Kami pun kembali ke Ruang Mawar.

Sudah pukul 14.15 begini, ternyata istri saya belum mendapatkan makan siangnya. Orangtua saya sampai menawarkan diri untuk membelikannya lantaran tidak tega. Saya mengiyakan saja, sambil memberikan selembar 50.000. Karena penampilan rumah sakit ini sudah mirip bandara, pasti harga seporsi makanannya pun selevel mal.

Setelah istri saya kenyang dengan nasi kotak serta satu sachet madu yang dibelikan orangtua saya dan Kiara berhasil ditidurkan, saya ambil kesempatan untuk pulang. Saya ingin men-charge ponsel (karena tak ada colokan untuk umum di Ruang Mawar), mandi, salat Asar, ambil beberapa barang, juga membawa bekal nasi untuk berbuka, meskipun tanpa lauk karena istri belum sempat masak tadi.

Sekitar satu jam berikutnya, yaitu pukul 16.17, saya sudah berada di RSI lagi.

Tak ada perkembangan signifikan. Istri saya masih bebas berjalan-jalan. Bahkan tanpa infus, tidak seperti pasien sebelah.

Lalu, orangtua saya pulang. Formasi tim pun kembali duet: saya dan Kiara. Hahaha, lucu juga berpartner side by side bersama seorang balita. Misi utamanya mengawal proses kelahiran bayi kedua di keluarga kecil kami.

Sayangnya, misi ini agak membosankan. Pemandangan di sini hanyalah para bidan yang mondar-mandir, para perawat magang yang tanpa sungkan duduk-duduk memenuhi kursi tamu, keluarga besar pasien-pasien lain, termasuk anak-anak kecil yang berlarian ke sana kemari. Televisi pun hanya menayangkan FTV RCTI yang berkisah tentang percintaan remaja.

Kami hanya bisa menunggu, entah sampai kapan. Atau, jangan-jangan, kelahiran baru terjadi tengah malam seperti persalinan Kiara dulu. Kalau itu yang terjadi, bagaimana Kiara? Nanti mau tidur di mana? Di sofa? Di lantai?

Sempat terpikir untuk tidur di Masjid RSI yang letaknya puluhan meter dari Ruang Mawar. Tapi bagaimana kalau istri saya tiba-tiba membutuhkan saya?

Juga, bagaimana kalau Kiara rewel? Sementara “pawangnya” sedang di dalam Kamar Bersalin, tidak boleh diusik.

Allahu Akbar, Allaaaaaaaahu Akbar…. azan Magrib berkumandang. Saya segera meminum botol bekal kami. Lalu pamit ke istri untuk berbuka bersama Kiara.

Melihat jamaah Masjid RSI membludak, saya memutuskan berbuka dulu. Tak perlu takjil, saya langsung beli sate di halte depan RSI. Sepuluh tusuk sate kami santap berdua, dengan nasi bekal dari rumah. Belum kenyang, kami lanjutkan dengan menghajar pentol bumbu kacang di sebelahnya.

Setelah itu, baru kami pergi ke masjid dan mengambil air wudhu. Kiara girang bisa kecek-kecek lagi.

Masjid RSI sebenarnya menyediakan takjil dan nasi gratis. Tapi ribet kalau harus berebutan, sementara saya harus menjaga Kiara. Lagipula, nasi-nasi itu sudah tinggal kardus-kardusnya ketika kami selesai wudhu. Perut kami pun sudah penuh oleh sate dan pentol.

Selesai salat Magrib, kami kembali ke Ruang Mawar. Istri saya masih bisa jalan-jalan dan mengobrol seperti biasa. Hanya, dia mengaku, “Kontraksinya sekarang tiap lima menit. Tadi diperiksa, katanya bukaan 4 menuju 5.”

Sudah berjam-jam, bukaannya baru menuju 5? “Tapi udah dikasih makan malam?” tanya saya.

“Udah, barusan.”

Kami meneruskan mengobrol untuk membunuh waktu. Termasuk mengobrol dengan keluarga pasien sebelah. Kasihan. Bumil mereka harus dioperasi lantaran mengejan sejak siang, dan ketuban sudah pecah, tapi jabang bayinya tak kunjung keluar. Katanya, panggulnya kurang besar. Akhirnya, diputuskan operasi sesar di lantai dua.

Dalam hati, saya berdoa untuk bumil itu, juga untuk istri saya supaya tidak mengalami hal serupa. Sesar bukan hal yang buruk. Tapi kalau bisa, janganlah. Karena itu lebih menyiksa sang ibu hari-hari, bahkan tahun-tahun, ke depannya. Juga menyiksa sang ayah karena biayanya bisa tiga kali lipat dari persalinan normal.

“Aku jalan-jalan dulu,” kata istri saya.

“Ke mana?”

“Keliling sini-sini aja. Biar ‘lebih cepet’. Penpen ikut?”

“Ngg… iya!” jawab si bocah. Seperti biasa, dia berpura-pura mikir dulu sebelum menjawab. Entah meniru siapa. Mungkin dipikirnya gaya seperti itu keren.

Tapi, saya jadi tenang melihat Kiara masih ceria hingga detik ini. Belum loyo. Tidak terlihat bosan. Bahkan ketika azan Isya berkumandang, balita itu bersemangat mengajak saya salat di masjid. Ah, kalau ini, saya tahu maksudnya. Pasti dia ingin kecek-kecek!

Saya menolaknya. Karena akan ada salat Tarawih di sana. Tak mungkin saya ajak Kiara salat Isya plus delapan rakaat tarawih dan tiga rakaat witir, apalagi berjamaah begitu. Pasti dia tak sabar untuk segera selesai. Jadi, saya memutuskan salat Isya setelah jamaah itu pulang saja.

Sementara itu, situasi di sini berkembang semakin menjemukan. Mau main game Tahu Bulat yang baru saya instal di ponsel, baterai ponsel saya sekarat. Malam masih panjang, dan saya harus mencadangkan daya untuk menelepon atau menerima telepon keluarga Surabaya, Garut, atau Bandung. Kabar buruknya, saya merasa ponsel ini akan tewas sebelum waktunya.

Makanya, saya nekat saja menghujamkan charger ke colokan dekat televisi. Ponselnya sendiri saya taruh di atas receiver televisi yang agak panas. Biarlah, yang penting baterainya terisi. Cara ini kemudian ditiru tamu-tamu yang lain.

Ruang Az Zahra

Tiga teman sebaya Kiara, yakni bocah-bocah usia 2-10 tahun itu, sudah tak terlihat lagi di ruang tunggu. Semua sudah dipulangkan. Tinggal Kiara yang setia di sini. Saya kasihan juga, sebenarnya. Andai dia mau pulang bersama eyangnya, saya tak keberatan jaga di sini seorang diri. Tapi repotnya, Kiara maunya bersama saya. Atau bersama bundanya.

Sekitar pukul 20, seorang suster mengantarkan saya ke kamar pasien yang dapat dipakai untuk tiduran. Ruang Az Zahra 1, Kamar 109. Jaraknya hanya tujuh meter dari Ruang Mawar. Saya langsung membatin, “Aduh, kenapa nggak dari tadi, sih, Mbak!”

Kamar 109 di Ruang Az Zahra

Saya pamit ke istri untuk bergeser ke sana. “Kalau butuh apa-apa, telepon aja. Soalnya, SMS susah, nggak nyampai-nyampai. Selain sinyal di gedung ini lemah, juga nggak praktis. Tapi kalau Bunda menelepon aja udah nggak kuat, minta aja susternya yang telepon atau pergi ke Kamar 109. Aku bakal segera datang.”

“Tapi nanti Penpen jangan ditinggal,” pesan istri saya.

“Nggaklah. Penpen nanti kubangunin juga.”

Istri saya pun balik ke Kamar Bersalin di Ruang Mawar, sedangkan saya ke Kamar 109 di Ruang Az Zahra 1.

Ruang tidur ini cukup nyaman. Ada dua kamar mandi yang luas, dua wastafel, dan enam bilik masing-masing seukuran 2 x 3 meter persegi. Bersih, ber-AC, ada colokannya, dan kasurnya begitu menggoda. Kiara bersorak. Barangkali dia menyangkanya kamar hotel.

Kamar mandi di ruang Az Zahra, luasnya 2 x 3 meter persegi

Baterai ponsel terjamin, saya pun berani internetan, memeriksa linimasi Facebook, Twitter, bahkan bermain Tahu Bulat sebentar. Setelah itu, kami menggosok gigi, wudhu, dan salat Isya di bilik. Lalu, kami berbagi ranjang single itu. Mata sudah sepet dan mengantuk, saya ingin segera tidur.

Lalu ponsel saya berbunyi. Papa menelepon. Begitu tersambung, langsung memprotes, “Kok SMS nggak dibales?”

“Lho, nggak ada SMS,” saya heran.

Yo wis, Papa ini sudah di Ruang Mawar sekarang.”

Waduh, saya pun mengajak Kiara balik lagi ke Ruang Mawar. Saya sebenarnya berharap mereka datang nanti saja kalau saya benar-benar butuh bantuan. Sekarang, sih, keadaan masih aman terkendali. Tapi mungkin gara-gara SMS yang tidak sampai itu, ada miskomunikasi, dan mereka memutuskan datang langsung.

Mama membawakan makanan buat sahur saya atau sarapan Kiara. Isinya seporsi nasi, telor ceplok, dan kering tempe. Lumayanlah, saya jadi tak perlu bingung lagi mencari makanan menjelang sahur nanti. Soal sarapan Kiara, urusannya besok saja.

Hanya 15 menit kami mengobrol-ngobrol. Lalu orangtua saya menengok kamar 109. Kemudian mereka pulang. Alasannya, sudah mengantuk.

Saya memeriksa layar ponsel. Sudah pukul 21.24. “Ayo, Penpen. Waktunya bobo!”

Sayang, Kiara malam ini susah sekali diajak kerjasama. Kami memang berpartner. Tapi, bukan partner yang kompak!

Daripada stres menunggu bunda, yuk kita wefie dulu

Bayangkan, selarut ini dia tak kunjung tidur. Maunya mengajak bercanda terus. Mencubit-cubit lengan saya, mengoceh, menawarkan jasa pijat atau injak-injak punggung saya, membuka-tutup korden yang menghubungkan bilik kami dengan bilik pasien tetangga.

“Kita tunggu bunda datang, ya,” celetuknya sambil tertawa. “Nanti bunda bilang apa kalau tahu kita di sini?”

Aduuuuh, ini anak belum paham apa itu persalinan, rupanya!

Tapi yang horor itu sewaktu dia membuka korden dan bertanya, “Yayah, itu siapa?”

Ruangan seluas 5 x 15 meter persegi ini sepi. Kami satu-satunya pasien di sini. Saya tak mau berspekulasi macam-macam. Terlebih saat istri saya sedang berjuang di ruang seberang. Maka saya menyuruh Kiara diam dan tidur.

“Tapi itu siapa?” ngeyelnya.

“Ah, sudah, sudah! Tutup kordennya. Penpen bobo!”

Namun, Kiara tidak menurut. Dia hanya diam. Lalu pura-pura mengorok (entah meniru siapa, karena kami berdua tidak ngorok ketika tidur). Trik klasik supaya saya mengiranya sudah tidur. Partner yang menjengkelkan, bukan?

Sialnya, saya sendiri ternyata juga susah tidur. Harap-harap cemas dengan keadaan istri saya. Apakah alasan ini juga yang membuat Kiara sulit tidur? Sangat mungkin.

Di tengah-tengah kondisi “melek segan tidur pun enggan” itu, pada pukul 21.45, seorang suster datang. “Pak Brahmanto?” sapanya. “Bu Indrie minta ditemani. Sudah bukaan 8.”

Saya langsung, “Hah?”

Kiara spontan bangun dan menghentikan aksi pura-pura tidurnya, “Ayo kita ke bunda, yuk!”

Saya kepikiran lagi. Problemnya, saya takkan boleh masuk ke Kamar Bersalin itu karena ada Kiara. Alamat, saya tidak bisa ada di samping istri saat melahirkan. Tidak seperti saat Kiara lahir dulu.

Akhirnya, saya menelepon orangtua saya. Meminta bantuan mereka. Seperti warga Gotham yang menyalakan projektor bergambar kelelawar ketika meminta bantuan Batman. Mama bilang siap dan akan berangkat sebentar lagi.

Rencananya, saya akan meminta mama untuk menemani istri saya di dalam. Sementara saya, Kiara, dan kakungnya menunggu di luar.

Pukul 22.20, istri saya menelepon. Saya angkat, orang di seberang tidak kunjung bicara. Ini pasti bidannya, batin saya. Tapi lantas istri saya bicara juga. Suaranya terengah-engah, “Udah lahir! Cewek!”

Setengah tercengang, saya mengucap, “Alhamdulillaaaaah…!”

Lho, tapi kok perempuan? Bukan apa-apa, sejauh ini para bidan di Rumah Zakat memprediksi bayi kami laki-laki. Kami juga kadung menyiapkan nama pria. Belum siap nama perempuan sama sekali.

Tak lama kemudian, orangtua saya datang. Saya sampaikan kabar gembira itu. Mereka lega.

Kami pun mengobrol lagi di ruang tunggu sambil menanti jabang bayi itu dibawa keluar. Saat ini, para bidan sedang memandikannya, menimbang, dan menjalankan berbagai SOP lainnya pasca kelahiran. Lama sekali. Bahkan sampai orangtua saya pulang lagi, bayi itu belum dirilis juga.

Bersama Kiara, saya kembali ke Ruang Az Zahra. Sudah ada dua rombongan tamu di sana, menempati bilik di kanan dan kiri kami. Ruangan jadi hangat, tidak menyeramkan lagi. Tapi sekaligus jadi berisik.

Untungnya, beban mental saya sudah lenyap. Plong! Harusnya saya bisa lekas tidur, saat ini. Namun anehnya, saya masih insomnia. Entah zat apa yang membuat saya dan Kiara tetap terjaga hingga dini hari begini. Endorfin atau adrenalin. Yang jelas bukan kafein.

Toh, saya bisa tidur juga. Tapi rasanya baru lima menit saya terlelap ketika terdengar suara pintu dibuka. Saya intip korden. Seorang bidan mengantar istri saya dengan kursi roda. Sudah pukul 1.57, Kiara sudah pulas.

Saya dan istri mengobrol-ngobrol sebentar. Lalu, saya mengungsi tidur ke bawah. Istri saya tidur di ranjang bersama Kiara. Saya manfaatkan selimut tebal RSI yang empuk sebagai matras di lantai. Untuk bantal, saya gunakan ransel carrier yang saya lapisi dengan baby coat bertekstur lembut. Dibuat nyaman sajalah.

Tidur sebentar, lalu bangun lagi pukul 3.15. Saya sahur, dengan menu kiriman orangtua. Dan setelah salat Subuh, saya lanjut tidur.

Sekitar pukul 7, seorang perawat mengantarkan bayi kami. Nah, ini dia sosok yang saya tunggu-tunggu sejak kemarin malam. Bahkan sejak sembilan bulan yang lalu.

Putri kedua kami akhirnya dirilis :)

  • Photos by Brahmanto

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

8 replies on “Akira 2: Seharian Berpartner dengan Bocah 3 Tahun”

Yang jual orang Madura itu, kan? Memang enak ya sate situ. Dagingnya gemuk-gemuk empuk. Hehehe. Aku kemarin beli seribu per tusuk.

This high-speed train travels with a speed of 350 kph from Madrid to Barcelona.
Top Spain City Breaks Barcelona, Madrid, Valencia, Palma de Mallorca, Ibiza Town, Seville, Granada,
C. Valencia Football Club – There is a good deal of popularity
and craze for the club that is certainly referred to as Valencia FC.
andal recently posted..andalMy Profile

Leave a Reply to Jihan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index