Categories
reviu

Berlebaran dengan Tontonan Kontroversial

  • Virgin: Ketika Keperawanan DipertanyakanJudul film: Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan
  • Penulis: Armantono
  • Sutradara: Hanny Saputra
  • Pemain: Laudya Chintya Bella, Ardina Rasti, Angie, Uli Auliani, Henidar Amroe, Ayu Azhari, Unique Priscilla, Tio Pakusadewo, Ari Sihasale, dll.
  • Durasi: 114 menit
  • Tahun rilis: 2004
  • Produksi: Indonesia

Pemutaran perdana Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan di salah satu bioskop Surabaya cukup unik. Selama ini, untuk menonton film bersegmen remaja biasanya penonton datang dengan rombongan, atau bersama sang pacar. Tapi kali ini agak beda. Demografi penonton didominasi pria. Malahan banyak yang “berani” datang sendirian.

Dari 80-an kursi di teater, saya melihat tiga perempatnya terisi. Padahal hari-hari begitu penonton biasanya sepi. Menjelang dan sesudah Idhul Fitri, penduduk Surabaya yang lebih dari 2,5 juta jiwa dapat menciut hingga separuhnya. Normalnya, itu akan diikuti dengan menyusutnya jumlah konsumen bioskop, apalagi pada H-2 Lebaran seperti saat itu.

Jadi, bila hari itu penonton menjejali ruang teater, ini merupakan prestasi pertama bagi Virgin.

Namun barangkali medialah sang Pahlawan dalam hal ini. Masih segar dalam ingatan, koran-koran seakan berlomba-lomba untuk mengulas Virgin menjelang pemutaran perdananya.

Marak pula publikasi dari media elektronik maupun internet. Beberapa di antaranya memang sinis mengkritik, namun ujung-ujungnya justru membuat pasar kian penasaran terhadap film yang disutradarai Hanny R. Saputra ini.

Sejak awal, Virgin dicap “kelam”, “berani” bahkan “vulgar” oleh media-media tersebut. Padahal sebelumnya, sekitar Agustus silam, Buruan Cium Gue yang dramatisasinya tak sevulgar ini dicekal lantaran divonis memberi pengaruh buruk pada remaja.

Maka, jika pencekal Buruan Cium Gue konsisten dengan sikapnya, masyarakat akan menyaksikan tontonan yang lebih seru ketimbang film Virgin sendiri. Tontonan tersebut tak lain adalah perang opini dan aksi antara yang mendukung dan yang menentang.

Yang saya amati, saat Buruan Cium Gue ditarik dari peredaran, timbul pro-kontra. Yang pro terhadap penarikan itu berdiri dengan gagah di bawah bendera moral. Sementara yang kontra memosisikan diri sebagai pendekar freedom of expression (kebebasan berekspresi).

Ada pula kelompok pasif yang mengamini kelompok pertama dengan alasan lain. Mereka menilai Buruan Cium Gue kurang bermutu secara filmik sehingga tidak ada ruginya bila izinnya dicabut.

Namun, “Sangat disayangkan bila Virgin nantinya harus bernasib dengan Buruan Cium Gue. Bagaimanapun, film adalah sebuah produk budaya yang akan berhadapan dengan beragam budaya dalam masyarakat yang jadi pasarnya,” komentar Antoni, salah satu penonton.

Kekawatiran pria ini tidak berlebihan. Pencekalan serupa amat mungkin akan dialami Virgin. Seperti apa sih film ini?

Virgin bertutur tentang gadis 16 tahun, Biyan (Laudya Cynthia Bella), yang mencoba mempertahankan keperawanannya di tengah zaman yang superbejat. Tidak seperti Biyan, tokoh Stella (Ardina Rasti) dan Ketie (Angie) yang notabene adalah teman se-gank Biyan mempunyai prinsip yang begitu moderat soal keperawanan. Mereka tak segan melacur hanya demi membeli ponsel berkamera atau membela teman yang diejek.

Resep yang digunakan di sini tak jauh dari standar kaku film remaja selama ini: Ada mobil mentereng, cowok dan cewek mulus, serta tokoh melarat yang justru modis secara fashion maupun tatanan rambut. Cuma satu yang melenceng dari pakem tersebut, yaitu kevulgaran yang berserakan sepanjang film berdurasi 111 menit ini.

Tapi sineasnya tentu saja menyangkal hal itu. Melalui media, mereka melarang kita untuk ngeres sewaktu menonton. “Ini film yang bertanggung jawab,” tegas Chand Parwez Servia, produser Virgin.

Chand juga menambahkan bahwa film ini digarap berdasarkan riset serta observasi. Jadi bukannya tanpa dasar apabila melalui film ini generasi muda dituding sebobrok itu. Walaupun toh senantiasa ada pertanyaan, “Generasi muda yang mana?”

Realitas memang tidak pernah sama bagi setiap orang. Sangat tergantung pada frame of reference (pengetahuan) dan field of experience (pengalaman) orang itu. Sah-sah saja mencomot sebuah realitas kecil lalu disampaikan ke publik lewat film.

Risiko dianggap berlebihan atau ekstrem pasti ada, sebab audiens sering menilai sesuatu berdasarkan frame of reference dan field of experience masing-masing. Padahal, tidak ada salahnya mencoba memahami dan menghargai realitas yang diusung oleh sineas.

Namun faktanya, betapapun kita menghargai sebuah film, yang dicemaskan tetaplah dampak negatifnya. Terutama untuk film-film semacam Virgin. “Sangat mungkin, walau sudah disensor, penonton akan mengikuti tren dalam film ini. Baju, dandanan seksi, tato, menyerahkan tubuh hanya untuk mendapatkan kemauan sesaat,” kata Eky, seorang penikmat film yang sengaja menonton premiere Virgin lantaran penasaran ini.

Bagaimanapun, memvisualisasikan kebobrokan dunia dalam ruang film bukan hal yang baru. Tontonlah American Beauty, salah satu film favorit saya yang menggambarkan tokoh-tokoh “sakit” yang semuanya bejat. Toh besutan Sam Mendez itu akhirnya dinobatkan sebagai film terbaik versi Academy Awards 2000.

Eyes Wide Shut, karya terakhir Stanley Kubrick, juga penuh kevulgaran. Namun film sepanjang 159 menit itu enak ditonton bukan lantaran Nicole Kidman (dan aktris-aktris lain) berbugil ria di sana, melainkan karena ceritanya yang berbobot.

Ya, berbobot. Itu yang tampaknya diabaikan sineas Virgin. Bahkan untuk perkara sederhana semacam motif (mengapa si A melakukan ini, kenapa si B begitu), skenario film yang tokoh-tokohnya lebih banyak mengacungkan jari tengah ketimbang berpikir ini tampak kedodoran.

Kelihatan sekali sineas terlalu menggebu-gebu untuk menampilkan sisi tergelap ABG Ibukota. Walhasil, logika bertutur justru dinomorsekiankan.

Antoni tak kuasa menyembunyikan ketidakpuasannya, “Lebih banyak adegan kotor juga kata-kata kasar yang bertebaran di film ini.” Entah apa maksudnya.

Anehnya lagi, film seperti ini malah mulai diputar di penghujung Ramadan. “Niat produser mungkin baik, yaitu pendidikan seks. Film ini bisa menyadarkan orang yang salah jalan. Meskipun, juga berpeluang menggoda orang untuk ke jalan yang salah,” Eky mencoba mengutarakan analisisnya.

Namun satu yang pasti, pemutaran di sekitar Idhul Fitri ternyata ampuh dalam meredam reaksi kontra terhadap film yang naskahnya ditulis oleh Armantono ini. Perhatian masyarakat pada saat-saat itu lebih terfokus pada hal-hal seperti silaturahim, mudik, rekreasi, dsb.

Sebagian besar lembaga pemerintah maupun swasta pun masih terlelap setidaknya selama sepekan. Ini keuntungan tersendiri.

Berbeda dengan Buruan Cium Gue yang dicekal dalam usia pemutaran kurang lebih satu minggu, Virgin mulus melaju di umurnya yang mendekati dua pekan pemutaran.

Sungguh pun film ini nantinya dicekal juga, produser dan sineasnya tak perlu terlalu risau. Mereka tinggal menarik filmnya serta mengucapkan, “Mohon maaf lahir-batin.” Tentu saja sambil mengantongi ratusan juta yang diperoleh dari dua minggu pemutaran film di 15 kota.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu