Categories
etika

Dosa Jariah dan Fitnah Admin Facebook

Jika hendak menyampaikan opini atau membentuk wacana, jangan gunakan nama dan foto orang lain. Selain pengecut, itu juga fitnah. Gunakan empati dan etika.

Fanpage abal-abal Parlas Nababan

Kebakaran hutan terjadi hampir tiap tahun di Sumatra dan Kalimantan. Asapnya memuakkan warga selama berhari-hari, bahkan berbulan-bulan. Negara-negara jiran pun ikut sesak napas. Anda pasti masih ingat. Anda juga pasti tahu, salah satu dari perusahaan pelaku pembakaran itu telah disidangkan akhir 2015 kemarin. Namun ironisnya, Hakim Parlas Nababan kemudian membebaskan tersangkanya.

Banyak kecaman lantas tertuju pada pria kelahiran Rura Julu, Tapanuli Utara, 3 Januari 1961 itu. Terutama dari para warganet yang tak habis pikir dengan logika sang hakim. Ada yang sampai meretas situs web Pengadilan Negeri Palembang.

Ada yang membuat meme (infografis sederhana untuk lucu-lucuan) bergambar Parlas Nababan dan kata-katanya di persidangan, “Membakar hutan tidak merusak lingkungan karena masih bisa ditanami lagi.”

Meme tentang keputusan Parlas Nababan

Bahkan ada yang membuatkan fanpage Facebook-nya segala, sekadar untuk mengolok-olok lulusan S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 1985 dan S-2 IBLAM Jakarta tahun 2004 itu. Nama fanpage tersebut adalah Parlas Nababan, dan begini keterangan About-nya, “Saya hakim yang adil serta bijaksana dan bijaksini.”

Tak perlu kecerdasan berlebih untuk mengetahui bahwa ini fanpage kelakar belaka. Apalagi bila Anda membaca isi status-statusnya….

Sebanyak apapun kalian mengecam saya..fakta nya : Membakar hutan sama sekali tidak merusak lingkungan’. Biarkan gambar yang berbicara,dan lihatlah betapa suburnya tanah kita dan bagaimana ekosistem alam berkembang dengan baik dengan adanya pembakaran yang sistematis dan menguntungkan kita semua.

Ingat pribahasa mengatakan! Berakit rakit ke hulu,berenang renang ketepian. Berasap asap dahulu, bersawit dan ber uang kemudian. Selamat malam dan berpikiran positif lah selalu!

12 Januari 2016

Mana mungkin seorang hakim memamer-mamerkan kebodohannya seperti ini? Mana mungkin seorang Wakil Ketua Pengadilan Negeri mengambil risiko dibenci publik dengan membuat fanpage provokatif begini? Dengan tata penulisan yang acak-acakan pula!

Mengisi waktu malam dgn menonton Drama hongkong pavorit saya ‘justice bao’. teringat sosok hakim yang sangat menginspirasi saya dalam menjalankan tugas dgn penuh amanah dan tanggung jawab.

Untuk info bagi adik adik yang mungkin tidak mengenalnya..drama ini di ambil dari kisah tokoh nyata bernama Bao Zheng (999 – 1062) ia seorang hakim dan negarawan terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si langit biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih ketika itu..

Dalam banyak hal,kata orang saya punya banyak kesamaan dengan beliau..selain sama sama berkulit gelap dan bentuk muka yang tegas kami juga sama sama menjabat sebagai Hakim yang mulia..sudah sepantas nya saya juga berhak mendapat julukan yang baik sebagaimana yang ia dapat kan bukan?

Selamat malam

10 Januari 2016

Konyol, kan? Mungkin, Anda berpikir, “Ah, hakim ini memang konyol, kok! Meloloskan pembakar hutan, apa itu tidak konyol?”

Betul. Namun, jangan sampai logika kita kesampingkan juga. Parlas Nababan, menurut pengakuannya, tidak punya akun Facebook. Jadi kalau mau objektif, sebenarnya pembuat akun palsu ini pun tak layak kita dukung. Dia lancang mengatasnamakan sang hakim dan berbicara hal-hal konyol di Facebook.

Selamat berhari minggu rakyat Indonesia,dan warga palembang khususnya..
Apa acara liburan kalian hari ini?
Kalau saya bermain Golf,dan menikmati indah nya alam lingkungan hidup Indonesia dan menghirup udara bersih tanpa kabut asap.
‪#‎Tetap_optimis_selalu‬, ‪#‎habis_asap_terbitlah_uang‬.
‪#‎happy_sunday‬

10 Januari 2016

Herannya, banyak yang me-like, share, terpancing merundung dan menyumpahserapahi Parlan Nababan, hanya berdasarkan status aspal itu.

Kalau sudah tahu ini akun palsu tetapi kita tetap bersorak girang, artinya ada yang salah dengan nurani (atau logika?) kita.

Ini dosa yang tidak perlu! Harusnya, yang berdosa itu Yang Mulia saja, karena keputusannya seolah tidak mempertimbangkan air mata rakyat yang telah tumpah selama berminggu-minggu akibat bencana asap. Namun sekarang, kita pun turut berdosa lantaran ikut merayakan fitnah digital ini.

Kebiasaan orang indonesia ini,Terlalu suka protes saja,
Tanpa mengerti apa yang mereka protes.
Dengan memberikan hukuman pada perusahaan pembakar hutan itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Justru menambah masalah baru.seperti pengangguran dlsb.

6 Januari 2016

Kalau Anda percaya adanya Pengadilan Raya di akhirat kelak, harusnya Anda juga percaya bahwa kita pun nanti akan dimintai pertanggungjawaban karena turut menyuburkan fitnah (yang jelas-jelas sudah kita ketahui ketidakbenarannya). Apalagi, ini mungkin tergolong dosa jariah, dosa yang terus mengalir meski kita sudah meninggal, selama masih ada yang meyakini kebohongan yang tersampaikan melalui like, share atau comment kita.

Sebagai warga indonesia yg mempunyai hutan sebagai paru paru dunia..dan merasa sangat mencintai negri kalian??
Saya mau bertanya pada kalian..kemana kalian selama ini dalam berperan menjaga hutan dan lingkungan? Masa mau di bakar dulu baru rame?saya ini hakim,tugas saya menjaga hukum,bukan menjaga hutan..kalau itu lapor aja sama tarzan sana!

4 Januari 2016

Namun, kalau Anda masih menganggap semua ini wajar-wajar saja, karena toh akunnya buat lucu-lucuan saja, maka tunggulah sampai Anda atau keluarga tercinta yang jadi korban keisengan. Seorang admin Facebook yang “lucu” akan berbicara ngawur, tetapi menggunakan nama dan foto Anda. Lalu ribuan warganet benar-benar menganggap Andalah yang berbicara ngawur. Sengawur, atau bahkan lebih ngawur dari status ini….

Masyarakat indonesia memang kebanyakan bodoh..mereka tidak mengerti apa yang orang berpendidikan tinggi seperti saya.
Saya maklum itu..karena saya adalah seorang sarjana hukum sekaligus hakim yang sukses..mana mungkin kalian bisa paham..bahwa:
“Kebakaran hutan tidak merusak lingkungan”
Yang merusak nya adalah Api..jadi api lah yang bersalah dalam hal ini..bukan Perusahan besar yg telah membantu ekonomi kita dan saya khususnya.paham kalian!?

4 Januari 2016

Parlas Nababan yang Sebenarnya

Gara-gara kasus ini, saya jadi penasaran, siapa Parlas Nababan itu. Saya pun browsing dan mendapatkan sekelumit informasi. Ya, memang butuhnya cuma sekelumit. Kalau mau lebih, dia harusnya mengontak saya sebagai ghostwriter untuk menuliskan memoarnya 😀

Menjadi hakim sejak 1989, pegawai ber-NIP 19610103.198512.1.001 ini sempat menjadi sorotan media di Palembang lantaran kasus suap APBD Musi Banyuasin. Saat itu, Parlas Nababan memvonis Syamsudin Fei dan Faisyar 30 bulan penjara, lebih tinggi enam bulan dari tuntutan jaksa.

Kontroversi berikutnya sama-sama kita ketahui. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Klas IA Khusus Palembang ini memvonis bebas PT Bumi Mekar Hijau (BMH) yang dituduh merugikan negara sebesar Rp7,9 triliun oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Pada 30 Desember 2015, Parlas Nababan membacakan hasil sidang, “… disebutkan dari hasil pengamatan lapangan dan hasil laboratorium, sebagai scientific evidence, tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak, lahan masih berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan Tanaman Industri. Di atas bekas lahan yang terbakar tersebut, tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik, sebagaimana penglihatan Majelis sebagai fakta prosesual ketika melakukan sidang pemeriksaan di tempat.”

Kata “lahan” dan “tanah” itulah yang kemudian diperluas menjadi “hutan” oleh khalayak ramai, sehingga muncullah meme, “Membakar hutan tidak merusak lingkungan karena masih bisa ditanami lagi.” Dan berbagai meme lain pun bermunculan sebagai responnya. Seperti, “Membakar rumah Pak Hakim tidak apa-apa, karena masih bisa dibangun lagi.”

Admin Facebook Menghalalkan Segala Cara

Sudah menjadi tradisi pengguna Facebook, bahwa setiap ada orang yang mulai tenar, langsung dibuatkan fanpage-nya. Dulu, korbannya artis-artis ternama. Namun artis ternyata bisa memprotes dan mengajukan penghapusan paksa ke Facebook, sehingga pemilik fanpage abal-abal banyak yang gigit jari.

Sasaran tembak mereka pun kini bergeser ke orang-orang yang tidak segemerlap artis. Tapi tetap harus terkenal. Sebab jika tidak, takkan ampuh menjaring fans. Contohnya, tukang jamu cantik yang foto-fotonya menjadi viral di media sosial, pemain sepakbola muda yang baru bersinar di lapangan, personel band anyar yang sedang naik daun, seseorang yang kontroversial, dsb.

Logikanya, pasti orang penasaran dan segera mencari tahu tentang selebritas dadakan ini di Google. Apalagi kalau dia cantik atau tampan. Jika di internet keterangan tentang orang ini sedikit sekali dan belum ada fanpage-nya, wah, kebetulan! Langsung dibuatkanlah. Asal tahu saja, di Facebook, kita bisa membuat fanpage siapapun tanpa perlu izin.

Siapa yang membuat? Siapa saja yang tahu potensinya! Mungkin dia anak alay yang iseng, pengangguran yang ingin mencari duit dengan memanfaatkan kekaguman atau kebencian netizen, atau orang yang bereksperimen media sosial dengan kita sebagai kelinci percobaannya.

Untuk apa? Anda tahu, sebuah fanpage yang populer, dalam arti banyak fansnya dan aktif, bisa dijual ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah? Katakanlah saya ingin punya fanpage, tapi terlalu malas untuk memulainya dari nol. Saya lebih baik membeli fanpage jadi dan mengubah namanya, kan?

Kalaupun tidak dijual, setidaknya pemilik fanpage itu bisa menawarkan space iklan. Dia akan memasang tarif untuk pemasangan status, gambar, atau video? Siapa mau beriklan di media abal-abal semacam ini? Banyak!

Yang diperhatikan bukan status abal-abalnya, melainkan keramaiannya alias efek buzz-nya. Misalnya, saya jualan buku, terus ditawari, “Mau pasang iklan di fanpage kami? Fans-nya sekian, Talk About This (aktivitas para fansnya) sekian. Lihat sendiri, alamatnya di sini. Rata-rata yang komen di tiap status sekian ratus, paling apes puluhan. Satu status tarifnya 100.000 saja. Bayarnya transfer bank. Atau pakai pulsa juga boleh.”

Hitung-hitungan bisnis pun berjalan di otak saya. Bayar seratus ribu, produk saya terekspos ke puluhan ribuan orang. Lebih murah dari media konvensional! Sudah begitu, tak perlu kartu kredit seperti ketika hendak memasang iklan resmi di Facebook. Ah, kenapa tidak? Saya pun transfer.

Nah, sekarang hitung saja bila setiap hari ada pengiklan. Lumayan juga kan pemasukan si pengelola fanpage?

Selain uang, tentu ada motivasi lain dalam membuat fanpage unofficial semacam ini. Ada yang sekadar kepuasan diri atau buat dipamer-pamerkan ke teman-temannya. Ada pula yang ingin memerangi ideologi yang dibencinya. Salah satunya, fanpage Anda Bertanya Habib Rizieq Menjawab.

Fanpage Anda Bertanya Habib Rizieq MenjawabItu tentu bukan milik Habib Rizieq Ketua Front Pembela Islam (FPI). Pembuatannya juga tak mungkin permisi dulu ke sang pemilik nama dan foto-foto. Jadi, jangan harap isinya ditulis dengan cek & ricek dan cover both side. Konten-kontennya saja cenderung parodi yang menceritakan kekonyolan-kekonyolan sang Habib dan FPI-nya.

Apakah yang semacam ini tidak berimplikasi hukum? Entahlah. Yang saya tahu, Facebook menerapkan delik aduan. Kalau tidak ada yang mengadu, tidak akan dipertimbangkan penghapusannya. Jumlah pengadu pun rasanya ada batas minimalnya untuk bisa mendapat perhatian staf Facebook. Yang jelas, fanpage Anda Bertanya Habib Rizieq Menjawab ini eksis sejak 2011, dan bertahan sampai sekarang.

Itulah Facebook. Serbabebas. Kitalah yang harus memilah-milah sendiri, berdasarkan standar moral dan pemahaman kita masing-masing.

Namun menurut saya, kalau mau mengutarakan opini atau membangun wacana, sebaiknya jangan menggunakan nama dan foto orang lain. Karena selain pengecut, itu juga fitnah. Boleh jadi orang yang kita fitnah itu memang menjengkelkan dan merupakan musuh publik. Namun, fitnah tetaplah fitnah. Baik yang menyebarkannya maupun yang merayakannya (ikut senang) sama saja.

Dalam Islam, fitnah dan dosa jariah itu urusannya akan panjang di akhirat. Dalam Buddha atau Hindu, ada hukum karma. Bagi orang yang tidak mengenal Tuhan pun ada standar etika, bukan? Jadi, sekarang terserah kita, mau menjadi manusia seperti apa.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index