Categories
travel

Jerman 3: Kecele di Amsterdam

Baru kali ini saya terbang dengan pesawat besar. Tiga kolom kursi penumpang, dua lorong, dan kabin yang secara horisontal masih dibagi menjadi dua ruangan besar: satu untuk kelas ekonomi, dan satu untuk kelas bisnis. Pesawat raksasa begini memang cocok untuk trip antarbenua. Namun entah kenapa, setiap kali saya masuk kabin pesawat dan melihat kursi-kursinya, selalu merasa sempit. Termasuk di pesawat ini.

Kursi 34F, mana kursi 34F… ah, itu dia!

Tempat duduk saya ternyata di kolom tengah. Sudah ada orang di kanan-kiri saya. Mereka asyik mengobrol dengan teman masing-masing. “Excuse me,” saya melempar senyum basa-basi kepada mereka. Mereka pun membalas sambil memberi jalan. Kami tidak banyak bercakap, tapi saya kemudian tahu, orang sebelah kiri saya Belanda, sebelah kanan Spanyol.

Saya pun meletakkan pantat di kursi pesawat Boeing 777-300 ini. Saat pesawat sudah mulai berjalan untuk mengambil posisi take off, pramugari mulai membagikan tisu dan head set. Saya tidak tahu fungsi tisu yang panas dan wangi itu. Namun akhirnya saya pakai saja untuk membasuh muka dan tangan.

Kalau head set, jelas ada hubungannya dengan piranti di depan saya. Setiap penumpang berhadapan dengan layar mini yang terinstal pada bagian belakang kursi penumpang di depannya. Lewat layar itulah pihak KLM menerangkan prosedur keselamatan. Jadi sudah tidak perlu ada pramugari yang memperagakan. Cukup video rekaman.

Setelah pesawat lepas landas, saya baru sadar fungsi lain dari layar ini, yaitu sebagai sarana hiburan. Saya bisa memilih film di sana, dari film-film layar lebar terbaru seperti 21 Jump Street, Anonymous atau Underworld Awakening, film-film klasik, drama seri terbaru, konser musik, lagu-lagu, radio, sampai games. Remote control televisi berfungsi ganda: mengatur menu televisi dan semacam joystick konsol. Televisi itu juga terintegrasi dengan kartu kredit, kalau-kalau ada penumpang yang ingin membeli suvenir KLM atau makanan-minuman ekstra. Belanja online di sini bebas pajak.

Jika tidak memilih apa-apa, default layar ini adalah informasi aktual tentang penerbangan. Antara lain posisi pesawat (dilengkapi peta), ketinggian, kecepatan, hingga suhu di luar pesawat.

Hidangan KLM pun tiba

Chicken or pasta?” saya mendengar pramugara menawari penumpang di kolom kanan depan saya. Si pirang berwajah ramah itu membawa nampan berisi nasi kotak transparan. Oh, alhamdulillah, akhirnya makan!

Saya perhatikan banyak yang memilih pasta. Tapi saya masih tidak tahu, apa itu menu “chicken”? Apa itu menu “pasta”? Mana yang tidak mengandung babi atau turunannya? Mana yang tidak mengandung alkohol saat memasak? Seingat saya, pada setiap penerbangan, saya sudah minta “muslim meal” pada Jens Thiel dari Media Company. Entah ditindaklanjuti atau tidak, karena Mr. Thiel tidak pernah konfirmasi soal itu.

Saya juga sudah browsing. Banyak penumpang yang awalnya ragu-ragu dengan kehalalan katering pesawat, tapi kemudian dapat informasi bahwa pemasok daging-daging KLM adalah negara-negara muslim. Entah benar, entah sekadar menenangkan penumpang muslim. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Maka ikhtiar terakhir saya adalah logika. “Chicken” jelas bukan daging babi. Meski dalam Islam, jika cara menyembelih atau matinya salah pun daging ayam bisa jadi haram.

Chicken? Pasta?” pramugara itu sudah ada di samping saya.

Saya kelaparan. Roti yang saya makan di Singapura kemarin jelas tidak nendang. Saya juga tak ingin terjadi sesuatu akibat perut kosong selama 12 jam perjalanan udara. Maka bismillah, “Chicken, please.”

Dan ternyata, yang dimaksud menu Chicken ternyata nasi dan ayam nugget. Lalu ada salad untuk mengiringi makanan utama itu. Mango mousse yang lembut dan lumer di lidah sebagai pencuci mulutnya, dibubuhi markisa dan butiran-butiran coklat. Juga puding. Untuk minumnya, saya memilih segelas air mineral dan jus jeruk. Tentu saja flat, tanpa alkohol.

Semuanya delicious. Makanan kelas atas! Sekaligus mengenyangkan.

Perut terpuaskan, giliran mata yang menuntut haknya. Saya butuh tidur. Itulah kenapa beberapa kali saya menolak ketika ditawari kopi. Meskipun saya tahu, kopi KLM pasti juga bukan kopi pasaran. Saya hanya butuh tidur.

Sayang, saya kurang berhasil, walaupun sudah puasa kafein. Tidak di kereta, tidak di pesawat, saya selalu terbangun tiap 30 menit. Apesnya, setelah itu, saya pasti sulit untuk langsung tidur lagi. Bule di kanan dan kiri saya bukan tipe pengobrol. Sama seperti saya, hahaha. Maka begitulah saya menghabiskan waktu di kabin KLM: tidur, bangun, tidur, bangun. Sesekali makan atau minum bila kru pesawat menawarkan hidangan ringan. Sesekali ke kamar kecil untuk mengosongkan kemih sekaligus mengamati bagaimana toilet KLM.

Sesekali menonton film. Namun tak pernah selesai, karena tak satu pun judul yang menarik mood saya. Apalagi, belakangan pihak KLM sering menginterupsi sarana hiburan itu. Anda tahu, setiap pesawat baru lepas landas, mau mendarat, mengalami turbulence, atau ada pengumuman penting, layar akan otomatis kembali ke default, tak peduli Anda sedang seru-serunya menonton.

Dari layar, saya tahu pesawat baru berada di langit Asia. Ketinggian sekitar 30.000 meter di atas permukaan laut. Suhu di luar pesawat -55°C. Jadi, kalau sekarang kita terjun keluar pesawat, tubuh akan langsung membeku. Saya merapatkan jaket membayangkan rasa dingin itu. Brrrr, tidur sajalah!

Lalu saya terbangun lagi, kali ini karena aplikasi android Muslim Pro lirih menyenandungkan azan Subuh untuk waktu Eropa. Saya pun kembali ke toilet untuk mengambil air wudhu. Lantas salat Subuh dengan posisi duduk dan gerakan isyarat.

Tak beberapa lama kemudian, langit yang terlihat dari jendela pesawat memerah. Pendar mentari jingga terus terlihat dari jendela pesawat. Perjalanan menuju Eropa ini seperti mengendarai mesin waktu. Dimana waktu berjalan mundur seiring gerak pesawat yang ke arah barat, mengikuti arah rotasi bumi.

Saya melihat, pramugari KLM pun mulai mendorong meja yang memuat paket-paket sarapan pagi. Kali ini, tidak ada pilihan. Hanya ada menu omelette. Salad dan hidangan penutupnya kurang-lebih sama lengkapnya dengan makan malam kemarin. Sama enaknya.

Setelah sarapan, para penumpang mulai sibuk. Sebagian berkemas, sebagian menggunakan kamar kecil, sebagian berdandan, sebagian hanya berdiri mengobrol dengan penumpang lainnya atau pramugari. Baru setelah salah satu dari tiga pilot yang bertugas mengumumkan pesawat akan mendarat, mereka duduk kembali dan memasang sabuk pengaman.

Saya melihat layar, posisi pesawat memang sudah di atas benua biru dan sudah sangat dekat dengan Belanda. Akhirnya….

Menjejakkan Kaki di Belanda

Perjalanan burung baja pun berakhir di Bandara Schipol, Amsterdam, pukul 7.15 waktu setempat, atau pukul 12.15 WIB. Di bandara ini, saya hanya punya waktu transit kurang dari dua jam. Bagus. Bagus sekali! Buat mereka yang sudah pernah melakukan perjalanan sejenis, dua jam adalah waktu yang lebih dari cukup. Namun, buat orang yang belum mengenal liku-liku bandara seperti saya, situasi ini sedikit menegangkan.

Saya pun mencoba berjalan menerobos ratusan penumpang lain. Susah. Apalagi penumpang dari kelas Bisnis, tentu saja, diprioritaskan untuk meninggalkan pesawat terlebih dahulu. Toh saya akhirnya berhasil keluar dari belalai dan, untuk pertama kalinya dalam hidup, menghirup udara sejuk Eropa. Hembusan napas saya berasap. Ya Allah, musim semi belum juga berakhir, tapi suhunya sudah sedingin ini. Atau, apakah dingin ini karena gerimis ya? Apapun itu, saya buru-buru menutup resleting jaket dan memasukkan sebelah tangan ke sakunya.

Tangan kanan membuka ponsel. Masya Allah, ini bukan pukul 7.15, ini pukul 8.15! Sebelum perjalanan ini, saya sudah menginstal aplikasi Android World Time. Saya mengaturnya untuk menampilkan waktu di tempat-tempat yang saya hendak singgahi: Singapura, Belanda dan Jerman. Termasuk tentu saja Indonesia, supaya kalau mau menelepon orang di Surabaya, tidak perlu menghitung-hitung lagi apakah di sana sekarang jamnya orang tidur.

Pukul 8.16. Ini artinya waktu boarding saya untuk penerbangan Amsterdam-Frankfurt kurang dari satu jam! Di dalam bus yang mengantarkan para penumpang menuju gedung bandara, jantung saya terus berdebar-debar.

Bandara Schipol ternyata seperti mal dengan ratusan gerai. Lengkap dengan musala, museum, taman, dan kasinonya. Ribuan orang dari beragam ras berseliweran. Wajah mereka terlihat sibuk dan cuek, hanya peduli dengan urusannya sendiri. Saya berjalan mengarungi lorong-lorong dan ruang-ruang bandara hanya berpanduan papan petunjuk yang tergantung di langit-langit.

Yang ada di benak hanya bagaimana caranya sampai di Gate penerbangan berikutnya tanpa terlambat. Kemarin, saya mengutuk penerbangan KLM yang delay. Sekarang, saya malah berdoa semoga ada delay.

Pukul 8.29….

Asem! Setengah jam lagi, pesawat berangkat. Bukan check in lagi, pukul 9.05 sudah lepas landas! Benak saya mulai membayangkan konsekwensi tertinggal pesawat. Keberangkatan dari Changi kemarin terlambat, meskipun hanya 15 menit. Bisakah itu diklaimkan seandainya saya boarding? Sehingga, saya memperoleh tiket baru gratis?

Atau, saya harus membeli sendiri tiket penerbangan Amsterdam-Frankfurt? Ratusan euro harus melayang dari dompet saya! Belum lagi tiket kereta Frankfurt-Bonn yang juga pasti berangkat tanpa saya. Lalu saya masih harus mengurus dulu bagasi berisi pakaian-pakaian saya ke Bandara Frankfurt. Bagasi ini tetap diberangkatkan ke Frankfurt, meski pemiliknya tertinggal pesawat.

Begitu mahal harga yang harus dibayar jika saya terlambat.

Check-In Penerbangan Berikutnya

Dalam ketergesa-gesaan, ironisnya, saya malah kehilangan orientasi harus pergi ke arah mana. Saya sampai bertanya kepada petugas sambil mengeluarkan itinerary. Pria tinggi atletis berkulit hitam itu menjelaskan, bahwa saya perlu check in dan mendapatkan boarding pass yang baru. Supaya cepat, dia menyarankan Self-Service Transfer, sejenis mesin ATM yang fungsinya untuk mencetak boarding pass dan mengganti kursi di pesawat jika mau.

Ada ratusan mesin semacam ini di Schipol. KLM adalah maskapai pertama di dunia yang menggunakan cara check-in otomatis semacam ini. Dan Schipol adalah bandara pertama di dunia yang menerapkannya.

Bagaimanapun, menurut saya, justru lebih cepat kalau saya check-in melalui Transfer Centres yang dijaga manusia. Karena saya tidak perlu mempelajari cara penggunaannya dulu. Tapi berhubung yang terdekat dan tidak pakai antri adalah Self-Service, maka saya segera melangkah ke sana. Ada banyak mesin yang kosong, memang. Namun, saya memilih mengantri di belakang seseorang, untuk mengintip apa saja yang dilakukannya.

Hm, orang itu menekan-nekan layar sentuh. Dia memasukkan paspornya ke lubang. Lalu terdengar suara pencetakan. Dan keluarlah struk yang sepertinya adalah boarding pass. Oke, ternyata mudah!

Saya pun mencobanya sendiri. Namun, entah karena saya sedang kalut, memang gaptek, atau takut melakukan kesalahan, saya merasa penggunaan mesin ini tidak semudah yang terlihat tadi. Kampret!

Pukul 8.34. Tik, tok, tik, tok….

Lirik sana, lirik sini. Ah, itu! Ada pengguna mesin Self-Service lagi. Saya pun sengaja menunggu sepasang pemuda-pemudi itu menyelesaikan urusannya di depan mesin. Setelah selesai, saya todong mereka untuk menolong saya. Bukan untuk menerangkan penggunaan mesin itu, saya sudah tidak punya waktu. Melainkan sekalian untuk mengeluarkan boarding pass saya!

Syukurlah, pemuda itu bersedia. Bule-bule itu, sekalipun wajahnya tidak seramah orang Indonesia, ternyata mereka siap menolong kalau kita mintai bantuan. Berterima kasih kepada mereka, saya pun melanjutkan perjalanan.

Pukul 8.40. Dua puluh lima menit menuju keberangkatan pesawat saya. Oh, tolong.…

Masuk Pos Passport Control

Setengah berlari, sampailah saya di bagian Passport Control yang tampak jauh lebih mentereng dan canggih dibanding konter Imigrasi di Changi kemarin. Ada konter yang khusus memeriksa paspor Uni Eropa, dan ada pula pos yang memeriksa paspor dari negara-negara selain itu. Semuanya panjaaaaang. Saya pun pesimis petualangan ini bisa happy ending. Sungguh pesimis!

Tapi, ada satu antrian yang lebih pendek. Tertulis, Short-Connection Lane. Ini ternyata antrian khusus bagi mereka yang waktu keberangkatan pesawatnya kurang dari 30 menit. Cocok! Antrian ini dijaga beberapa petugas wanita. Saya segera menghampiri salah satunya. Mereka memverifikasi boarding pass saya.

Yes, you may, Sir,” katanya. Tentu saja boleh. Penerbangan saya kan kurang 20 menit lagi!

Saya pun antri. Semua orang terlihat santai. Ingin rasanya saya menghimbau, “Anda-Anda ini kan tidak sedang terburu. Nah, penerbangan saya tinggal 20 menit lagi. Tolong dong saya didahulukan!” Apalagi saya melihat beberapa kali para manula dan orang-orang yang membawa bayi (beserta keluarga besarnya) selalu diprioritaskan untuk dilayani walaupun datangnya belakangan.

Namun tidak, saya masih punya harga diri dan rasa malu. Kalau di Indonesia budaya serobot antrian sudah biasa, saya tak ingin meneguhkan stempel buruk itu.

Pukul 8.43.

Sampai juga saya di konter pemeriksaan. Saya menyerahkan paspor dan boarding pass pada pria berdasi itu.

To Frankfurt? What are you doing in Frankfurt, Sir?” tanyanya sambil memeriksa dokumen-dokumen serta mencocokkan foto saya.

To Bonn, precisely. I’m invited to the event named Global Media Forum,” jawab saya selengkap mungkin supaya tidak perlu ada pertanyaan susulan.

Namun, ada saja pertanyaan susulan itu. “Do you have ticket to back home?”

Of course!” jawab saya. Pertanyaan macam apa ini? Tapi daripada dia bertanya-tanya terus dan semakin membuang waktu, saya tunjukkan sekalian saja itinerary saya.

Pria tersebut memeriksanya sekilas, menstempel paspor saya, lalu mengembalikan semua dokumen. “Have a nice trip, Sir,” ucapnya sembari tersenyum.

Security Checkpoint

Berikutnya, saya menjujuk tempat pemeriksaan barang bawaan. Prosedur standar. Di sini, saya diminta untuk meletakkan tas, jaket dan semua isi kantong ke keranjang untuk dilewatkan ke detektor logam. Saya sendiri juga melewati gerbang pendeteksian. Semuanya berjalan dengan lancar dan cepat. Alhamdulillah.

Pukul 8.51. Waktu penerbangan tinggal 14 menit lagi….

Saya buru-buru mengenakan kembali tas pinggang, jaket, memasukkan dompet, kunci dan uang logam. Lalu berlari menuju Terminal B7. Oh. My. God…. Saya kembali berhadapan dengan suasana mal yang begitu luas.

“Lebih cepat!” perintah saya kepada mata, otak, dan kaki. Saya memang harus bergerak lebih cepat kalau tak ingin jadi gelandangan di bandara ini. Tertinggal pesawat, saya khawatir harus membeli tiket baru. Ini hari Minggu, Bung! Hari dimana tiket pesawat dibandrol mahal-mahalnya! Harganya pasti ratusan euro. Saya tidak membawa sebanyak itu.

Sebenarnya, ada cadangan rupiah di BCA yang jumlahnya lebih dari cukup. Dan kita toh bisa tarik tunai di ATM berlogo Maestro di belahan dunia manapun. Tapi tetap saja nyesek rasanya! Ya soal jumlahnya, repotnya, malunya (pada orang-orang DW Media), dan sebagainya.

Tak ingin buang-buang waktu tersesat, saya pun sekali lagi bertanya kepada petugas yang tinggi atletis. Sepertinya semua petugas di Schipol berpostur tinggi dan atletis.

Excuse me, can you tell me where is the shortest way to this terminal?” saya menyodorkan boarding pass saya.

Bule berambut merah cepak itu membacanya sekilas. Lalu mengatakan, “B7…. Uhm, it’s far from here….”

Jantung saya berdebar.

It’s not there….” petugas itu menunjuk arah di depannya. “It’s not there …” dia menggeser terlunjuknya. “It’s not there either….” Sekali lagi, dia menunjuk arah lain.

Sialan, orang ini pasti sedang bercanda! Tidak tahu apa kalau saya sedang terburu-buru?

It’s over there! You must circle this area,” telunjuknya memeragakan gerakan melingkar.

There?” saya menunjuk sesuai posisi akhir telunjuknya.

Yeah, that direction. It’s far. Good luck!”

Thanks,” ucap saya seraya ngeloyor pergi. Entah mengapa, ucapan “good luck” itu malah terasa mengintimidasi, alih-alih memberi semangat. Sialan!

Namun, ternyata benar. Masih jauh. Kurang asem! Saya pun berlari-lari kecil, tidak peduli saya sedang di atas ekskalator yang bergerak mendatar seperti treadmill. Saya juga sempat bingung lagi dan bertanya pada petugas lainnya.

Pukul 8.59….

B7 ternyata di lantai atas. Saya pun naik.

Nah, itu dia! Di ujung ruangan.

Lho!

Tapi kerumunan orang hanya ada di Gate B8? Sementara di Gate B7, tidak ada petugas boarding-nya. Hanya ada 2-3 orang duduk dengan santai di depannya.

Firasat saya tidak enak. Namun, saya berusaha tetap tenang.

Excuse me, Sir. Is this flight to Frankfurt?” tanya saya pada salah satu orang di sana.

Orang itu memelorotkan kacamata bacanya. “That?” tanyanya sambil menunjuk Gate B7.

Yes. Frankfurt?”

Orang itu berusaha membaca papan petunjuk nun di sana. “Yes, I believe. But it departed five minutes ago.”

Blaaar!

Saya menelan ludah. Lutut tiba-tiba lemas.

Sudah.

Selesai sudah!

Untuk penerbangan-penerbangan lokal Indonesia yang “murah” saja saya tak pernah terlambat. Sekalinya terlambat, malah di negeri asing, di mana segalanya dihitung dengan euro. Mewah sekali nasib saya ini!

Saya terduduk di jajaran bangku yang dingin karena sudah lama berpisah dengan pantat-pantat para penumpang itu. Pikiran saya kini melompong. Tepekur. Ya Allah, sekarang aku pasrah. Apa yang harus kulakukan?

Beberapa menit kemudian, tebersit ide menelepon Sepideh Parsa di DW Media. Siapa tahu mereka memaklumi dan bersedia mengganti tiket baru, baik untuk pesawat Amsterdam-Frankfurt maupun kereta Frankfurt-Bonn. Kalaupun mereka tak mau, ya setidaknya Sepideh akan memberi saran apa yang bisa saya lakukan.

Tapi, sungkan juga, rasanya….

Ah, nanti sajalah telepon Sepideh!

Sekarang, saya coba ke kantor KLM saja! Untuk menanyakan pilihan bagi para penumpang yang terlambat.

Saya pun beranjak mencari kantor KLM dengan langkah berat. Dada ini masih terasa sesak.

Ma’am,” sapa saya sesampainya di kantor KLM. “Can you help me? I’m a late passenger.”

Wanita bule paruh baya berpakaian biru-biru itu tersenyum ramah. “Sure. May I have your boarding pass or ticket, please.

Saya menyerahkan apa yang dimintanya.

We can help you to rebook your flight, Mr. Anindito,” ucapnya sambil membaca boarding pass itu. Dia sudah beranjak menuju salah satu komputer layar sentuh, tapi mendadak berhenti, “Aw! But your plane is not departed yet.

Huh?” saya ternganga. “It’s departed on 9.05.”

“Yes,” ucapnya tenang. Dia melihat jam tangannya. “And it’s 8.15 now. You can still catch up.”

Lho? Saya memperhatikan jarum-jarum di jam tangannya. Juga jam di komputer layar sentuh itu. Memang, ternyata masih jam 8.15 sekarang. Hahaha! Saya gembira sekaligus malu. Tapi, tapi….

Ah, saya tahu masalahnya. Jam di aplikasi World Time di ponsel saya kelebihan satu jam! Padahal jelas-jelas di situ tertera “Amsterdam City”. Wah, payah nih programmernya! Pelajaran juga bagi saya, jangan terlalu mengandalkan teknologi, apalagi yang gratisan.

Saya segera mengucapkan terima kasih kepada petugas KLM itu. Dan balik menuju Gate B7. Saya sampai lupa menanyakan pertanyaan kunci, “Bagaimana kebijakan KLM kalau ada penumpang terlambat? Bukankah ini rentetan dari delay di penerbangan awal, meskipun hanya 15 menit? Apakah penumpang itu harus bayar tiket baru? Bayar sebagian? Atau sepenuhnya diganti?

KLM KL1765 menuju Frankfurt

Pesawat Embraer 190 ini kecil, mirip pesawat-pesawat penerbangan domestik di Indonesia. Hanya ada dua kolom penumpang. Dan cenderung sepi. Di kanan-kiri saya tidak ada penumpang lainnya. Jadi duduk saya terasa lapang. Tapi tidak ada lagi layar hiburan di depan saya. Hidangannya pun tidak semewah penerbangan KLM internasional. Hanya ada roti, biskuit asin, dan permen. Minumnya, saya memesan susu.

Saya menikmat pemandangan yang indah dari jendela pesawat. Terutama saat pesawat akan mendarat. Sungai, peternakan, perumahan, gedung-gedung. Jika biasanya di Indonesia saya melihat genteng-genteng rumah kumuh dan tata kota yang runyam, di langit Jerman ini saya bisa cuci mata. Sungguh, kota dan desa yang tertata bisa langsung divonis dari pemandangan tampak atasnya.

Tak terasa, perjalanan sudah satu jam. Kami pun mendarat di Frankfurt. Udara tidak sedingin Amsterdam. Udara ini seperti Surabaya kala Subuh. Masih tergolong ramah bagi tubuh saya.

Aaah, Jerman. Akhirnya aku sampai….

Bandara Frankfurt ternyata jauh lebih lengang dibandingkan dengan Schipol Amsterdam yang hiruk pikuk. Saya segera mengambil bagasi. Dan garuk-garuk kepala, Ini dimana keretanya?

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

2 replies on “Jerman 3: Kecele di Amsterdam”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index