Categories
kesehatan

Kiara 2: Persalinannya Sukses, Tapi…

Setelah seharian menunggu, akhirnya tiba saatnya! Istri saya sekarang harus bernapas pendek-pendek dan mengejan, terutama waktu serangan kontraksi terhebat muncul. “Kalau nggak terlalu sakit kontraksinya, jangan dulu mengejan. Karena akan mubazir,” pesan bidan.

Yah, logika ini, kalau dipikir-pikir, memang seperti saat kita hendak berak. Jangan didorong kalau belum terasa sakit!

Beberapa dorongan awal gagal, mungkin karena istri saya mengejan di leher, bukan di perut. Padahal, kalau beracuan pada analog berak tadi, yang diejankan itu memang seharusnya perutnya. Perut ke bawah.

Saya juga sempat ingin tertawa karena bidan-bidan itu tidak jarang menggunakan kosakata Jawa saat memberi instruksi. Padahal baru saja saya bilang ke mereka, istri saya orang Sunda, tidak paham apa itu ngeden (mengejan), kemeng (linu), dan sebangsanya. Plis deh!

“Itu, rambutnya udah kelihatan. Ayo, Bu, semangaaaat!” salah seorang bidan memberi tahu. Saya melongoknya. Memang ada rambut-rambut yang basah oleh darah nongol di sana. Itukah anak saya? Itukah kepalanya?

“Yaaah, belum berhasil,” kata bidan lainnya. “Ayo, Bu, kalau kontraksi lagi, harus berhasil ya dorongannya….”

Saya tidak ingat berapa kali wajah istri saya memerah berusaha mengeluarkan sang buah hati dari rahimnya. Berapa kali saya mencium lutut dan wajahnya untuk memberi dukungan moril. Berapa kali juga seorang bidan membantu menekan-nekan perut bagian atas istri saya dengan tangannya. Saya lupa. Pikiran saya kosong. Ini pengalaman pertama saya.

Tahu-tahu, saya mendengar seorang bidan berkata, “Bagus, baguuuus, waaah, Ibu hebat….”

Lainnya menyemangati, “Kepalanya sudah muncul, Bu! Ayo teruskan dikit lagi. Doroooong….”

Saya tidak ikut memberi semangat. Mulut saya ingin mengatakan sesuatu, tapi saya hanya termangu. Diam di sana. Menyaksikan munculnya separuh kepala sang bayi.

“Nah!” Bidan Hastani menyeru, “Udah, cukup! Udah, Bu, berhenti….”

Saya mengerutkan kening. Cukup? Yang benar saja! Ini kan baru kepalanya? Itu pun baru separuh. Bagaimana dengan bahunya? Tentu sama sulitnya kan!

Namun, sekelebat pikiran saya itu terbukti terlalu naif. Begitu kepala merah itu keluar, sang bidan menariknya begitu saja. Dan seluruh tubuh orok pun dengan mulus meluncur ke dunia. Sang bayi langsung menangis di atas perlak. Tak perlu dijungkir. Tak perlu ditepuk pantatnya.

“Ooooh,” saya terpaku. Terharu. Akhirnya lahir juga. Saya melihat ponsel, sudah pukul 00.20. Hari sudah berganti, bukan lagi Idhul Adha. Tapi juga belum masuk Hari Sumpah Pemuda yang biasanya dirayakan 28 Oktober. Anak saya lahir tidak di hari besar apapun. Ah, tidak masalah! Yang penting, dia lahir dalam keadaan selamat. Itu sudah segalanya bagi saya.

Kiara Hanifa Anindya
Kiara Hanifa Anindya

Assalamu’alaikum, Kiara Hanifa Anindya, anakku! ucap saya dalam hati. Saya bertukar senyum dengan istri saya. Lalu, saya kecup pelipisnya yang penuh peluh itu untuk berterima kasih atas usaha kerasnya.

Bidan kemudian mempersilakan saya menunggu di luar. Setelah lahir, memang ada perlakuan medis untuk bayi. Setidaknya, ia akan disinar, diukur dan ditimbang. Bibir kemaluan istri saya juga perlu dijahit. Saya dipersilakan mengazani sang orok nanti. Tapi saya menolaknya. Sebab, dari yang saya baca, dalil mengazani bayi itu terlalu lemah. Bahkan mungkin hadits-nya palsu.

Keluar dari ruang persalinan, saya segera menghubungi keluarga di Surabaya dan Bandung untuk kabar yang indah ini. Berikutnya, saya sujud syukur di kamar 103. Terima kasih, ya Allah!

Misi selesai. Sebenarnya, saya ingin tidur di dipan kamar yang kini kosong. Tapi tak bisa. Barangkali karena terlalu senang. Atau karena kamar yang luas ini menjadi agak menyeramkan ketika saya tinggali sendirian menjelang jam 1 dini hari ini. “Ah, ada-ada saja,” saya menyangkal sendiri pikiran-pikiran mistik itu.

Saya pun akhirnya berhasil tidur. Meski itu hanya satu jam. AC di sini terlalu dingin. Mau meninggikan suhunya, tidak kunjung ketemu remote-nya. Saya memilih keluar saja, dan menemui istri saya di ruang persalinan. Tak lupa, saya bawakan brownies dan buah jambu pemberian kakak ipar saya dari rumah.

Mengobrol sebentar. Lalu, saya kembali tidur duduk di samping dipan istri saya. Lima menit kemudian, saya mendengar bidan akan membawa istri saya kembali ke kamar. Saya bangun.

Setelah itu, dengan kursi roda, suster mengantar istri saya kembali ke ruang 103. Astaga, tambah dingin saja kamar ini! Bahkan setelah AC saya matikan, tetap saja dingin. Tapi setidaknya sekarang saya tidur seranjang dengan istri saya. Lebih hangat. Kami pun bisa tidur nyenyak sampai azan Subuh terdengar.

Sekitar pukul 6.00, orangtua, kakak-kakak dan keponakan-keponakan saya datang menjenguk. Membawakan saya sarapan segala. Kebetulan, Kiara pun sudah selesai dimandikan dan di-UV. Dia dibawa masuk ke kamar 103. Bobotnya ternyata 2.780 gram, panjangnya 46 cm. Tergolong kecil. Namun masih dalam batas normal.

Darah Kiara pun sudah diambil untuk pengecekan. Ada waktu 16 jam dari saat ketuban pecah sampai kelahiran Kiara, dan itu riskan! Itu periode yang cukup panjang untuk memungkinkan darah janin terinfeksi.

Kami semua berbahagia dengan kelahiran Kiara. Tapi siangnya, kami menerima kabar bahwa Kiara benar-benar terinfeksi. Jadi dia harus disuntik antibiotik sampai Selasa. Setiap hari disuntik dua kali.

Terpaksa, kami menunda kepulangan. Sebenarnya, dokter sudah mempersilakan istri saya pulang. Bayinya pun boleh dititipkan rumah sakit. Tapi orangtua mana yang tega meninggalkan bayinya setelah perjumpaan pertamanya? Akhirnya, kamilah yang mengalah menemani sampai Kiara diperbolehkan pulang. Meski itu artinya biaya tambahan, seperti sewa kamar yang seharinya Rp 225.000, belum termasuk obat-obatan, jasa suster, dokter, dan biaya perawatan.

Kami bersedih. Namun kunjungan kejutan saudara-saudara dari Jakarta (Om Untung), Surabaya (Om Toto, Tante Ani, Dinda, dan Agung Abadi), Malang (Om Hengki dan Tante Nahar) sedikit-banyak membuat kami bersemangat. Apalagi teman-teman kantor juga datang nanti sore (Nita Femmilia, Ineke Trimulyani, Astrid Ayu Septaviani, Dwi Lanank dan Suluhati Kusumawardani).

Plasenta (ari-ari) Kiara
Plasenta (ari-ari) Kiara

Siangnya, saya pulang dulu. Untuk makan, membawa pakaian kotor dari rumah sakit, dan membawa perlengkapan lain yang diminta istri saya. Saya juga membawa pulang bingkisan plasenta (ari-ari) Kiara. Saya menguburkan ari-ari itu di halaman depan rumah, di samping pohon sawo.

Setelah itu, saya bersiap kembali ke rumah sakit. Semoga tidak terjadi apa-apa pada buah hati kami. Karena kami ingin secepatnya memboyong Kiara pulang. [photos by Brahm]

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

11 replies on “Kiara 2: Persalinannya Sukses, Tapi…”

Aku tau kok artinya “ngeden”. BTW aku juga sempet heran lho. Aku ngeden buat ngeluarin kepala bayi. Eh, yg keluar malah semuanya. Gitu doang. Soalnya yg bener2 sakit tuh justru pas kontraksi. Pas ngelahirinnya juga sakit sih. Tp dgn disuruh mengeluarkan sst yg mengganjal itu aku jadi kayak ada pelampiasannya. Kalo kontraksi kan aku pengin ngeluarin sst tp nggak boleh.

Lihat wajahmu pas ngeden lucu juga. Pengen ketawa waktu itu, tp krn tegang ya melongo aja ;))

untung tth pernah ngasih tau tanda2 nya k indri awas air ketuban dl,maklum sudah 3 ngeluarin baby hehehe kiara itu seperti kelahiran imel air ketuban sdh keluar tp tdk ada mules. kalo yg tdk tau seperti istrinya adik d sangkanya bkn air ketuban dan akhirnya waktu d lahirkan baby nya kondisinya sdh meninggal pdhl baby nya sangat sempurna tp Tuhan berkehendak lain

Di situlah kami merasa sangat beruntung, Teh. Temen di kantor jg ada yg bermasalah air ketuban istrinya. Jd janinnya keracunan. Kasian. Semoga nggak kenapa2 lah.

Wah, kamu hebat Brahm!

Tidak seperti kelahiran anak pertama, kelahiran anak kedua saya temani. Tapi saya tidak tega saat istri eksakitan sebelum lahir. berkali-kali saya keluar kamar, dan berkali-kali pula saya dipanggil masuk ke kamar. Waktu melahirkan saya tidak mau menemani di dalam kamar. Saya menunggu di luar kamar (sendiri…).

Semua anak saya lahir kecil. Tapi memang itu saya syukuri. Karena dengan bayinya kecil, melahirkan secara normal bisa lebih mudah. Tapi setelah lahir, kita besarkan dengan sungguh-sungguh. Sehingga Zidan dan Zelda jadi bayi yang gemuk dan sehat. Bahkan Zidan sempat menyabet sebagai bayi tersehat sedesa (ya masih desa, bukan kelurahan karena masih dipimpin oleh kepala desa yang dipilih oleh rakyat).

Bayi tersehat sedesa? Waaah, apa kriterianya ya? Tp kalau Zidan atau Zelda lahir kecil nggak masalah. Krn cepat atau lambat mereka pasti menggemuk. Bawaan dari bapaknya ;D

One other issue issue is that video games can be serious in nature with the main focus on studying rather than amusement. Although, we have an entertainment element to keep your children engaged, every single game is generally designed to develop a specific experience or area, such as instructional math or scientific discipline. Thanks for your publication.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu