Categories
reviu

Menonton Legenda Suriyothai yang Panjaaaaaang

The Legend of Suriyothai

  • Judul film: The Legend of Suriyothai
  • Penulis: Sunait Chutintaranond & Chatrichalerm Yukol
  • Sutradara: Chatrichalerm Yukol
  • Pemain: M.L. Piyapas Bhirombhakdi, Sarunyu Wongkrachang, Chatchai Plengpanich, dll.
  • Durasi: 185 menit
  • Tahun rilis: 2001 (di Thailand)
  • Produksi: Thailand

Siang itu, pukul 13.30, sesi pertama pemutaran The Legend of Suriyothai. Tapi antrean di loket Teater 3 tampak lengang. Padahal, keberadaan film yang dibesut Chatrichalem Yukol ini baru memasuki hari ketujuh di Surabaya Cineplex 21. Untungnya, jumlah penonton masih di atas batas minimum, sehingga Suriyothai masih diperbolehkan tampil oleh manajemen bioskop.

Bagaimanapun, fakta bahwa jumlah penonton bisa dihitung dengan jari agak “memalukan” untuk film yang diproduseri Francis Ford Coppola (sutradara Bram Stoker’s Dracula) ini. Film kebanggaan warga Thailand ini bahkan menjadi Official Selection di festival-festival film semacam Sundance dan San Sebastian.

Namun orang-orang Surabaya umumnya tidak peduli dengan prestasi-prestasi semacam itu. Masih segar di ingatan saya betapa Le Fabuleux Destin d’Amélie Poulain yang menang di Festival de Cannes disambut ayem-ayem saja oleh penggila film Surabaya. Padahal film dari Prancis ini meledak di Jakarta, waktu itu.

Selera moviegoers Surabaya mungkin cenderung Hollywoodsentrisme. Kalau sebuah film bukan bergaya Hollywood (plus berbahasa Inggris), ia akan digolongkan dalam kategori “asing”, “aneh”, atau bahkan “buruk”. Saya pernah menyurvei 80 penggemar film di Surabaya untuk tentang “selera” ini.

The Legend of Suriyothai bertutur tentang putri Suriyothai, mulai dari dia remaja sampai meninggal. Dia seorang putri yang berani melawan tradisi. Sebenarnya, Suriyothai sudah punya kekasih, Pangeran Pirenthorathep. Tapi, ayahnya memaksanya menikahi Pangeran Thienraja yang trahnya lebih baik. Seorang pewaris kerajaan.

Demi kepentingan umum, Suriyothai mengalah. Mereka akhirnya menikah, walaupun tanpa dilandasi cinta.

Pasca mangkatnya Raja, konflik internal kerajaan meruncing. Birma menyerang bagian utara Thailand. Tien kemudian menjadi biksu Buddha untuk menyelamatkan diri. Tapi kemudian, Phiren Thorathep menunjuknya menjadi raja Ayutthaya. Suriyothai otomatis menjadi permaisuri.

Lalu, Raja King Hongsa dari Birma kembali menyerang. Demi suaminya, Suriyothai berangkat mengendarai gajah untuk masuk ke dalam palagan. Pengorbanannya inilah yang kelak dikenang oleh suaminya dan rakyat Siam.

Film ini memang berdasarkan kisah nyata di negeri gajah putih itu pada 1528. Sayang, sambutan di bioskop tidak sekolosal biaya penggarapannya.

Saya sendiri bolak-balik menguap di bioskop menonton film beralur lambat ini. Film ini aslinya berdurasi sekitar 5 jam. Mengingatkan saya akan film-film jadul seperti The Ten Commandments (1956). Bila di bioskop durasi film itu menciut menjadi 2 jam 15 menit, maka dapat Anda bayangkan betapa brutal penyuntingannya.

Menikmati film yang terpenggal separuhnya sungguh tidak nyaman. Alur jadi bergulir patah-patah. Menonton pun jadi mirip membaca buku dengan cara membolak-balik halaman-halamannya begitu saja tanpa meresapi isinya.

“Terlalu lama. Kayak film India saja,” saya mendengar seorang pegawai Surabaya 21 mengeluh. Pegawai yang tugasnya membersihkan ruang teater sebelum datangnya penonton itu jelas dipusingkan dengan masalah durasi ini. Jarum telah menuding angka 16.00, tapi film belum juga ada gejala menuju klimaks. Padahal di ruang ini juga, pada pukul 16.15 ada pemutaran sesi II. Lantas, kapan dia bisa bertugas?

Ini kesalahan sineasnya (yang membuat film sepanjang itu) atau pihak manajemen bioskop yang tidak mengatur rentang antar sesi dengan baik. Entahlah.

Toh, tak ada film yang tidak berakhir. The Legend of Suriyothai dipungkas dengan sad ending. Para penonton pun berduyun-duyun pulang melewati koridor EXIT. Ekspresi beberapa di antara mereka tampak datar-datar saja. Sebagian lainnya malah keluar dari teater dengan wajah bosan.

Sudah pukul 16.15 lebih. Artinya, sesi II harus mundur. Namun, sepertinya itu bukan masalah. Karena loket Teater 3 lagi-lagi sepi. Bahkan, lebih sepi ketimbang sesi pertama tadi.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu