Categories
pandangan strategi kreatif

(Ada Yang) Mempermasalahkan Aksi Boikot

Warga Palestina kembali berduka. Setelah dipaksa ke Rafah, mereka malah dibombardir di sana. Yang setuju boikot produk Israel, lanjutkan. Yang nyinyir, biarkan.

(Ada Yang) Mempermasalahkan Aksi Boikot

Suatu hari, seseakun yang saya ikuti di Instagram seperti kebakaran jenggot dengan aksi boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Meskipun jelas ia tidak memiliki jenggot, karena perempuan. Ia sepertinya terpantik dari warganet yang saat itu menggeruduk akun Zita Anjani, anggota DPRD DKI Jakarta.

Sekadar mengilas balik peristiwanya, saat umrah, putri Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, itu mengunggah foto cangkir Starbuck berlatar belakang Ka’bah. Takarirnya begini, “Lagi makan malam ehh ada yang kasih kopi, menurut kalian gimana guys?”

Menertawakan Gerakan Boikot

Menertawakan Gerakan Boikot

Serangan warganet memang sering keterlaluan dan terlalu memaksakan kehendak. Saya no comment soal itu. Saya hanya tertarik kepada akun “teman” saya tadi. Ia menyatakan muak dengan aksi boikot yang menurutnya berstandar ganda.

Mbak itu menggunggah gambar tangkapan layar dari berita Google yang sudah menjalin kerja sama dengan Kementerian Pertahanan Israel. Ia pun menantang para pemboikot untuk sekalian memboikot Google, kalau berani.

Tak mungkin berani, menurutnya, karena siapa yang bisa meninggalkan Google Search? Docs? Adwords? Adsense? Gmail? Blogger?

Dari sana, si Mbak menuding bahwa pemboikot tebang pilih. Hanya memboikot produk-produk yang mahal. Jangan-jangan, tindakan mereka bukan karena bersimpati kepada rakyat Palestina dan mengutuk Zionis, melainkan karena kebetulan bukan segmen produk-produk itu.

Saya tidak pernah gembar-gembor memboikot ini-itu, meski saya melakukannya. Jadi, postingan itu pasti bukan untuk saya. Namun, saya melihat ada kesalahpahaman yang perlu diluruskan.

Kemudian, saya mencoba memberi sudut pandang saya di kolom komentarnya. Sayangnya, setelah diketik panjang-lebar dan dikirim, komentar tersebut tidak muncul. Saya bahkan mencobanya dua kali, tetap gagal.

Entah karena pemilik akun sudah membatasi komentar, memfilter, atau sekadar karena Instagram memang tidak bisa diisi dengan komentar sepanjang itu.

Ya sudah, saya tulis ulang saja di sini. Lumayan, jadi artikel. Daripada blog ini kelamaan kosong, hahaha….

Buat Apa Ikut Melakukan Boikot?

Untuk Apa Ikut Memboikot?

Jawaban sederhananya: Tentu saja, untuk melawan (secara ekonomi) penindasan, kebrutalan, dan hegemoni Israel. Sambil mendukung kemerdekaan Palestina, baik dalam lingkup pribadi (pemenuhan hak asasi warganya) maupun bangsa (menjadi negara merdeka).

Sebenarnya, yang membahas tema boikot ini sudah banyak. Mulai dari tokoh masyarakat, ustaz, sampai warganet di medsos. Terkait kasus Google atau platform-platform digital besar yang kebanyakan mendukung Israel, saran mereka logis dan simpel saja:

“Selama kita belum menemukan produk yang sepadan, tetap pakai saja apa yang ada. Toh, Google, YouTube, Instagram, Facebook, dkk. juga berpotensi jadi ‘senjata’ di jagat maya untuk menyuarakan kemerdekaan Palestina, dan melawan kampanye Israel yang didukung media-media raksasa. Toh, gratis juga, alias tidak mengalirkan secara riil uang kita ke sono.”

Dengan pernyataan ini, wajar bila pihak yang anti-boikot kemudian menuding, “Ah, tebang pilih!”

Namun, bukankah ini siasat? Sah-sah saja untuk memilih tindakan-tindakan apa yang menguntungkan kita. Sebenarnya, gerakan boikot-memboikot itu tidak usah dipikirkan terlalu ruwet. Menurut saya…

(1) Ini salah satu opsi saja

Ada beberapa pilihan ketika kita tidak setuju dengan tindakan represif Pemerintah Israel terhadap masyarakat Palestina yang telah terjadi sejak puluhan tahun (dan selama itu dunia bungkam). Contohnya, jika kita:

  1. pejabat, keluarkan kecaman resmi atau putuskan hubungan diplomasi dengan Israel.
  2. pemilik media besar, imbangilah narasi-narasi pro-Israel, baik secara luring maupun daring.
  3. punya uang, berdonasilah. Banyak, kok, lembaga yang menawarkan jasa penyaluran dana ke Palestina. Pilihlah yang amanah, salah satunya dicirikan dengan keberadaannya yang sudah bertahun-tahun di Jalur Gaza atau sekitarnya.
  4. begitu lentur di kibor, lancar berbahasa Inggris, ada waktu dan kuota internet, bergabunglah dengan pasukan Julid fi Sabilillah. Seranglah akun-akun yang berafiliasi dengan Pemerintah Israel atau Kemenhannya (IDF).
  5. merasa jagoan, semacam Pitung atau Rambo, terjunlah langsung di medan perang.
  6. bukan siapa-siapa, sekadar boikot juga boleh. Ini senjata ekonomi untuk mencari perhatian pihak penindas dan kawan-kawannya.

Mau pilih opsi yang mana, tinggal sesuaikan dengan kemampuan. Terserah. Mengambil satu opsi, boleh. Dua opsi, boleh. Sama sekali tidak ada kewajiban harus ini, harus itu. Lalu, ada yang menyahut:

“Nanggung! Harus terjun ke Palestina juga, dong. Ikutan perang bareng HAMAS juga! Masa bisanya cuma boikot?”

Hahaha, itu komentar terbodoh yang pernah saya dengar.

(2) Boikot sebenarnya untuk caper

Apakah boikot bertujuan untuk membangkrutkan suatu perusahaan? Itu bisa saja terjadi, tetapi bukan itu yang diinginkan. Tujuan utama boikot sebenarnya sekadar mencari perhatian. Memberi notifikasi bahwa kita tidak suka akan sesuatu.

Dalam hal ini, kita tidak suka dengan produsen-perusahaan yang berandil dalam “membiayai” pembantaian rakyat Palestina. Profit mereka pakai, baik secara langsung atau tidak langsung, untuk menyumbang peluru dan bom. Itu yang kita protes! Makanya, kita caper.

Apakah efektif?

Bayangkan kita sebagai pemilik kedai kopi. Ketika pembeli setia kita tiba-tiba jadi langganan di kedai kopi sebelah yang rasa kopinya tidak seberapa enak, pasti kita akan introspeksi, “Saya salah apa, ya, sama beliau?”

Nah, sama dengan perusahaan-perusahaan yang kita boikot itu. Begitu melihat grafik penjualannya menurun, para analisnya pasti akan melakukan evaluasi. Setelah itu, biasanya mereka:

  1. Mengklarifikasi bahwa mereka tidak mendukung agresi militer. Bahwa kebijakan perusahaannya selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia di belahan dunia manapun.
  2. Memperlihatkan bahwa mereka juga melakukan donasi dana kemanusiaan ke Palestina.
  3. Diam saja. Meneruskan dukungannya terhadap Israel, meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi.
  4. Malah menantang, dengan meneruskan langkah-langkahnya selama ini. Terang-terangan bekerja sama dengan Israel. Perusahaan-perusahaan seperti ini bisa merasa percaya diri karena memang kuat. Mereka juga merasa dukungan Israel jauh lebih signifikan bagi bisnisnya ketimbang dukungan para pemboikot.

Apapun itu, saat mereka ternotifikasi, syukur-syukur melakukan opsi 1 dan 2, tujuan boikot tercapai.

Jadi, lucu sekali kalau ada yang mempertanyakan, “Coba cek di rumahmu. Pasti ada barang-barang produk pendukung Israel, kan? Harusnya, buang semua! Kan, kamu boikot?”

Barang-barang yang terlanjur dibeli, ya dinikmati saja. Kan, uang kita sudah terlanjur terkirim ke mereka. Tak mungkin kita tarik kembali. Justru kitalah yang rugi kalau sudah beli, tetapi barangnya dibuang. Mereka tetap mendapat uangnya, kita malah mubazir.

Kita membuang pun, takkan mendapat perhatian dari produsennya. Kecuali kalau waktu membuang atau membakarnya disyuting dan diviralkan di medsos. Namun, buat apa repot-repot begitu?

Yang lebih praktis dan bijak, tetap pakai saja barangnya. Namun, setelah barang-barang tadi habis atau rusak, berikutnya jangan beli merek itu lagi. Cari alternatifnya.

(3) Bukan melulu masalah efek

Terkadang, suatu perusahaan memang terlalu kuat. Sampai jutaan konsumen memboikot pun tidak berpengaruh.

Bukan masalah! Yang lebih penting, pemboikot sudah menunjukkan keberpihakannya kepada saudara-saudaranya di Palestina. Dan yang lebih penting, menunjukkan aksi nyata kepada Tuhannya Yang Maha Melihat. Kalau dalam Islam, hasil akhir nomor dua. Nomor satu adalah niat dan tindakannya.

Ingat kisah semut yang membawa butiran air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim? Mana bisa api sebesar itu padam dengan setetes air? Terlalu mikro! Namun, dengan tindakan mikronya, semut itu telah menunjukkan di pihak siapa ia berada.

Allah menjanjikan surga bagi orang-orang yang bertakwa. Surga yang supermewah dan berdurasi selamanya itu akan menjadi milik kita asal kita mau menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan durasi ibadah (semasa hidup) yang paling banter sampai 100 tahun dan kualitas yang asal-asalan, kita berharap pahalanya bisa menebus unlimited heaven?

Secara logika, itu tidak masuk akal, bukan? Lebih tidak masuk akal dibanding berencana membeli rumah seharga puluhan miliar, tetapi penghasilan kita setara UMR, masih punya utang di sana-sini, umur sudah 40, dan tanggungan tiga anak. Mustahil uang bisa terkumpul untuk membeli rumah itu!

Namun, Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kita hanya perlu berusaha beribadah semaksimal kemampuan. Dari situ, Allah kemungkinan akan rida. Bukan pahala yang akan mengantar kita mendapat surga. Namun, kasih sayang-Nya.

Allah Maha Melihat apapun yang kita lakukan, termasuk tindakan-tindakan kita dalam mendukung saudara-saudara yang sedang dizalimi. Tidak peduli dampak tindakan itu hanya semikro semut pembawa air untuk Nabi Ibrahim tadi.

Boikot sedikit-banyak ngaruh juga, lo! Ini buktinya....

(4) Sepenuhnya hak kita sebagai konsumen

“Apa pemboikot itu enggak sadar tindakannya bisa membuat perusahaan bangkrut? Mem-PHK karyawan-karyawannya? Lalu, cabut dari Indonesia? Memangnya mereka mau bertanggung jawab?”

Itu yang selalu dicibirkan para penentang gerakan boikot.

Padahal, sejak kapan tidak membeli suatu produk tertentu dibebani kewajiban memikirkan nasib karyawan perusahaan, investasi, dan angka pengangguran? Di luar sana, banyak orang atau LSM yang memboikot suatu perusahaan lantaran dianggap:

Apa mereka berpikir dampak negatifnya bagi investasi dan angka pengangguran? Saya yakin tidak!

Saya sendiri memboikot sirkus lumba-lumba, topeng monyet, dan pertunjukan-pertunjukan binatang, karena tidak rela hewan-hewan itu harus menderita (selama proses latihan) hanya untuk “menghibur” manusia. Eh, teman saya menceletuk, “Terus gimana nasib karyawan dan keluarganya kalau enggak ada yang nonton?”

Langsung saya jawab dengan gaya presidensial, “Yo ndak tahu! Kok nanya saya!”

Di luar konteks boikot berbasis ideologi saja, kita tidak pernah berpikir, “Wah, kalau aku sering beli martabak di sini, nanti tukang martabak yang sana gimana? Enggak dapet pemasukan, dong? Gimana kalau dia lalu pindah jualan ke daerah lain?”

Uang kita terbatas, Bos! Kenapa malah menganggap seolah-olah kita sultan dan tugas kita adalah membagi-bagi rezeki ke seluruh umat manusia? Itu peran Tuhan, Mbak! Peran kita, mah, yang gampang-gampang saja. Mau beli, tinggal beli. Mau tidak beli (lagi), ya tidak usah beli.

Toh, ketika pemboikot tidak membeli produk X, mereka pasti membeli produk substitusinya. Misalnya, Y. Usaha produk Y jadi hidup. Karyawan-karyawan Y pun semringah. Artinya, boikot itu berkah dan rezeki untuk mereka. Baik, kan, para pemboikot itu?

Masih tidak terima?

Tenang. Yang anti boikot selalu bisa membuat gerakan tandingan untuk menolong produk-produk kesayangannya. Umpamanya, tiap malam, makan di KFC, memborong produk-produk Unilever, langganan Disney 5 tahun sekaligus, beriklan FB Ads sesering mungkin, mendaftar Google Workspace yang Enterprise sekalian, dan lain-lain.

(5) Tidak ada boikot yang sempurna

Ini untuk menjawab masalah “tebang pilih” tadi. Dalam hal apapun, seperti melawan korupsi, beribadah, bekerja, termasuk boikot, jangan menunggu segalanya sempurna. Kalau menunggu sempurna, jelas tak akan mulai dan hanya bisa mencibir.

Google sulit diboikot? Jangan malah menghentikan aksi boikot secara keseluruhan. Jangan pula memberi syarat neko-neko semacam, “Harus bisa menciptakan produk yang sehebat Google dulu, baru kita boikot Google!” Waduuuh….

Kalau memang kita tidak mampu menghindari Google, ya sudah, tetap gunakan saja. Anggap itu pengecualian. Bukan masalah, kok, kita boikot sebagian dan tetap pakai sebagian. Boikot itu tidak harus sempurna dan paripurna. Yang penting, lakukan saja dahulu.

Analoginya begini. Kalau tidak mampu memberantas korupsi di Indonesia secara keseluruhan, jangan malah kita ikut melakukan korupsi. Atau, abai dengan sistem yang koruptif di sekitar kita. Tetap hindari dan lawan semampunya!

Bila tidak mampu berolahraga tiap hari, jangan malah meninggalkannya sama sekali. Jangan pasrah rebahan terus, apalagi sambil menertawakan orang yang olahraganya random. Hei, setidaknya si random itu berolahraga!

Kalau menurutmu helm takkan menolong nyawa saat terjadi tabrakan, sehingga menurutmu percuma saja dikenakan, jangan lantas ke mana-mana naik motor tanpa helm, apalagi sambil mengebut.

Jangan perfeksionis dengan prinsip kaku, “Kalau tidak bisa sempurna, sebaiknya enggak usah melakukannya sama sekali.” Itu namanya terjebak dalam Nirvana Fallacy.

Jadi, Boikot atau Tidak?

Lo, kok masih tanya? Apakah belum jelas? Oke, bagian mana yang tidak kamu pahami dari konsep sederhana seputar boikot ini? Tulis di kolom komentar.

Intinya, orang memboikot karena sakit hati. Ada nilai-nilai yang terusik. Tidak perlu saling memperdebatkan nilai-nilai kemanusiaan atau keyakinan itu. Karena tidak akan selesai. Ingat, boikot itu pada dasarnya hak masing-masing.

Kita mau beli barang A, kek. Barang B, kek. Barang Z, kek. Terserah yang punya uang. Bukankah sejak dahulu seperti itu?

Salam perdamaian & kemanusiaan,
#AllEyesOnRafah

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index