Saya sebenarnya tak pernah tertarik dengan asuransi. Tapi toh akhirnya saya mendaftar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), asuransi kesehatan buatan Pemerintah. Alasan utamanya, karena diwajibkan oleh Pemerintah.
Sempat terjadi polemik halal-haram BPJS. Sempat pula saya menunggu diluncurkannya BPJS Syariah. Tapi belum jelas kapan jaminan kesehatan yang dikelola secara lebih islami itu terwujud, Pemerintah sudah mewajibkan BPJS konvesional. Ya sudah, saya ikut saja. Kalau produk ini memang hukumnya haram, biarlah Pemerintah yang menanggung dosanya.
Di sisi lain, saya terdorong ikut BPJS juga karena melihat ayah saya merasakan manfaatnya. Preminya murah. Jadi, sangat logis untuk orangtua saya yang sudah tidak ada pemasukan sama sekali.
Kalau saya, Alhamdulillah, setelah mengaktifkan keanggotaan BPJS, tidak terlalu memanfaatkannya. Bahkan sampai tulisan ini Anda baca, saya dan putri saya satu kali pun belum pernah memanfaatkannya.
Saya pernah sakit mata, telinga seperti kemasukan serangga, dan asma. Kiara juga pernah demam hingga 40 derajat, batuk, dan pilek. Tapi kami percaya, itu penyakit-penyakit yang tidak perlu dokter. Cukup istirahat, makan makanan bergizi, minum banyak air putih, insya Allah sembuh sendiri.
Sudah dijamin BPJS kok tidak memanfaatkannya? Bodoh? Rugi?
Ah, itu tergantung perspektif masing-masing. Bagi saya, lebih tidak efisien kalau hanya terkena penyakit “remeh” saya harus ke dokter untuk diperiksa dan minta obat, lalu kalau dianggap parah dirujuk ke rumah sakit. Fotokopi-fotokopi, bensin, parkir, antre bolak-balik, ah, ribet! Waktu saya lebih berharga dari itu.
Saya pun tidak mau mericuhi dokter-dokter itu (yang konon dibayar sedikit dari PT BPJS) untuk mengurusi penyakit yang menurut saya bisa sembuh sendiri. Saya juga tidak mau menambah panjang antrean pengguna BPJS di klinik dokter atau rumah sakit.
Kenapa ikut BPJS, kalau begitu? Uang iurannya percuma, dong?
Tidak juga. Duit iuran bulanan yang saya bayar setahun penuh di depan itu, selama saya sendiri tidak sakit parah, sudah saya ikhlaskan untuk menyubsidi orang-orang sakit lainnya. Orang yang level sakitnya lebih “elite” dari sekadar kelas puskesmas (pusing, keseleo, masuk angin).
Contohnya, ya pasien-pasien seperti ayah saya. Beliau pernah dirawat gratis ketika menderita malaria setelah “berpetualang” di rimba-rimba Papua demi mencari sesuap nasi setelah “masa pensiun”. Beliau juga rutin kontrol ke spesialis saraf di RSI Jemursari. Itu kalau pasien umum sudah keluar berapa juta, coba?
Ayah saya bisa menikmati perawatan, tindakan medis, dan obat-obat gratis karena ada orang lain di seberang sana yang menyubsidinya via BPJS. Masa saya yang masih berpenghasilan tidak mau balik menyubisidi orang lain, malah sakit sedikit langsung menghunus kartu BPJS? Pemerintah menyebut konsep ini “subsidi silang”. Saya menyebutnya dengan lebih sederhana: sedekah.
Meskipun begitu, bohong besar kalau saya tidak berharap manfaat dari BPJS. Sebab, kami butuh juga. Terutama untuk penyakit yang pelik. Atau, untuk urusan semacam hamil, persalinan, dan pasca persalinan.
Inilah yang mengawali langkah kami untuk berwisata dari klinik satu ke klinik yang lain. Dimulai dari…
Rumah Zakat
Siapapun tahu, prosedur BPJS itu ribet. Kita tidak bisa langsung menuju tempat pelayanan medis yang kita inginkan. Harus ada rujukan dulu dari Fasilitas Kesehatan Pratama (Faskes I). Kebetulan, Faskes I yang kami pilih adalah praktik dokter keluarga, dr. Maulida Juniar.
Harapannya, karena tidak memiliki fasilitas bersalin, dr. Maulida akan merujuk kami langsung ke rumah sakit terdekat. Tidak seperti puskesmas. Lantaran punya fasilitas dan tenaga untuk membantu persalinan, puskesmas takkan merujuk ke mana-mana. “Cukup kami tangani sendiri persalinan Anda!” mungkin seperti itu alasan mereka nanti.
Tapi, alangkah kecelenya kami ketika yang dirujuk dr. Maulida bukannya RSI yang hanya berjarak 1,5 kilometer dari rumah kami. Dia malah merujuk Rumah Zakat. Klinik Pratama Rawat Inap RBG (Rumah Bersalin Gratis) Rumah Zakat cabang Sidosermo II/kav. 321 Surabaya yang berjarak empat kilometer!
Alasan dr. Maulida, “Untuk persalinan normal, dan tidak ada riwayat persalinan bermasalah, memang aturan BPJS diarahkan ke bidan non rumah sakit.”
Wah, tahu begini, kami memilih Faskes I-nya langsung Puskesmas Siwalankerto saja! Jaraknya hanya dua kilometer, tak perlu merujuk ke mana-mana lagi, praktis! Bahkan, tanpa ikut BPJS pun puskesmas sebenarnya sudah digratiskan oleh Pemkot Surabaya, asalkan pasiennya memang warga kelurahan itu.
Apa boleh buat. Kami akhirnya ke Rumah Zakat. Kesan pertama, “Ini kok kayak puskesmas swasta, ya.” Sudah begitu, luasnya kalah dengan Puskesmas Siwalankerto.
Tenaga medisnya pun terbatas. Ke depannya, bukan sekali dua kali, kami harus balik kucing tidak jadi periksa lantaran bidan-bidannya sedang sibuk menangani persalinan pasien lain.
Tapi keunggulan di Rumah Zakat, ada fasilitas USG. Meski hanya gratis untuk tiga kali kontrol kehamilan. Selebihnya, kalau mau cetakan USG dibawa pulang, harus bayar. Obat atau vitamin yang hanya untuk 10 hari pun harus ditebus. Untuk itu semua, kami harus membayar Rp45.000.
Lantas, apa fungsinya ikut BPJS kalau apa-apa masih bayar begini?
Belum terjawab pertanyaan itu, belakangan Rumah Zakat mengaku tidak ada hubungannya dengan BPJS. Rumah Zakat hanya bekerja sama dengan dr. Maulida selaku Faskes I kami.
Tapi sekali lagi, dengan niat sedekah, kami ikhlas saja membayar tiap kali datang. Toh Rumah Zakat ini seperti badan sosial yang menyediakan persalinan gratis, ambulance gratis, dan pengobatan murah bagi masyarakat. Hitung-hitung, kami bisa ikut menyukseskan program-program mulia mereka.
Puskesmas Siwalankerto
Pada Selasa, 31 Mei, minggu ke-38 kehamilan, bidan di Rumah Zakat melihat istri saya pucat. Bidan itu menyuruhnya periksa darah ke puskesmas, karena Rumah Zakat tidak mempunyai fasilitasnya. Tujuannya, untuk mengetahui kadar hemoglobin (Hb) istri saya. Sementara itu, istri saya hanya diberi Alinamin-F untuk membantu kontraksi.
Lusanya, Kamis, 2 Juni, kami pergi ke Puskesmas Siwalankerto, di Jalan Siwalankerto 134 Surabaya, untuk memeriksa darah, albumin, dan urine. Biaya totalnya Rp21.500.
Hasilnya diketahui 10 menit kemudian: Hb istri saya 9,7 g/dl. Bidan puskesmas menyarankan istri saya untuk makan sayur-sayuran, buah-buahan kuning, dan daging-dagingan. Istri saya juga diberi vitamin B12, C, penambah darah, dan kalsium untuk lima hari ke depan. Kami menebusnya di apotek puskesmas tanpa tambahan biaya.
Senin, 6 Juni, merupakan awal bulan puasa. Sebenarnya, saya malas ke mana-mana. Namun berhubung stok obat dari Rumah Zakat dan puskesmas menipis, tinggal Folamil Genio yang kami beli sendiri di luar, dan kami ingin cepat-cepat tahu arti dari Hb 9,7, kami pun balik ke Rumah Zakat.
Bidan menerangkan, “Wah, kalau 9,7 ya berbahaya, Bu, Pak. Yang 10 saja kemarin darahnya banyak ketika bersalin, sampai butuh transfusi. Kami ini kan nggak punya dokter spesialis kandungan dan stok darah. Bisa sih kami pesan dari rumah sakit, tapi biasanya lama. Padahal persalinan itu kan butuhnya cepat. Lagipula, transfusi darah itu biayanya bisa jadi lebih mahal dari persalinannya sendiri.”
Maka permasalahannya dikembalikan kepada dr. Maulida untuk merujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas lengkap. Karena, “Ini sudah termasuk kategori risti (risiko tinggi),” pungkas bidan itu.
Saya tertegun. Jujur, saya senang-senang saja dirujuk ke rumah sakit. Apalagi RSI Jemursari yang letaknya lebih dekat. Tapi, kepikiran juga dengan masalah darah ini. “Standarnya Hb menjelang kelahiran berapa, sih?” tanya saya.
“Minimal 11, Pak,” jawabnya. “Punya ibu ini rendah sekali. Kami nggak berani menangani persalinannya.”
“Lho, pas kelahiran dia,” saya menunjuk Kiara, “kami nggak pakai cek Hb-Hb-an. Mungkin di bawah 11 juga waktu itu. Toh istri saya bisa melahirkan normal. Tanpa transfusi atau tetek bengek lainnya. Jadi, kenapa sekarang harus mempertimbangkan Hb segala?”
“Begini, Pak. Untuk awamnya, Hb itu fungsinya mengentalkan darah. Tanpa itu, dikhawatirkan terjadi pendarahan, pasien lemas selama persalinan, Hb tambah drop, dan darahnya makin sulit membeku. Ya, belum tentu begitu juga. Ini namanya risiko. Bisa terjadi, bisa tidak. Nah, yang kita antisipasi kan kalau benar-benar terjadi, Pak.”
Kami saling pandang. Rupanya, ini problem serius. Apalagi, saat ini sudah minggu ke-39, yang artinya sudah count down menjelang kelahiran.
Lalu, bidan Rumah Zakat memberikan Samcobion untuk menambah darah, yang kalau habis bisa diganti dengan Sangobion yang dijual bebas. Tapi kami ragu apakah semua ini efektif untuk mendongkrak hemoglobin sebelum Hari H.
Dokter Keluarga Maulida Juniar
Malamnya, kami langsung melesat ke praktik dr. Maulida Juniar Riza di Jalan Tenggilis Utara II/9 Surabaya. Kami melaporkan perkembangan terbaru ini. Tapi, dr. Maulida bersikeras tak perlu ke rumah sakit. Dia heran, kenapa hemoglobin 9,7 dikatakan berisiko?
Dia juga sempat membandingkan telapak tangannya dengan telapak tangan istri saya. “Tuh kan, masih kelihatan merah-merahnya. Artinya, darahnya masih normal,” tandasnya.
Saya setengah tersenyum setengah jengkel, waktu itu. Masa hasil lab puskesmas dibandingkan dengan pengamatan telapak tangan? Yang benar saja!
“Saya khawatirnya,” kata dr. Maulida, “kalau merujuk ke RSI, BPJS-nya tidak terpakai dan Anda dianggap pasien umum. Rumah sakit itu, sejak awal, peruntukannya memang untuk pasien-pasien dengan kelahiran bermasalah.”
Di situlah, kami kehabisan argumen. Gentar juga. Sebab, kami tidak menabung secara khusus untuk persalinan ini.
Bayangan kami, hamilnya sehat, kepala bayi di bawah, plasenta tidak ada yang menghalangi jalur lahir, persalinannya bisa normal, disuruh ke Rumah Zakat kami ke Rumah Zakat, bersalin di sana pun tidak masalah, yang penting ibu-anak selamat. Kami tidak menuntut fasilitas yang muluk-muluk. Kami ini anggota BPJS yang penurut dan taat aturan main. Jadi, BPJS harusnya mau menanggung semuanya. Harusnya.
Klinik Utama Populer
Setelah perdebatan singkat, dr. Maulida akhirnya merujuk kami untuk check up sekali lagi di Laboratorium Klinik Utama “Populer” Cabang Jalan Bendul Merisi 12 Surabaya. Barangkali, klinik ini lebih dia percayai daripada puskesmas.
Baiklah. Keesokan paginya, kami tancap gas ke Klinik Populer untuk periksa darah lagi. Biayanya 45.000. Tapi karena kami dirujuk dokter resmi BPJS, jadinya gratis. Hasil pemeriksaan, Hb istri saya 9,8 g/dl. Jadi, sudah berlalu lima hari dengan dibantu aneka pengobatan dan program “perbaikan gizi” mandiri dari kami, penambahannya hanya 0,1 g/dl.
Ini sudah 7 Juni, dan hari perkiraan kelahiran adalah 17 Juni. Apakah bisa mengejar target Hb 11? Ditambah lagi, perkiraan kelahiran bisa maju atau mundur dua minggu. Kalau mundur sih malah untung, kalau maju? Anak pertama saya dulu lebih cepat tujuh hari dari hari perkiraan. Kan ini membuat panik saja.
Siangnya, kami mendatangi Rumah Zakat untuk berdiskusi dan meminta rujukan. Rencananya, bila dr. Maulida tetap menolak memberi rujukan ke rumah sakit, kami bisa menggunakan rujukan dari Rumah Zakat buat RSI.
Meskipun orang Rumah Zakat sudah menerangkan, “Yang diakui pihak rumah sakit nanti dari Faskes I, Pak. Kami tidak ada hubungannya dengan BPJS. Jadi ada kemungkinan, rujukan kami dianggap rujukan antar rumah sakit biasa, dan sampeyan dianggap pasien umum yang harus membayar di sana.”
Tak apalah! Saya tetap meminta rujukan mereka yang menyatakan bahwa istri saya Hb-nya rendah, anemia, sehingga “tidak aman” bila harus melahirkan di klinik yang fasilitas dan tenaga medisnya terbatas seperti Rumah Zakat. Surat rujukan ini rencananya kami pakai untuk “menekan” dr. Maulida agar mau mengeluarkan surat rujukan ke RSI.
Setelah berbuka puasa, kami langsung mencoba Rencana A ini ke dr. Maulida. Rencana B, jika dia tetap enggan memberi rujukan ke RSI Jemursari, kami siap membayar sendiri persalinannya. Bagaimana lagi, Rumah Zakat sudah angkat tangan, masa kami harus “memotivasi” mereka supaya lebih percaya diri menangani persalinan istri saya?
Omong-omong, informasi terakhir, persalinan normal di RSI 3,5 juta dengan bantuan bidan, dan 7 juta dengan bantuan dokter. Itu kelas III, kelas paling murah. Kalau saya ambil persalinan dengan bidan, ditambah biaya obat-obatan, paling totalnya 5 jutaan seperti persalinan Kiara dulu. Bedanya, biaya segitu sudah dapat kelas II waktu itu.
Alhamdulillah, tanpa perdebatan, dr. Maulida akhirnya melunak setelah membaca laporan dari Klinik Populer. Surat rujukan ke RSI pun kami kantongi.
Tapi, kami belum bisa bernapas lega mengingat keputusan akhir ada di tangan RSI. Apakah BPJS berfungsi untuk kasus kami? Atau kami tetap harus merogoh kocek sendiri?
Rumah Sakit Islam Jemursari
Rabu, 8 Juni, kami langsung mengetes kesaktian rujukan itu. Kami mengambil antrean untuk kontrol ke dr. Dwinanda Junaedi, Sp.OG di RSI. Sambil menunggu praktiknya yang dimulai pukul 9.00, kami datangi BPJS Center di RSI.
Stafnya bilang, “Oke, biaya pemeriksaan kandungan akan ditanggung BPJS.”
“Kalau persalinannya, Pak?” selidik saya.
“Untuk persalinan, tergantung pertimbangan dokternya nanti,” jawab staf BPJS Center itu. “Prinsipnya, kalau mengikuti prosedur, melalui mekanisme rujukan, semua akan terkover BPJS.”
Saya manggut-manggut.
Kami pun menunggu di lantai II RSI, tempat dr. Dwinanda berpraktik. Tak lama kemudian, papan elektronik di atas pintu ruangannya memperlihatkan nomor antrean kami. Kami pun masuk.
Saran-saran dr. Dwinanda kurang-lebih sama dengan anjuran bidan Rumah Zakat dan Puskesmas Siwalankerto. Hanya, USG di sini jauh lebih bening dan jelas. Sayang, hasil cetakannya tidak diberikan kepada kami. Juga, tidak ada resep yang ditulis. Kami hanya disuruh datang lagi minggu depan.
Tidak sia-sia kami bersafari medis keliling klinik, puskesmas, dan rumah sakit selama tiga hari berturut-turut saat saya sedang berpuasa. Karena besoknya, putri kedua kami lahir.
- Photos by Brahmanto
6 replies on “Akira 1: Wisata Medis karena Ribetnya BPJS”
Selamat Brahm,… atas kelahiran putrinya.
Semoga jadi anak sholehah.
Kalau aku sudah nggak kehitung lagi pakai BPJS.
Sakit sedikit langsung ke sana.
Prinsip kita gratis, kok nggak dimanfaatkan.
Biaya yang dikeluarkan cuma bensin (sedikit), tidak ada parkir dan antriannya pendek. Bahkan tanpa antrian.
Saya puas kok pakai BPJS.
Mochamad Yusuf recently posted..Berkunjung ke Sentra Produksi Senapan Angin
Amiiin, Pak. Terima kasih 🙂
Motif ekonomi itu memang motif paling logis, Pak. Tapi soal penggunaan BPJS aku nggak pakai motif ekonomi. Biar beda, hehehe….
Trus kmrn jadinya gmn to’..? Persalinan anak ke-2 dicover full sama BPJS gak? Pengalaman seorang teman di denpasar, istrinya melahirkan dg operasi caesar. Dia msh kluar biaya 1jt-an krn anaknya dulu ketika dlm kandungan tidak didaftarkan BPJS. Salah satu program BPJS yg agak tdk masuk akal: mendaftarkan bayi di kandungan ikut BPJS. Padahal jenis kelamin tdk diketahui, akan lahir atau keguguran jg blm diketahui. Sedangkan di kartu BPJS kan tercantum nama pemegang kartu dan tgl lahirnya.
Aku sendiri sdh memanfaatkan program BPJS ini beberapa kali (di luar kehamilan & persalinan) dan alhamdulillah menolong banget mengingat biaya periksa di klinik juga tidak murah. Anakku pernah operasi tumor jinak di kepala bagian belakang. Opname 1 hari jg bisa menempati kelas 1 (sesuai kelas BPJS yg diambil). Semuanya gratis. Tp memang prosesnya agak ribet. Harus menggunakan rujukan dulu dr faskes 1 dan dipastikan memang di faskes tsb tdk ada fasilitas yg memadai utk penyakit tsb.
Tulisan ini sebetulnya masih bersambung, tautannya ada di kalimat terakhir. Janinku sudah kudaftarkan BPJS juga, sih. Tapi sampai bayinya kubawa pulang, aku belum bayar. Jadi, tentu kartunya belum aktif. Dan tetap, hampir semua biaya persalinan istriku ditanggung BPJS.
Beda kasus, misalnya, dengan temanmu. Mungkin jabang bayinya ada treatment khusus setelah lahir. Jadi BPJS-nya sudah nggak ikut ibunya. Kalau si bayi belum terdaftar ya nggak terkover biaya treatment itu.
Sebetulnya, mem-BPJS-kan bayi itu logis dan fair, kok. Tanggal lahirnya diisi dengan tanggal mendaftarkan, namanya diisi dengan “Calon Bayi Ny. Fulan”. Bayarnya nanti saja, setelah sudah lahir selamat. Begitu dibayar dan diaktifkan di loket BPJS, hari itu juga kartu bisa dipakai. Soal nama dan tanggal lahir, nanti bisa diralat lewat form perubahan data yang dilampiri akta kelahiran. Batas ralat meralat ini kalau nggak salah maksimal 2 bulan setelah kepesertaan dibayar dan diaktifkan.
Kalau keguguran? Meninggal setelah lahir? Makanya jangan dibayar dulu BPJS-nya sebelum bayi lahir. Ada expired date-nya tuh pendaftaran. Kalau nggak dibayar, nanti hangus-hangus sendiri kok dan dianggap nggak ada pendaftaran apa-apa.
Wah, anakmu kena tumor, Bob? Tapi sudah nggak pa-pa kan sekarang?
Itu lho salah satu niatku nggak sering-sering pakai BPJS (kecuali sakit parah atau persalinan seperti kemarin). Biar duit dari keluargaku utuh, sehingga bisa memberi sumbangsih, meski dikit, ke peserta lain yang sakitnya lebih serius.
Wis, moga-moga kita dan keluarga kita sehat terus, yo… 🙂
[…] Tapi kok saya malah disuruh wisata medis? […]
Kita bisa langsung ke rumah sakit yang diinginkan dengan BPJS tapi keadaan darurat dengan langsung menuju UGD setempat. Biasanya pada malam hari dimana Puskesmas sudah tutup
Anisa recently posted..5 Cara untuk menghilangkan lingkaran hitam pada mata