Categories
kesehatan

5 Alasan Berkebun Bukan Pilihan, tetapi Kebutuhan

Bagi saya, berkebun adalah hobi yang logis dan ekonomis. Berkebun juga nyaris segratis dan sekontemplatif hobi menulis. Mari, saya jelaskan alasannya….

Alasan Berkebun Bukan Pilihan, tetapi Kebutuhan

Konon, seorang pria sejati harus memiliki setidaknya satu pekerjaan dan satu hobi. Dahulu, saya merasa beruntung, hobi dan pekerjaan itu sama, yaitu menulis. Namun, lama-lama saya sadar bahwa itu justru blunder. Sebab dengan hobi dan profesi yang sama, saat pekerjaan mentok, kita jadi tidak punya pelarian.

Itulah mengapa kita perlu mengembangkan hobi yang berbeda. Saya sebenarnya suka traveling, wisata kuliner, bulu tangkis, dan beberapa lainnya. Namun, semua itu membutuhkan uang, sehingga kurang cocok dijadikan hobi yang rutin.

Akhirnya, gardening alias berkebunlah yang saya pilih untuk menggantikan hobi menulis yang sudah naik kelas menjadi profesi. Saya menikmatinya. Seiring berjalannya waktu, saya justru merasa berkebun bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan saya. Kenapa, hayo?

(1) Bisa Dimakan Hasilnya

Berkebun Bisa Dimakan Hasilnya

Fungsi ekonomi dari sebuah kebun adalah untuk dipanen, lalu dijual atau dimakan sendiri hasilnya. Inilah alasan dasar saya berkebun. Demi ketahanan pangan, saya sengaja memenuhi kebun dengan tumbuhan-tumbuhan konsumsi, seperti:

  1. Singkong. Umbinya adalah sumber karbohidrat, meskipun hanya dapat dipanen 10 bulan sekali. Daunnya yang enak disayur bisa dipanen seminggu sekali, setelah pohon setinggi setengah meter.
  2. Bayam Brazil. Mudah sekali dibudidayakan. Daunnya kaya akan serat, vitamin, dan protein. Bisa dipanen dua minggu sekali.
  3. Buah Naga (Pitaya). Saya baru menanamnya enam bulan yang lalu, jadi belum pernah panen. Usia panennya konon sekitar setahun. Mudah-mudahan pohonnya sehat, sehingga bisa berbuah. Saya sudah ngiler membayangkan buah yang berair, manis, dan bervitamin itu.
  4. Kemangi. Sayuran ini kaya akan protein, kalium, kalsium, dan serat. Rasanya enak dan wangi. Maknyus kalau dijadikan campuran sambal!

Memang hasil dari kebun mungil saya tidak sampai memenuhi kebutuhan harian karbohidrat, buah-buahan, apalagi lauk hewani. Namun, setidaknya untuk sayur mayur, kami sudah tidak perlu beli di pasar, kecuali bila ingin variasi menu.

Bagaimana dengan tanaman bunga-bungaan? Hanya ada tiga di kebun saya: mawar, melati, dan kamboja jepang (adenium). Semua peninggalan almarhumah mama.

Jadi ingat, saya dulu suka “berantem” dengan beliau, hahaha. Beliau suka dengan bunga-bunga dan meminta saya ikut menanamnya. Namun, saya ogah, “Buat apa? Cuma menuh-menuhin tempat, tapi tanamanya enggak bisa dimakan.”

Sekarang, tanaman mawar mama di depan rumah layu, meskipun kami tetap merawatnya demi mengenang beliau. Tanaman kamboja jepang tumbuh artistik dan harum di pot, jadi kami biarkan saja.

Sementara, tanaman melati tumbuh rimbun. Tingginya dua meteran. Pohon melati itu menjadi satu-satunya peneduh di halaman depan kami. Katanya, bunganya dapat dijadikan teh melati. Namun, saya belum pernah mencobanya. Mungkin nanti. Mungkin juga tidak. Karena alih-alih teh, saya lebih suka minum kopi.

(2) Berkebun Membuat Fisik Sehat

Berkebun Membuat Fisik Sehat

Berkebun di pagi hari sangat menyehatkan. Matahari belum terik, sehingga tidak akan membuat kulit Jawa saya lebih legam. Asal berkebunnya jangan lama-lama juga, hehehe.

Sebaliknya, sinar matahari akan membantu kulit memproduksi nutrisi penting bagi tubuh, yakni vitamin D. Vitamin ini baik untuk kesehatan tulang, sel darah, dan sistem kekebalan tubuh. Itulah mengapa saat pandemi COVID-19, kita dianjurkan berjemur untuk meningkatkan daya imun.

Selain itu, sinar matahari pagi juga meningkatkan kadar serotonin dalam otak yang dapat membantu kita merasa positif, tenang, dan fokus. Sinar matahari pagi juga diyakini dapat membantu mengatur ritme sirkadian, sehingga berpotensi memperbaiki kualitas tidur kita.

Bagaimana kalau berkebunnya sore hari? Ya, kadang-kadang saya melakukannya juga. Setahu saya, manfaat mataharinya kurang-lebih sama. Walaupun intensitasnya tentu berbeda dengan sinar matahari pagi.

Di luar itu, kegiatan berkebun sendiri bisa kita anggap olahraga untuk menguatkan otot. Di kebun, saya sering berkeringat, jantung berdebar lebih kencang, dan kalau terlalu asyik, keesokan harinya otot-otot tangan dan kaki bisa linu-linu, seolah barusan latihan beban di pusat kebugaran.

Aktivitas seperti mencabut rumput, memotong dahan, memberi pupuk, membenarkan posisi pot, atau mengaduk adonan kompos, mungkin termasuk dalam kategori olahraga ringan.

Sementara kegiatan menggali tanah, memotong kayu, menjebol (umbi) singkong, menyirami satu per satu secara manual (apalagi kalau pakai menimba sumur seperti di kebun saya), mengangkat pot-pot besar, pasti setara dengan olahraga sedang.

(3) Sebagai Ajang Bersosialisasi

Berkebun Bisa Menjadi Ajang Bersosialisasi

“Itu tanaman apa, Pak?”

“Enak, ta, bayam brazil itu?”

“Pohon naga sampean, kok, kayak jadi sarang semut, ya.”

“Mas, itu bentuknya memang kayak tanaman hias, tapi sebenarnya rumput liar, lo. Cabut aja, kalau saran saya!”

Itulah sebagian pertanyaan atau komentar dari tetangga-tetangga saya atau satpam kompleks yang kebetulan lewat. Walaupun saya bukan warga yang populer di sini, hampir setiap saya mengurus kebun di luar pagar, ada saja yang (memberanikan diri) membuka dialog. Jangan-jangan, kebun itu memancarkan aura persahabatan?

Yang jelas, kalau berkebunnya di dalam pagar, saya tentu bersosialisasi dan mengobrolnya dengan istri, atau kadang-kadang papa. Meski seringnya sendiri-sendiri, karena kami bagi sif berkebun. Anak-anak saya juga sebenarnya biasa meramaikan kebun, tetapi untuk main-main atau berolahraga saja.

(4) Mengapresiasi Alam

Berkebun untuk Mengapresiasi Alam

Anda suka mendengar kicauan burung? Alih-alih membeli dan mengurungnya (yang berarti melawan fitrah hewan bersayap untuk terbang), Anda bisa mencoba dua alternatif ini:

  1. Unduh suara-suara atau video-video di internet, lalu mainkan kapan pun Anda mau.
  2. Buatlah kebun. Burung-burung akan berdatangan sendiri. Saya tidak pernah membeli burung, tetapi setiap hari, burung perkutut, kutilang, pipit, dan lain-lain bergantian singgah di kebun saya. Kicauan bahagia mereka adalah musik yang indah di telinga saya.

Selain burung, kebun saya juga kerap didatangi kucing, kadal, bunglon, belalang, ulat bulu, cacing, belalang, lebah, dan entah apa lagi. Indah sekali, bukan? Betapa banyak makhluk mencari rezeki di kebun ini.

Setiap saya menyiram tumbuhan atau memberi pupuk, saya merasa Tuhan sedang membagikan rezeki kepada makhluk-makhluk-Nya melalui tangan saya. Wow! Tiba-tiba, saya merasa keren!

Saya juga banyak berkontemplasi ketika melihat, misalnya, kadal mati, dirubung semut, digotong masuk ke dalam tanah, keping demi keping, lalu sisa tubuhnya mengering.

Semua makhluk akan merasakan masuk ke dalam tanah, lalu menjadi tanah. Kita yang awalnya menginjak-injak tanah dan menganggapnya menjijikkan, cepat atau lambat, tanahlah yang akan menginjak dan melumat tubuh kita.

Di kebun, kita jadi belajar tidak sombong, ingat mati, dan bertawakal. Kita tidak bisa menyuruh alam untuk bekerja lebih cepat, atau lebih lambat. Kita juga tidak punya kuasa untuk memastikan keberhasilan panen. Semua ada ilmunya, tetapi ilmu pun tidak menjamin kesuksesan. Itulah kerennya alam.

(5) Berkebun adalah Sarana Relaksasi

Berkebun adalah Sarana Relaksasi

Pada jam-jam tertentu, ada bagian dari kebun saya yang tertutup dari sinar mentari. Teduh.

Saya jadi suka menongkrong di sana. Terkadang sampai berjam-jam. Mata menerawang ke tanaman-tanaman hijau tersebut. Berkhayal, sudut ini mau saya jadikan begini, yang sana mau saya bikin begitu. Letupan-letupan kreativitas berlompatan. Asyik sekali.

Bahkan jika tidak sedang ada pikiran apa-apa, duduk santai di kebun adalah terapi yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan mood saya.

Minimal, saat saya berkebun, mata teralihkan dari layar ponsel atau laptop. Memandang daun-daun hijau baik bagi kesehatan mata. Apalagi, di kebun yang penuh tumbuhan, oksigen berlimpah. Paru-paru pun menjadi lapang dan segar.

Pohon Singkong Mulai Bisa Dipanen Daunnya

Setidaknya, kelima alasan itulah yang membuat saya suka berkebun. Dan saya akan melanjutkan hobi ini, di sela-sela aktivitas menulis. Demi menjaga kondisi fisik-mental agar tetap sehat dan seimbang.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

2 replies on “5 Alasan Berkebun Bukan Pilihan, tetapi Kebutuhan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index