Categories
travel

Batam 2: Wisata Kuliner

Pulau yang sejak awal dibangun untuk industri ini telah menjelma menjadi metropolitan baru yang gemerlap oleh modernitas. Tidak ada yang aneh. Semua orang barangkali sudah meramalkannya. Batam terletak di antara Jakarta (pusat peradaban Indonesia), Singapura, dan Sumatra yang juga berkembang terutama di kota-kota semacam Medan dan Padang.

Tengoklah, pulau berpenduduk sekitar 750.000 jiwa ini pun memenuhi syarat sebagai kota besar. Dari sektor perekonomian, politik, apalagi hiburan. Di beberapa sentra seperti Jodoh, Nagoya maupun Batam Centre, bertebaran tempat-tempat karaoke, pub, diskotik dan restoran.

Penginapan? Tinggal cek di halaman ini saja sambil meraba-raba ketebalan dompet. Terdapat ratusan losmen tumbuh di tanah ini, ratusan hotel melati, dan puluhan hotel berbintang dua hingga empat. Itu semua ada bahkan di usianya yang ke-35, umur yang tergolong remaja untuk ukuran sebuah kota.

Muka Kuning

Sepulangnya dari menjenguk Jembatan Barelang, Firman memberhentikan mobilnya di Muka Kuning, Batam Industrial Park, untuk numpang salat di masjid sana. Sebelum azan Isya’ berkumandang, kami cepat-cepat merapat ke Masjid Nurul Islam. Bagi yang muslim, memang tak ada yang dikhawatirkan selama di Batam. Wilayah ini kental dengan nuansa Melayu. Mencari masjid atau makanan halal sangatlah mudah.

Makan ayam bakar, minum teh susu. Mmm...
Makan ayam bakar, minum Teh Susu. Mmm… Photo from TripAdvisor.com

Kami salat Maghrib dan Isya’, sekalian makan malam di kantinnya. Menu makannya ayam bakar biasa. Namun minumnya Teh Susu. Teh dicampur susu, disajikan hangat-hangat. Nikmat sekali minuman khas orang Melayu mancanegara ini. Rasa kesat teh berpadu dengan legit susu begitu menggigit di lidah. Jika komposisi teh, gula dan susunya pas, level kelezatannya akan bertambah dua kali lipat.

Bagaimanapun, ada anjuran kesehatan untuk menghindari minum teh bersama susu. Sebab, protein susu dapat mengikat antioksidan yang ada di dalam teh, sehingga sulit diserap tubuh. Ini tidak berbahaya, tapi cukup merugikan, karena antioksidan berguna untuk menghancurkan radikal bebas dalam tubuh kita.

Tapi, siapa peduli. Toh, jarang-jarang saya meminum teh susu.

“Kemana lagi setelah ini?” tanya Firman.

Saya melihat jam. Sudah hampir pukul 21.00. Rasanya, lebih baik kami pulang dulu. Beristirahat. Meletakkan ransel berat dan tas pinggang yang membuat sakit pinggang ini.

Rusun Bumi Lancang Kuning

Rumah susun ini milik Jamsostek. Namanya aneh untuk ukuran orang Jawa seperti saya: Bumi Lancang Kuning. Letaknya di Jalan Duyung nomor 1. Parkirannya seluas parkiran mal. Ada masjid kecil di area itu. Kami melewati sebuah taman yang terletak di suatu blok. Kamar Firman berada di lantai II, jadi kami masih perlu naik tangga lagi.

Nyaman juga berada di kamar ini. Ada kamar mandi dalam di ruang seluas kurang lebih 7 x 4 meter persegi itu.

“Berapa sewa per bulannya, Man?”

“Empat ratus,” jawabnya. Tapi itu belum termasuk listrik dan air yang ada meterannya sendiri di tiap kamar. Hm, pantas saja…

Firman tidak punya televisi. Bukan karena tidak sanggup beli, tapi karena memang merasa tidak perlu. Saya acung jempol untuk sikapnya itu. Saya pun sebenarnya termasuk orang yang sama sekali tidak kecanduan televisi. Bukannya anti. Hanya, ada televisi atau tidak, bukan masalah bagi saya.

Konsekwensi tak ada hiburan itu membuat kami mengobrol lebih asyik. Setelah mandi dan mengatur pakaian, kami melanjutkan mengobrol. Mulai dari kabar teman-teman di Surabaya, agama, materi-materi kuliah S2-nya Firman, sampai rencana bisnis. Saya lupa sampai jam berapa akhirnya kami mengantuk dan sama-sama sepakat untuk tidak memperpanjang pembicaraan.

Kami tidur. Tapi mungkin karena badan capek sekali, saya merasa hanya terlelap selama 15 menit. Tiba-tiba saja, azan Subuh berkumandang. Firman membangunkan saya. Kami pun salat berjamaah di masjid bawah.

Setelah itu, kami memutuskan mencari sarapan.

Keluarlah kami pusing-pusing di Nagoya. Firman naik Peugeot hitamnya, sementara saya memutuskan menggunakan sepeda angin milik Firman. Pagi memang enak dipakai berolahraga. Meskipun, namanya kota besar, jam 6 pun jalanan sudah aktif menyebarkan karbon monoksidanya. Mobil Firman melaju lambat-lambat di depan, memandu jalan.

“Bawa pulang saja ya makanannya?” tanya Firman.

Saya mengiyakannya.

Hingga sampailah di Depot Mie Kuah. Dia memesan makanan, sementara saya melanjutkan bersepeda keliling kawasan pertokoan tersebut. Hanya berkeliling sebentar. Setelah itu, kami pulang untuk menandaskan mie itu di Rusun Bumi Lancang Kuning.

Makanan tandas, mandi selesai, Firman pamit untuk bekerja. Saya merasa tidak enak juga, datang kok bukan di saat liburan. Tapi sejak awal, Firman sudah mengatakan tidak masalah, asalkan saya juga tidak masalah dibiarkan sendiri di rumah saat jam kerja.

Saya memang tidak masalah. Namun, akhirnya bosan juga.

Maka pukul 10 lebih, saya memutuskan untuk melanjutkan petualangan sepeda pancal yang kunci gemboknya masih saya pegang. Rasanya, lalu lintas Batam tidak separah Surabaya, apalagi Jakarta. Jadi, siapa takut?

Eh, sial, setelah setengah jam bersepeda, saya meralat kata-kata saya. Ternyata, terik matahari di Batam sama saja dengan di Surabaya. Rasanya malas saya melanjutkan perjalanan ini. Saya ingin pulang.

Tapi perut sudah keroncongan dan saya tahu di rusun tidak ada makanan. Jadi, makan dimana ya?

Kaki-kaki saya terus mengayuh sepeda.

Martabak Har. Tak banyak minyak, tapi di lidah tetap gahar.
Martabak Har. Tak banyak minyak, tapi di lidah tetap gahar. Photo from GrandQueen.blogspot.com

 

Tengok kanan, tengok kiri, belasan menit, akhirnya pilihan bersantap siang jatuh ke rumah makan kecil yang bernama Martabak Har, di Nagoya. Ini restoran India. Sebagaimana di Singapura, selain makanan dan minuman Melayu, menu India pun menjadi makanan favorit. Saya tidak tahu apa-apa soal masakan India, jadi saya pilih saja Roti Telur.

“Ini dikasih kare ya?” tanya saya lugu.

“Ya,” jawab sang pelayan restoran yang bukan keturunan India itu, jadi kepalanya tidak pakai geleng-geleng. “Semua masakan di sini pakai kare.”

Mendengar itu, kontan rasa eneg dari masakan yang bumbunya kental bergentayangan di alam imajinasi. Saya kurang bisa mengapresiasi masakan-masakan berkuah kental.

Tapi kalau tidak dicoba, mana pernah tahu?

Eh, ternyata, kare itu mirip rawon, Kawan. Setidaknya bentuknya: kuah keruh dengan potongan-potongan daging yang empuk. Tapi warnanya cokelat cerah. Rasanya, kuah maupun dagingnya, lebih mirip martabak yang biasa saya makan di Jawa. Coba saja, saat karenya saya tuang ke roti telur yang pipih itu, lalu rotinya dilipat sehingga menutupi kare, dan dimakan… jadilah martabak! Cuma kandungan minyaknya sedikit. Tidak seperti martabak-martabak dalam hidup saya selama ini.

Kenyang! Sulit dipercaya makan roti dapat mengenyangkan begini. Tapi tagihannya lumayan juga. Mencapai 24.000. Tidak apalah.

Waroeng Teh Tarik

Sepulang kerja, Firman mengajak kami mencari makan malam. Ya, lagi-lagi di luar. Karena Firman, seperti umumnya laki-laki, tidak bisa memasak kecuali mie instan 🙂 Tak perlu jauh-jauh, kami memilih depot yang letaknya di seberang rusun.

Plat bertuliskan “Waroeng Teh Tarik” kelihatan mentereng di kompleks ruko itu. Depotnya sendiri sebenarnya biasa-biasa saja. Hanya pengunjungnya lumayan banyak, dan tampak kontras dengan panti pijat di sebelah kanannya yang diterangi lampion-lampion temaram.

Kami pun masuk. Firman memesan Paprika (masakan yang terdiri dari potongan cumi, ayam, dsb.) serta sayur Kailan Sostiram. Saya ikut saja. Minumnya, saya mencari yang khas sini: Teh Tarik.

Beginilah kurang-lebih bagaimana Teh Tarik dibuat
Beginilah kurang-lebih bagaimana Teh Tarik dibuat. Photo from wisata.kompasiana.com

Ya, hampir sama dengan Teh Susu. Cuma, disajikannya dengan cara ditarik sewaktu mengecor airnya. Dari tarikan itu, timbullah busa-busa seperti bir di bibir gelas. Atau, yah, sederhananya persis susu soda. Namun yang dituang adalah teh, bukan soda.

Teh Tarik dibuat dengan menggunakan teh serbuk. Seperti prosedur membuat hidangan teh biasa, serbuk teh ini akan diaduk-aduk dengan air. Lalu, ditapis dengan menggunakan kain.

Sempat beredar rumor, Teh Tarik sebenarnya sengaja dicampuri sabun agar buihnya tahan lama. Padahal, kepekatan kandungan gula dalam air tehlah yang menyebabkan busa itu bertahan lama. Cara yang sama digunakan untuk membuat buih sabun tahan lama (misalnya untuk mainan anak-anak): tambahkan gula ke dalam larutan sabun itu!

Selain Teh Tarik, ada juga Kopi Tarik. Cara buatnya kira-kira sama saja. Tapi saya belum mencoba yang itu. Mungkin lain kali.

Pulangnya, kami mampir ke tour & travel untuk membeli tiket pulang ke Surabaya. Saya tidak ingin terlalu lama merepotkan Firman yang rasanya sedang sibuk-sibuknya bekerja. Buktinya, beberapa kali dia pamit ke Singapura karena ditugaskan atasannya.

Jadi, “Lebih baik, kapan-kapan saja disambung lagi ke Batam,” janji saya dalam hati. Oke, untuk sementara, kunjungan singkat ini berhasil memuaskan rasa penasaran saya terhadap pulau eksotik ini.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

7 replies on “Batam 2: Wisata Kuliner”

Leave a Reply to wildan Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index