Semalam, saya bermimpi bertemu teman lama. Selain kawan bermain petak umpet, bentengan, dan permainan-permainan tradisional mengasyikkan lainnya di kompleks, ia juga teman saya satu SMA. Sebut saja namanya Dendy.
Mengapa saya tidak menuliskan nama aslinya saja? Untuk melindungi identitasnya. Saya tidak enak juga. Ada kemungkinan orang-orang yang saya ceritakan ini ikut membaca. Hehehe….
Mimpi itu persis dimulai dengan saya berjalan beberapa meter di depan rumah Dendy, di Jalan Soda II. Saya hafal benar kawasan itu, karena rumah lama saya juga di gang II.
Sejak pindah rumah, terakhir saya mampir ke rumah itu rasanya setelah Dino (nama samaran juga), kakak Dendy, menikah. Sudah lama sekali. Namun, dari teras rumah itu, saya melihat tidak ada perubahan yang signifikan. Semua masih sama.
Saya ketuk-ketuk pagarnya.
Seorang pria berkaca mata lalu keluar rumah. Samar-samar, saya tahu ia Dino. Ia juga teman dekat saya. Namun, saya tidak menyangka, penampilan begitu rapi dan klimis. Berbeda sekali dengan perjumpaan terakhir kami sekira tahun 2014.
“Tampaknya, nasib baik berpihak kepadanya,” batin saya (dalam mimpi).
Karena takut salah menyapa orang, saya tidak menyapanya dengan sok akrab. Saya cukup bertanya, “Dendy-nya ada?”
Pria itu juga sepertinya kurang mengenali saya. Atau takut salah menebak juga?
Yang jelas, ia hanya membuka pagar dan mempersilakan masuk. Melalui pintu samping yang dahulu jarang dibuka, saya berjalan mengikutinya. Ia tidak meminta saya menunggu di kursi-kursi teras, melainkan terus berjalan ke dalam rumah. Saya ikuti saja.
Saya lantas melihat Dendy muncul. Ia rupanya bertambah gemoy dan rambutnya gondrong. Wajahnya tampak begitu segar. Dari kejauhan, ia memberi isyarat saya untuk menunggu sebentar, lalu buru-buru masuk ke kamar.
“Oke,” kata saya.
Saya mengedarkan pandangan ke sekitar. MasyaAllah, rumah di gang II itu luas sekali! Ramai dengan orang pula. Sepertinya, fungsinya bukan sekadar tempat tinggal lagi, melainkan tempat usaha.
Saya sebenarnya juga lumayan akrab dengan orang tua Dino dan Dendy. Saya biasa memanggil mereka Pak Nono dan Bu Nono (bukan nama asli). Sewaktu kami masih tinggal sekompleks, Bu Nono adalah besty almarhumah mama saya, sering memesan jahitan baju juga ke mama.
Sayang, sepanjang mata memandang, saya tidak melihat Pak Nono dan Bu Nono. Apakah sudah meninggal? Ah, semoga belum. Sebab, saya ingin sekalian bertemu beliau berdua dan mengobrol mengenai masa lalu.
Wah, tiba-tiba Dino menghilang dari pandangan! Dendy juga belum datang menemui saya. Jadi, saya hanya bisa celingukan di rumah luas tersebut.
Kalau saya amati dalam mimpi itu, rumah tetangga di sebelah baratlah yang diratakan demi memperluas tanah rumah ini. Mereka lalu membangun taman yang artistik di sebelah barat. Plus, beberapa gazebo yang berjajar.
Di gazebo-gazebo tersebut, beberapa orang tiduran, mereka terlihat kelelahan. Ada seorang emak-emak gendut yang tidur (maaf) mengangkang. Aduh, pokoknya aneh sekali mimpi ini!
Yang lebih aneh, terdapat kandang yang berisi orangutan juga. Hanya seekor. Seorang staf berseragam cokelat di sana, tanpa ditanya, tiba-tiba menjelaskan bahwa sebenarnya ada sepasang lainnya. Namun, orangutan-orangutan itu sedang “dipinjamkan” ke suatu tempat.
Tunggu dulu! Staf-staf itu sepertinya tidak asing. Saya mengerutkan kening beberapa saat. Baru saya ingat, mereka adalah adik-adik kelas saya sewaktu kuliah dahulu! Saya mengenal mereka, tetapi kami memang tidak akrab.
Dan saya makin bingung, bagaimana ceritanya mereka sekarang bekerja untuk Dino dan Dendy? Mereka sarjana Komunikasi, kenapa malah bekerja mengurus orangutan dan taman? Dan rumah ini, apakah sebuah kantor? Penginapan? Tempat wisata?
Kok bisa Dino dan Dendy sesukses dan sekaya ini?
Di kehidupan nyata, mereka memang pernah memiliki bisnis rumah makan, tetapi kemudian tutup dalam beberapa tahun. Keterpurukan itu tidak berhenti di sana. Saya mendengar dari sahabat masa kecil saya yang lain, bahwa Dino dan Dendy bercerai dari istri masing-masing, dalam keadaan belum punya keturunan.
Mungkin dari situlah, kakak-beradik ini memutuskan kembali mengurus rumah orang tuanya. Sekaligus fokus ke bisnis baru, hingga mereka sesukses ini!
Untuk ukuran (dompet) saya, tidak mudah dan murah untuk mengembangkan rumah di Jalan Soda ini.
Dahulu, ini memang kompleks yang biasa. Jalannya tanah, sehingga selalu tercipta kawah-kawah air saat musim hujan. Membuat naik kendaraan apapun serasa ikut perjalanan off road. Banyak juga sawah-sawah ilalang di antara rumah-rumah.
Keluarga saya pindah dari sini ketika saya duduk di kelas V SD. Siapa sangka, dalam berpuluh tahun kemudian, kompleks ini berevolusi menjadi kawasan elite. Masjid di gang III makin mewah dan megah. Bisnis-bisnis bertumbuhan. Ada hotel berbintang pula di gang II, tepat di sebelah rumah lawas saya.
Pastinya, tidak murah meneruskan hidup di lingkungan seperti itu. Iuran RW-nya pasti ratusan ribu (bahkan lebih), PBB-nya pasti minimal lima jutaan per tahun, belum lagi pajak-pajak lainnya.
Jadi kalau Dino dan Dendy sampai mampu bertahan di sana, bahkan memperluas rumahnya, tentu dompet mereka cukup tebal. Apalagi sampai mendapat izin memelihara tiga ekor orangutan segala di pekarangannya.
Entah apa bisnis mereka saat itu, sehingga pegawainya mencapai belasan orang begitu. Entah siapa pula orang-orang yang bersantai di gazebo-gazebo itu. Apakah tamu mereka? Klien mereka? Atau sekadar sanak keluarga?
Begitu banyak pertanyaan. Namun, saya keburu terbangun sebelum sempat bertemu dengan Dendy, sebagaimana tujuan awal saya.