Categories
etika

5 Etika Chat dan Telepon: Masa Begini Saja Perlu Diajari?

Jangan mentang-mentang sekarang mudah menghubungi orang lewat WA, Telegram, dan surel, kita jadi boleh seenaknya. Orang lain tetap butuh privasi dan kenyamanan.

5 Etika Chat dan Telepon: Masa Begini Saja Perlu Diajari?

Lima belas tahun silam, berapa biaya menelepon ke luar negeri? Berapa tarif mengirim pesan ke seratus orang? Mahal! Alhamdulillah, sekarang semua hanya seharga pulsa internet. Dengan hadirnya aplikasi-aplikasi obrolan seperti WhatsApp (WA) atau Telegram, mengobrol dengan teks, suara, bahkan video menjadi jauh lebih murah.

Sisi negatifnya, orang-orang jadi kebablasan memakainya. Mereka jadi menghubungi kita semaunya, kapan saja, untuk membicarakan topik-topik yang sesuai kepentingannya sendiri. Seolah lupa, bahwa selalu ada etika dalam berbicara dengan orang lain. Tidak peduli itu pembicaraan langsung atau melalui layar. Apa saja?

(1) Jangan Lakukan Bila Hanya Menguntungkan Sepihak

Terkadang, seseorang menghubungi orang lain karena alasan yang egois. Ada yang karena bosan, kesepian, atau kangen. Kalau kasusnya suami-istri atau orang tua-anak yang sedang terpisah jarak jauh, mungkin akan terkesan wajar, bahkan romantis.

Masalahnya, saya pernah dihubungi teman kantor (sesama laki-laki) karena alasan ini! Hahaha…

Pernah juga ada momen, teman saya rutin menelepon hanya karena ia ada bonus gratis bicara dari operator selulernya. Ia bingung memanfaatkannya, makanya menelepon saya. Saya pun tiba-tiba harus melayani obrolan ngalor-ngidul berjam-jam sampai telinga berasap.

Karena saya belum menikah waktu itu, dan masih tidak enakan, saya selalu meladeninya dengan sabar. Padahal, dongkol juga, karena telepon semacam ini membuat saya tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas lainnya.

Sudah jadi rahasia umum, seorang introver selalu punya cara menghibur diri tanpa orang lain. Tidak seperti ekstrover yang selalu butuh orang lain, sekadar untuk mengisi waktu luangnya. Saya, contohnya, senantiasa memiliki sesuatu untuk dilakukan. Dan saya lebih suka melakukan itu ketimbang harus meladeni pembicaraan yang tak jelas juntrungannya.

Lagi pula, coba pikir. Apa tidak egois namanya bila Anda yang kesepian, orang lain (yang baik-baik saja keadaannya) jadi kehilangan waktunya? Apa adil bila Anda yang dapat bonus paket bicara, orang lain yang harus mendengarkan ocehan Anda?

Orang lain tidak selalu tegas mengatakan ketidaksukaannya. Maka, Andalah yang perlu peka. Pandailah membaca situasi. Bila orang itu terkesan tidak nyaman, atau setidaknya tidak seantusias Anda, berhentilah!

Kembalilah ke aturan awalnya: Hubungi seseorang jika memang ada hal penting atau berpotensi menguntungkan atau mengasyikkan bagi kedua belah pihak.

Kalau Anda tidak juga peka, jangan tersinggung bila perlahan-lahan orang itu menjauhi Anda, tidak menjawab telepon-telepon atau chat-chat Anda. Ingat, pada dasarnya setiap orang memiliki waktu sendiri. Mereka cukup tahu harus digunakan untuk apa waktu itu, bisa jadi bersama Anda, bisa jadi tanpa Anda. Terserah ia!

(2) Katakan dengan Jelas di Awal

Saya kerap terganggu dengan pesan singkat seperti “Halo, apa kabar?”, “Ada waktu?”, “Lagi ngapain?”, “Sibukkah?” atau sekadar “Brahm…” yang tidak ada kelanjutannya. Entah sengaja, entah pengirimnya lupa melanjutkan, yang jelas pesan itu berhenti begitu saja.

Mengapa pesan-pesan superpendek seperti ini menjengkelkan? Sebab, mereka telah mengambil atensi, waktu, dan energi saya tanpa alasan yang jelas.

Pesan semacam itu ibarat buah simalakama. Sapaan, “Sibuk, nggak?” misalnya. Kalau saya jawab sibuk, kesannya sombong. Kalau saya jawab tidak, kemungkinan besar akan jadi blunder bagi saya. Ia bisa saja kemudian mengajak mengobrol, menemaninya ke suatu tempat, atau membantunya mengerjakan sesuatu. Duh!

Memang, bagi sebagian orang, mengirim pesan seperti itu adalah cara untuk memulai percakapan atau menjalin hubungan. Namun, bagi saya dan banyak kaum introver lainnya, kami lebih suka menerima pesan yang bersifat langsung. Sopan, tetapi to the point!

Ingat, introver tidak suka obrolan-obrolan kecil alias basa-basi yang bertele-tele, baik secara lisan (direct conversation) maupun tulisan (text conversation).

Alih-alih mengirim pesan “Hai” dan menunggu balasan, apa susahnya langsung menyampaikan maksud dan tujuan Anda? Dengan begitu, orang yang Anda sapa bisa memutuskan apakah perlu membalasnya sekarang, nanti, atau tidak sama sekali.

“Tapi, kan, dalam Islam, asalamualaikum wajib dijawab?” mungkin begitu dalih Anda.

Ya, kalau saya, pasti menjawabnya. Namun, secara lisan saja, tanpa mengetik dan mengirimkannya. Anda mendengar jawaban saya atau tidak, bukan urusan saya. Yang penting, sudah gugur kewajiban saya menjawab salam.

Pesan singkat seperti, “Asalamualaikum! Apa kabar, Pak Brahm?” tanpa informasi tambahan hanya akan membuat saya mengintipnya sekilas, menjawabnya secara lisan, lalu melanjutkan kegiatan saya.

Maaf, saya tidak sepenasaran itu untuk menindaklanjutinya. Percayalah, sampai Jarwo dan Sopo jadi capres-cawapres Indonesia pun, saya tidak akan membalas pesan-pesan yang sejak awal tidak jelas seperti itu.

(3) Tanyakan, Lebih Nyaman Berkomunikasi melalui Apa?

Suatu ketika, seorang telemarketer bank menelepon. Nomornya sudah berkali-kali mencoba menghubungi. Siapa tahu penting, saya pun mengangkatnya. Keputusan yang kemudian saya sesali, hahaha!

Setelah mengucap salam, si penelepon bertanya apa saya ada waktu. Saya menjawab apa adanya, “Tergantung apa keperluannya, Mbak?”

Ia mengatakan mau presentasi.

“Kirim brosurnya via email atau WA saja,” pinta saya, yang memang cenderung malas untuk berbicara dan mendengar. “Saya lebih nyaman membacanya dulu.”

“Baik, Pak,” katanya menyanggupi. Ia pun meminta email saya, lantas memberikan nomor WA koleganya di kantor. “Hubungi teman saya di kantor ini saja, Pak. Nanti, beliau yang akan menjelaskan.”

Saya tertawa dalam hati. Kok, jadi seperti ini? Kenapa saya yang harus repot-repot menghubungi WA-nya? Yang butuh siapa? Lagi pula, bukankah saya jelas-jelas sudah minta presentasinya dikirim lewat email atau WA? Sebab, saya lebih nyaman berkomunikasi lewat media brosur atau bacaan, dalam kasus ini.

Bayangan saya, kalau mereka mau menawarkan investasi reksadana, tabungan khusus, atau produk-produk perbankan lainnya, mereka pasti punya brosurnya. Nah, saya minta itu! Akan saya baca dan pelajari dahulu. Menarik, tidak?

Seandainya memang menarik, saya baru akan minta dijelaskan. Namun, bila sejak awal isinya tidak relevan dengan kebutuhan saya, kenapa saya harus buang-buang waktu mendengarkan seseorang mencerocoskan jualannya? Begitu, maksud saya.

Namun, kolega telemarketer tadi tidak kunjung mengirim materi yang hendak mereka presentasikan. Yang ada, telemarketer itu mengirim pesan lagi, “Bagaimana, Pak? Apa sudah menghubungi WA teman saya?”

Saya tertawa lagi. Merasa orang ini nggak nyambung, pesan-pesan berikutnya pun tidak saya tanggapi sama sekali.

(4) Sampaikan dengan Singkat, Padat, dan Sederhana

Lain waktu, giliran telemarketer dari perusahaan rintisan teman saya yang mengirim pesan. Setelah menulis salam, ia memberi pesan lanjutan. Isinya, perusahaannya berterima kasih karena saya telah menggunakan jasa mereka, hubungan ini akan mereka rawat, dan seterusnya.

Di akhir teks, ia meminta waktu untuk menelepon. Namun, tanpa menginfokan apa yang hendak dibicarakan. Maka, saya memintanya menyederhanakan prosesnya, “Sekarang agak sibuk, Mas, karena sedang ada deadline. Silakan sampaikan saja intinya lewat teks. Biar bisa saya baca dulu.”

Eh, jawabannya malah begini, “Maaf, Pak, kalau mengganggu. Boleh saya tahu kapan Bapak tidak deadline lagi dan ada waktu longgar untuk saya telepon?”

Hahaha, busyet!

Saya mengatakan “sibuk” supaya tidak perlu mendengarkan orang mengoceh sana-sini, kenapa malah ditunggu kapan tidak sibuknya? Saya sengaja memintanya menyampaikan rangkuman (semacam elevator pitch) apa yang mau dibicarakan, kok, ia bersikeras menyampaikan versi panjangnya?

Seolah ia berkata, “Sudahlah! Ini pasti menarik buat Bapak! Dijamin sesuai kebutuhan dan kepentingan Bapak! Pasti Bapak tidak sabar, kan? Makanya, selesaikan dulu tugas-tugas Bapak yang lagi deadline itu, supaya kita bisa segera mengobrol tentang hal spektakuler yang akan saya sampaikan ini.”

Begitulah. Saya lalu memutuskan untuk tidak membalas lagi pesan WA-nya.

“Bukan begitu,” protes Anda. “Ia takut kalau memberi tahu inti penawarannya, Anda nanti langsung menolaknya. Jadi, memang sengaja dibuat misterius begitu dulu. Marketing, kan, seni membuat orang penasaran.”

Kalau sudah sok misterius begitu, memangnya saya pasti bilang “iya”? Tetap saja, saya akan berpikir relevan-atau tidak relevan. Jika tidak relevan, saya tentu akan menolak juga! Sama saja, bukan?

Bedanya, bila penolakan itu terjadi lebih awal, bukankah itu akan menghemat waktu masing-masing pihak? Dan bila saya memang tertarik, bukankah lebih awal lebih baik bagi telemarketer itu?

(5) Berterima Kasih

Setelah meminta permisi, memastikan bahan pembicaraannya bagus buat kedua belah pihak dan penyampaiannya enak, mengucapkan terima kasih adalah penutup yang sempurna. Sangat dianjurkan!

Kelima etika ini bukan hanya berlaku untuk hubungan interpersonal dengan teman, saudara, atau orang lain yang akrab (tapi nggak sampai seakrab itulaaaah). Ini juga seharusnya diterapkan dalam hubungan interpersonal konteks bisnis. Contohnya, itu tadi, dalam profesi telemarketing. Masa begini saja perlu diajari?

  • Gambar ilustrasi dibuat dengan Microsoft Designer AI

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index