Akun media sosial (medsos), blog, atau YouTube telah sampai ke tahap yang begitu personal buat kita. Seolah-olah, itulah identitas umumnya Gen Y (milenial) dan Gen Z. Seakan-alan, itulah avatar atau perwakilan fisik kita di dunia maya. Jadi, apa yang menimpa akun-akun tersebut seperti juga menimpa diri kita. Akunnya terpuruk, suasana hati kita pun ikut memburuk.
Misalkan, kita mengunggah foto di Instagram. Ditunggu sekian lama, tidak ada yang menyukai (like). Kita pun menjadi baper dan berpikir, “Aku pernah salah apa, ya?”
Atau, setelah kita rutin mengunggah video di YouTube, katakanlah seminggu dua kali, selama tiga bulan. Ternyata, jumlah subscribers hanya bertambah sepuluh. Mutunglah kita, malas upload lagi. Orang Jawa bilang, “Ndak jadi Youtuber, ndak pathek’en!”
Atau setelah merilis puluhan episode siniar alias podcast dan ternyata tetap segelintir yang mendengarkan atau mengunduh, baper lagi….
Saya pernah berada di posisi itu. Namun sekarang, saya sudah menguasai ilmu kebalnya, supaya mental tetap positif dan terus produktif. Mau tahu juga ilmu itu?
1. Jika Akun Medsos Sepi Interaksi…
Dulu, saya sering merenung, “Kenapa tiap kali aku nulis konten, cuma 2-3 orang yang nge-like, ya? Padahal aku udah berusaha maksimal bikin konten-konten bagus. Sementara, kalau si A, si B, atau si C yang posting, padahal cuma foto-foto narsis nggak jelas, yang nge-like bisa puluhan, bahkan ratusan?”
Saya merenung lama untuk menemukan jawabannya. Bapernya lama. Saya lalu berpikir, “Geblek, ngapain aku begini?” Akhirnya, saya belajar untuk santai saja.
Toh, tiap orang memiliki karisma sendiri-sendiri. Untuk apa membandingkan diri dengan orang lain?
Jangankan konten yang berbeda, konten yang sama persis saja bisa berbeda jauh jumlah interaksinya di medsos, hanya karena faktor siapa yang mengunggah. Seseorang dapat lebih mudah menarik likes, comments, atau shares dibanding orang-orang lainnya.
Itu yang saya sebut sebagai faktor karisma tadi. Karisma tidak ada hubungannya dengan magic. Ini murni logic. Tidak percaya? Amati saja. Seseorang dapat memiliki karisma di medsos, pasti karena satu atau beberapa faktor ini:
- Popularitas di Dunia Nyata. Tentu saja jumlah interaksi di konten-konten orang yang sejak awal sudah terkenal lebih tinggi. Mereka ini contohnya artis, atlet, dai tenar, orang kaya, pejabat, dan sebagainya.
- Kecantikan atau Ketampanan. Orang cakep lebih mudah memikat orang lain, termasuk konten-konten buatannya (meskipun bila konten tersebut tidak berisi). Namun, kita yang tampangnya biasa-biasa saja tidak perlu bersedih juga. Karena bila ini dilihat dari sudut pandang agama, terutama Islam, justru tampang bisa menjerumuskan. Sebab, di sana ada ujian kesombongan, godaan riya, selingkuh, atau mengumbar aurat demi popularitas. Lebih banyak pintu dosanya.
- Biasa Menebar Kebaikan. Siapa menebar akan menuai. Misalnya, dia rajin menyukai, mengomentari secara positif, atau membagikan konten teman-temannya di medsos. Cepat atau lambat, teman-temannya akan merasa berutang budi. Sehingga ketika dia mengunggah kontennya, ramailah teman-teman itu berinteraksi di sana untuk balas budi.
- Mengorbankan Waktu Lebih Banyak. Dia rajin membuat konten yang lebih panjang dan lebih sering daripada umumnya kita. Seorang teman, Alfawzia Nurrahmi, dapat kita jadikan contoh. Konten-konten LinkedIn pemilik agensi bahasa Pruf Ritz ini hampir selalu ramai. Yang menyukai bisa puluhan, yang berkomentar belasan. Padahal, tidak seperti medsos-medsos lainnya, memperoleh likes di LinkedIn sulit sekali. Saya sendiri setiap membuat status lebih sering tidak ada yang menyukai, padahal koneksi LinkedIn saya lebih dari seribu orang. Bagaimana mungkin terjadi perbedaan yang jauh dengan teman saya tadi? Ternyata, kalau saya perhatikan, Alfawzia ini memang niat menginvestasikan waktunya di LinkedIn untuk branding. Saya yang tiap hari paling-paling cuma menongkrong 15 menitan di LinkedIn bisa apa? Memperoleh satu like saja sudah untung, hehehe.
- Mau Berinvestasi Uang. Jangan gampang iri dengan akun-akun yang seperti mudah menarik engagement. Sebab, siapa tahu, dia rajin memasang iklan, mengadakan kuis berhadiah buat teman-teman medsosnya, atau trik-trik lainnya. Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah aku bersedia merogoh kocek juga seperti mereka?”
Intinya, kalau usaha kita di medsos begitu-begitu saja, jangan iri dengan akun orang lain yang terlihat lebih gemilang. Jangan baper.
2. Jika Komentar di Blog Hanya Segelintir…
Memiliki blog dengan tingkat interaksi tinggi, salah satunya ditandai dengan banyaknya komentar di setiap artikel, tentu sangat menyenangkan dan membanggakan. Akan tetapi, jangan sampai faktor komentar ini dijadikan parameter saklek kesuksesan sebuah blog. Takutnya, nanti bila tidak ada komentar di blog, kita jadi kecewa dan malas meneruskan blog.
Supaya tahan banting dan tetap bersemangat ngeblog, walaupun tidak ada komentar di setiap artikelnya, ubah sudut pandang kita. Perhatikan, blog yang mengandung sedikit atau bahkan tanpa komentar justru menguntungkan. Ada setidaknya lima keuntungan, antara lain:
- Leluasa Repost. Paradigma blogging saat ini berbeda. Dulu, semakin banyak artikel, semakin baik. Sekarang, sebaiknya unggah artikel yang panjang dan mendalam tentang sebuah tema spesifik. Frekuensi postingnya jarang tidak apa-apa, asalkan rutin. Seandainya nanti ada informasi baru terkait tema artikel yang sudah kita publikasikan, alih-alih membuat artikel baru, tambahkan update tersebut ke artikel lama. Lalu, repost atau publikasikan ulang. Di sinilah repotnya bila ada komentar. Sebab, setiap komentar ada tanggalnya. Maka bila kita memublikasikan ulang sebuah artikel menjadi terbit tahun 2020, tetapi komentar-komentarnya berwaktu 2018 atau 2019, ketahuanlah itu artikel reposted.
- Artikelnya Tetap Fokus. Seorang kawan lama pernah mengobrol ngalur-ngidul di salah satu artikel Warung Fiksi. Awalnya, artikel tersebut termasuk peringkat atas di halaman hasil pencarian Google. Sayangnya, setelah obrolan di kolom komentar itu, peringkatnya pelan-pelan melorot. Mungkin Google yang tadinya memahami bahwa artikel ini tentang film, jadi kehilangan orientasi, “Sebenarnya, ini artikel apaan, sih? Kok ada tulisan soal kabar keluarga, teman-teman lama yang belum menikah, dan lain-lain?”
- Tidak Ada Risiko Broken Link. Apa gunanya ratusan komentar, tetapi beberapa tahun kemudian, blog para pengomentar tidak bisa diakses lagi? Sehingga akibatnya, ketika mengklik tautan yang mereka tinggalkan di kolom komentar blog kita, seseorang akan dibawa ke halaman galat (error). Tautan-tautan mati atau broken link semacam ini berpotensi mencederai reputasi blog kita, karena mesin-mesin penelusuran akan menganggap kita menyesatkan pembaca kita.
- Tidak Perlu Blogwalking. Saling mengunjungi dan mengomentari memang trik bloger untuk mendukung sesamanya. Tradisi yang positif, sebenarnya. Namun, seiring dengan semakin banyaknya blog yang kita tangani, kegiatan blogwalking menjadi beban tersendiri. Di samping itu, belum tentu artikel bloger-bloger lain itu yang sedang kita butuhkan. Masa kita harus membaca sesuatu yang tidak kita butuhkan? Maka bisa dibilang, beruntunglah mereka yang tidak memperoleh komentar di blognya. Beruntung karena mereka tidak perlu membalas kunjungan dan komentar di blog-blog yang lain. Tidak perlu ewuh pakewuh. Sehingga, energi dan waktu dapat difokuskan ke konten-konten berikutnya.
- Bisa Memurnikan Motivasi Blogging. Sebenarnya, apa sih motivasi kita ngeblog? Kalau saya, blogging di sini untuk mengabadikan kenangan buat anak-cucu dan berbagi ilmu atau informasi yang berguna. Tidak ada niat untuk menjadi pendengung alias buzzer, memenangkan lomba blog, atau menjadi terkenal. Memang sepolos dan semurni itu motivasi saya. Ada komentar, sedikit komentar, atau banyak komentar bukanlah hal yang penting buat saya.
Untuk jelasnya, silakan putar video ini:
Pada akhirnya, bukan berarti Anda dilarang berkomentar di blog-blog saya. Hanya, selaku pengunjung, Anda bebas meninggalkan komentar atau hanya membaca-baca tanpa meninggalkan komentar. Bebas!
3. Jika Jumlah Pengikut Medsos Terus Merosot…
Penurunan jumlah pengikut secara drastis biasanya karena terlalu banyak akun palsu atau follower-subscriber hasil beli. Makanya, saya tidak menyarankan cara instan ini. Bagi yang ingin tahu kenapa, silakan baca di sini. Namun jangan salah, pelaku unfollow dari akun riil juga banyak. Dan itu lebih menyakitkan, pastinya, apalagi kalau dia teman dekat kita.
Supaya tidak baper, pandanglah ini sebagai proses detoksifikasi. Semacam pencucian usus dari “racun-racun”. Ibaratnya, bobot tubuh kita 65 kg tetapi lemaknya sendiri 15 kg. Buat apa? Lebih baik bobot cuma 50 kg tetapi tanpa lemak, bukan? Tubuh akan lebih sehat dan lincah. Demikian pula setelah akun kita di-unfollow. Memang, akun jadi lebih “kurus”, tetapi semakin lincah dan sehat.
Dengan di-unfollow-nya akun kita, akan terlihat mana saja akun-akun yang memang menyukai konten-konten kita dan mana yang tidak. Kalau pemilik akun tertentu sebenarnya tidak suka tetapi tetap mengikuti kita, tidak akan ada gunanya juga buat kita. Akun-akun seperti ini tidak akan pernah berinteraksi di konten-konten kita.
Makanya, kita seharusnya lega kalau dia akhirnya meng-unfollow kita. Semakin banyak yang unfollow, tandanya semakin sukses program detoksifikasi kita.
Selebihnya, kita fokus saja mengurus akun-akun yang masih mengikuti kita. Berterimakasihlah kepada followers setia itu. Berilah mereka penghargaan atau reward, misalnya berupa like, love, atau komentar-komentar positif di konten mereka. Hadiahi juga mereka dengan konten-konten terbaik kita.
Lalu, apa yang perlu kita lakukan untuk para unfollower tadi? Ada reward, ada punishment. Terserah bagaimana bentuk punishment Anda terhadap para unfollower ini. Kalau saya, mekanismenya begini:
- Kalau saya tidak follow dia, saya ikhlaskan saja. Itu haknya untuk meng-unfollow saya. Toh, salah saya sendiri tidak mem-follow back dia.
- Kalau saya ternyata sudah follow dia, tinggal diperdalam, apakah saya benar-benar suka atau butuh dengan konten-kontennya? Kalau suka, biarkan saja, saya akan tetep mem-follow-nya. Namun, bila kontennya biasa-biasa saja atau saya tidak suka sama sekali, saya akan balas unfollow dia. Dan kalau saya “tidak suka” orangnya dan konten-kontennya sekaligus, terpaksa saya blokir dia. Langkah paling ekstrem ini saya ambil supaya saya tidak sampai tergoda untuk mem-follow dia lagi ke depannya, dan dia pun tidak bisa mem-follow saya.
Intinya, bila kita udah merasa bikin konten-konten yang bermutu, tetapi masih aja ada orang-orang yang tidak suka atau meng-unfollow, anggap saja merekalah yang rugi. Bukan kita kehilangan mereka, melainkan merekalah yang kehilangan kita. Buat apa baper?
Lantas, apa langkah berikutnya? Lanjutkan bermedsos, blogging, vlogging, atau podcasting. Teruskan membangun aset-aset digital dengan memproduksi konten-konten sebaik yang kita mampu.
Namun, kita juga harus bersedia introspeksi, menerima kritik, belajar, dan menyibukkan diri dengan tantangan-tantangan baru. Sehingga, tidak ada waktu untuk baper.