Categories
c'est ma vie

Jerman 1: Datangnya Email Kejutan

Pada Rabu yang mendung, 11 April 2012, saya menerima email yang cerah dari Jerman. Pengirimnya adalah Sepideh Parsa. Entah siapa dia. Tapi isi email itu cukup mengejutkan. Awalnya saja sudah, “Dear Mr. Anindito, you have been recommended by Deutsche Welle to participate in the Deutsche Welle Global Media Forum 2012.”

Sepideh memperkenalkan bahwa kongres Deutsche Welle atau DW ini bertujuan untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana media mengomunikasikan isu-isu budaya dan pendidikan. DW hendak memberikan beasiswa selama forum berlangsung 25-27 Juni, biaya visa Schengen, transportasi pergi-pulang Surabaya-Bonn, dan transportasi selama di Jerman.

Saya tentu saja girang. Tapi, jangan-jangan ini penipuan. Yah, tipikal “Mama minta pulsa” tapi lebih canggih karena berbahasa Inggris. Atau, katakanlah bukan penipuan, ini bisa saja akal-akalan EO forum untuk memancing banyaknya peserta. Awalnya gratisan, lalu diporoti setibanya di sana.

Tapi satu hal yang pasti: email Ms. Parsa ini berdomain @dw.de. Setidaknya, saya jadi yakin ini bukan email abal-abal. Satu kekhawatiran hilang.

Bersama email itu, Sepideh memberi saya brosur-brosur tentang forum internasional ini. Saya langsung membacanya. Saya juga browsing segala hal berkaitan dengan DW Media. Ah, ternyata memang setiap tahun DW Media mengadakan forum besar-besaran semacam ini, dengan peserta, baik yang berbayar maupun yang dikasih gratisan sebagai beasiswa, sejumlah sekitar 1.700 orang dari berbagai belahan dunia. Satu lagi kekhawatiran hilang.

Saya juga browsing siapa itu Sepideh Parsa. Sepak terjangnya? Bagaimana karakternya? Sampai, bagaimana wajahnya? Ternyata, cantik juga, hehehe. Dari LinkedIn dan situs-situs lainnya, saya tahu dia lebih muda dua tahun dari saya. Sepideh dipercaya DW Media sebagai Project Manager untuk forum internasional ini.

Meskipun belum 100% yakin, saya lalu berbicara dengan istri soal ini. Egois rasanya kalau tidak. Sejak beberapa bulan ini, saya bukan lagi bujangan. Praktis, semua keputusan harusnya dibuat berdua.

Rie yang sedang hamil lima bulan pun menyambut, “Kalau pun jadi, dalam artian bukan penipuan, ya berangkat aja. Cuma seminggu kan?”

Yes! Sudah saya duga, Rie akan mengatakan itu.

Sekarang, saya jadi positif untuk menanggapi email dari Sepideh. Di email tersebut, saya berterima kasih dan menyatakan tertarik atas beasiswa singkat itu. Saya juga bertanya, “Kenapa saya yang dipilih? Saya kan tidak pernah mengajukan apa-apa ke DW Media.”

Beberapa jam kemudian, saya menerima email balasan. Intinya, “Yang memberi beasiswa ini adalah Departemen Luar Negeri Jerman. Penerimanya hanya 100 orang dari berbagai penjuru dunia, terutama mereka yang merupakan jurnalis, blogger, akademisi, dan orang-orang yang berhubungan dengan sektor budaya. Saya bertanya kepada Konrad-Adenauer Stiftung Asia untuk merekomendasikan beberapa blogger di wilayahnya yang pantas menerima beasiswa ini. Dan mereka menyebut WarungFiksi.net.”

Selanjutnya, saya diminta mengisi formulir di situs www.dw.de. Masalahnya, di sana, ada kolom nomor paspor. Hahaha, saya kan belum punya paspor. Baiklah, ini kode bagi saya untuk segera mengurusnya.

Yang saya khawatirkan sebenarnya pengurusan visa. Konon, mengurus visa Schengen (berlaku untuk sebagian besar negara-negara Eropa Barat) melalui Kedutaan Besar Jerman itu yang paling ribet. Dari kasus-kasus di internet, beberapa pemohon ditolak dan harus mengulang permohonan visa bulan depannya, hanya gara-gara beberapa syarat kecil tidak dipenuhi.

Saya berhitung sebentar. Paspor mungkin selesai dalam seminggu. Tapi visa? Kalau ditolak, bisa sebulan lebih. Kalau ditolaknya lebih dari sekali? Sekarang sudah tanggal 15 April. Acaranya tanggal 25 Juni. Wah, wah, wah….

Saya pun keesokan harinya, Senin, izin tidak ngantor setengah hari untuk mengurus passport. Alhamdulillah, semua lancar. Paspor saya sudah ada di tangan pada 23 April. Tinggal mengurus visa. Menurut Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, saya perlu:

  1. Surat undangan dan jaminan dari pihak pengundang.
  2. Tiket Indonesia-Jerman dan Jerman-Indonesia.
  3. Bukti booking hotel.
  4. Asuransi Travel dengan nilai tanggungan 30,000 euro.

Sepideh mengatakan, rekannya di Media Company, mitra DW, akan menguruskan tiket pesawat itu. Sebetulnya, menurut aturan DW, saya harus mengurus dulu tiket pesawat PP, baru sampai kantor DW diganti. Tiket PP itu saya cek di Wufi Travel nilainya saat itu sekitar 1.500 euro, atau sekitar 18 juta. Duit segitu ada sajalah. Tapi, namanya manusia, saya sempat berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana kalau ada sesuatu dan pihak sana batal menggantinya? Bagaimana kalau diganti tapi harus menunggu lama? Apakah saya bisa mengikhlaskan uang segitu jika kemungkinan terburuk terjadi?

Logika saya berontak, masa duit 18 juta buat jalan-jalan saja? Hanya untuk saya seorang pula. Jelas, itu pemborosan kalau dipandang dari gaya hidup saya dan keluarga saya yang sederhana.

Maka saya memohon keringanan kepada Sepideh untuk memberikan tiketnya di depan. Untung-untungan saja waktu itu. Kalau dia menolak, ya berarti saya batal berangkat ke Jerman. Memang bukan rezeki saya. Biarlah paspor saya menganggur. Bagaimanapun, paspor kan berlaku lima tahun. Dalam lima tahun, masa sih tidak ke luar negeri sama sekali? Ke Singapura kan lebih murah dari ke Lombok. Insya Allah paspor tidak sia-sia sekalipun batal ke Jerman.

Eh, ternyata Sepideh menerima “keberatan” saya. Dia menjanjikan mengirimkan tiket pesawat itu. Sementara untuk akomodasi, pihak DW sudah booking Hotel Ibis atas nama saya. Saya diminta tetap mengurus visa berbekal surat undangan (yang file PDF-nya sudah dikirim ke saya), asuransi perjalanan bernilai 30.000 euro (yang harus saya biayai sendiri), dan bukti booking tiket pesawat.

Belakangan, dari internet saya tahu, yang diminta adalah bukti booking pesawat. Agar pihak Kedutaan tahu rencana perjalanan kita berapa lama. Tiket itu tidak harus sudah issued atau confirmed. Ya sudah, saya bikin tiket-tiketan. Lalu memberanikan diri mengurus visa ke Jakarta.

Singkat cerita, visa saya keluar, tanpa masalah yang berarti. Dan saya mengambilnya pada 21 Mei. Hanya, berlakunya tanggal 23-29 Juni. Tanggung! Tiket pesawatnya mahal, di Jermannya tidak sampai seminggu. Tapi, tidak masalah juga, yang membiayai kan DW Media. Saya ikut saja.

Jens Thiel dari Media Company baru mengemail saya 4 Juni dengan penawaran itinerary pesawat. Itu pun dengan bahasa Jerman, busyet! Setelah saya setujui, Mr. Thiel mengirim jadwal pesawat yang sebenarnya dan issued tickets pada 8 Juni.

Maskapai utamanya KLM, maskapai kebanggaan Kerajaan Belanda. Kode booking-nya 274T4M. Saya cek di situs resmi KLM, ternyata nama saya benar-benar ada dalam daftar penumpangnya. Status tiket juga sudah terkonfirmasi, alias sudah dibayar. Sip! Saya pun membuat rangkuman transportasi saya nanti.

Date

Terminal

Route

Duration

Flight

Plane

Sabtu, 23 Juni. 15:35-19.10 1 Surabaya-Singapura 2:35 Valuair VF0248 Airbus A320-100
Minggu, 24 Juni. 00:25-07:10 1 Singapura-Amsterdam 12:45 KLM KL0836 Boeing 777-300
Minggu, 24 Juni. 09:05-10:15 2 Amsterdam-Frankfurt 1:44 KLM KL1765 Embraer 190
Minggu, 24 Juni. 11:58-13:42

Frankfurt Airport-Bonn Main Station

Kamis, 28 Juni. 18:30-19:35 2 Cologne-Amsterdam 1:05 KLM KL1812 Fokker 70
Kamis 28 Juni. 20:55-17:20 M Amsterdam-Jakarta 15:25 KLM KL0809 Boeing 777-200
Jumat, 29 Juni. 19:45-21:10 2 Jakarta-Surabaya Garuda GA0328 Boeing 737-800

Saya juga menerima tiket kereta untuk rute Bandara Frankfurt sampai Stasiun Bonn. Tiket itu lagi-lagi berbahasa Jerman. Hanya nominal harganya yang saya bisa pahami karena tercetak dalam angka, yaitu 28 euro. Untuk keterangan sisanya, saya harus berkutat lama dengan Google Translate.

Tapi, dengan keluarnya tiket-tiket ini, keraguan saya hilang nyaris tak berbekas. Saya benar-benar akan pergi ke Jerman! Sekarang, saya sibuk menyiapkan pakaian-pakaian, menyervis koper yang patah pegangannya, membeli euro dan dolar Singapura (lihat tiket saya, saya akan transit di Singapura lima jam lebih!), mempelajari karakter masyarakat Bonn, melatih bahasa Inggris yang hanya pasif ini, memesan kartu nama Warung Fiksi, menyiapkan aplikasi-aplikasi traveling yang sekiranya berguna di ponsel Samsung Galaxy Young saya, mempelajari materi-materi forum, obat-obatan, roti, mie instan, dan sebagainya.

Sibuk sekali! Tapi, saya tak sabar menanti hari keberangkatan. Excited sekaligus deg-degan. Ini pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah luar Indonesia. Langsung sejauh ini pula! Dan ke negara yang bahasa hariannya saya sama sekali tidak paham.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

One reply on “Jerman 1: Datangnya Email Kejutan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu