Oke, didesak menikah memang menyebalkan. Saya mengalaminya selama nyaris sepuluh tahun. Saya baru menikah di usia 30 tahun, dan sebelum itu, berbagai pihak silih berganti mendesak serta menyindir saya. Terutama saat Lebaran.
Diejek “jomlo”, diolok tante sebagai “bujang lapuk”, dipertanyakan kakak “jangan-jangan kamu kaum LGBT, ya!”, diramal teman kuliah “Kayaknya kamu tipe-tipe yang enggak bakal menikah sampai tua!” Macam-macamlah!
5 Opsi untuk Pertanyaan “Kapan Nikah”
Sama dengan kalian, wahai para jomlo, waktu itu saya juga tersinggung. Saya marah, kemudian membenci orang yang sudah tega menancapkan kata-kata tajam itu ke ulu hati saya.
Namun, dendam itu tidak saya lampiaskan kepada siapa-siapa. Saya tidak akan mengejek jomlo seperti itu. Prinsipnya, jangan sampai saya ikutan zalim.
Sayangnya, tidak semua orang yang sudah mentas dari status jomlo punya prinsip serupa. Kebanyakan justru lebih suka meneruskan tradisi bullying itu. Seperti OSPEK, mereka berprinsip, “Aku dulu digituin orang, kok. Sekarang ya gantian, aku yang gituin orang!”
Makanya, perlu membangun mekanisme “pertahanan diri” menghadapi orang-orang rese seperti mereka. Tak perlu ngegas, bersumpah serapah di depan orang itu, apalagi laporan ke medsos untuk mengemis simpati “teman-teman”. Ketika saya ditanya “Calonnya mana?” atau “Kapan nikah?”, begini biasanya tanggapan saya:
- Senyumin aja. Tak usah dijawab secara verbal, cukup tersenyum. Kemudian, saya mengalihkan perhatian, pandangan, atau pembicaraan. Umumnya orang, bila tidak ditanggapi, akan malas atau malu sendiri untuk melanjutkan pembicaraannya.
- Minta didoain. Ini kalau yang bertanya itu orang yang saya tahu memang berniat baik untuk mengingatkan. Saya akan mengatakan, “Iya, belum ada calon. Mohon doanya, ya, biar dimudahkan.” Jangan lupa, tepuk bahunya, seolah kita benar-benar menaruh harapan dan memberinya kepercayaan. Tepukan itu juga berarti, “Jangan tanya-tanya lagi, ya.”
- Gestur malas. Ini untuk penanya yang iseng dan saya tahu niatnya hanya untuk mengolok-olok. Beri sinyal kepadanya, bahwa topik yang ia angkat terlalu membosankan dan tidak layak untuk ditanggapi. Misalnya, dengan (pura-pura) menguap, lalu melakukan aktivitas lain. Atau kalau di sana ada orang lain, langsung ajak bicara orang lain itu.
- Menertawakan diri sendiri. Terkadang, saya menjawab dengan kepala tegak dan senyum bangga, “Enggak laku, Bos. Enggak ada yang mau. Gimana lagi? Hahaha.” Orang yang bertanya dengan niat merendahkan kita akan mati gaya, karena kita sudah merendahkan diri duluan. Sementara orang yang bertanya dengan empati akan terhibur melihat kepercayaan diri kita.
Namun, di atas semua alternatif jawaban itu, yang paling tokcer untuk membungkam si penanya adalah jawaban kelima, yakni dengan benar-benar menikah. Lupakan orang-orang yang rese tadi, menikah itu benar-benar menyenangkan dan menenangkan, kok!
Motivasi Saya Menikah
Setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan kantoran, saya mulai menyelipkan doa agar diberikan pasangan yang baik dan dapat membangun rumah tangga. Hampir setiap hari!
Apa motivasinya? Saya tidak akan bohong dengan mengatakan, “Oh, karena menikah itu ibadah yang paling lama.” Atau, “Oh, karena menikah itu menyempurnakan setengah dari agama saya.”
Tidak! Motivasi saya menikah jauh lebih pragmatis dan simpel. Bahkan terkesan motivasi yang purba:
- Memuaskan hasrat seksual secara legal dan halal
- Memiliki keturunan yang melanjutkan DNA saya.
Hahaha, sederhana dan terkesan egois, bukan? Maklumlah, pemuda yang masih menggebu-gebu dalam segala bidang.
Dengan dua motivasi itu, saya tidak peduli hal-hal lain selain mendapat cewek yang cantik. Itu kriteria tunggalnya. Dan saya terbuka untuk cewek cantik ras apapun, dengan latar belakang apapun.
Saya bahkan sering berkhayal mendapatkan bule Prancis sebagai istri. Kan, mantap, tuh! Mau ia beda agama, mau ia tak punya agama, yang penting hidung mancung, seksi, dan cantik. Dengan begitu, orang-orang yang selama ini meremehkan kelelakian saya, pasti langsung terbungkam! Hahaha.
Aduh, jadi malu, saya pernah sedangkal itu… -_-
Akhirnya, Allah berbaik hati mengabulkan doa saya yang intensif selama bertahun-tahun itu. Jodohnya ternyata bukan dengan bule Prancis, tetapi cewek lokal lulusan Sastra Prancis. Hahaha, lumayan ada hubungannyalah!
Perubahan Positif Setelah Menikah
Setelah menikah, saya dapat merenungi bahwa pernikahan itu bukan melulu soal seks dan keturunan. Masalah seksual ternyata hanya sebagian kecil dari persoalan rumah tangga.
Ada banyak hikmah di balik konsep pernikahan. Misalnya, saya tidak pernah terlambat lagi salat Subuh, karena ada istri yang membangunkan. Begitu pula ketika makan sahur.
Saat masih jomlo, tepatnya sebelum 2011 (saya infokan tahunnya sekalian biar ada gambaran harga-harga barang saat itu), saya begitu hemat. Atau pelit, lebih tepatnya.
Saya pergi ke minimarket, paling hanya untuk membeli barang-barang senilai total 10.000, atau paling banter 20.000. Itu saja saya kepikiran terus, “Duh, kenapa aku jadi boros hari ini?” Padahal, ke minimarketnya mungkin hanya sebulan sekali.
Prinsip saya waktu itu seperti Paman Gober: kalau bisa tidak keluar apa-apa, kenapa harus buang-buang uang?
Sekarang, setelah menikah (dan punya anak), saya pergi ke Indomaret, setidaknya seminggu sekali. Sekali masuk, saya menghabiskan minimal 50.000, dan saya tidak merasa sayang. Artinya, pernikahan telah menyembuhkan saya dari penyakit bakhil! Hehehe….
Itu hanya sedikit di antara masalah-masalah khas kaum jomlo yang insyaAllah tidak pernah saya alami lagi. Alhamdulillah!
Belum lagi bila kita berbicara tentang rezeki. Pengeluaran memang meroket setelah berumah tangga, tetapi pemasukan juga meningkat dengan jalan yang tidak logis. Setiap anak membawa rezeki itu juga saya buktikan. Setiap kelahiran anak saya, selalu disertai dengan datangnya klien penulisan kelas kakap. Ajaib!
Cuma, setelah itu, relatif tidak ada keajaiban lagi. Mungkin masih ada, tetapi hanya keajaiban-keajaiban kecil. Namun, itu seharusnya bukan masalah bagi para pejuang keluarga seperti kita, bukan? Gas, ikhtiar terus!
Tips Cari Jodoh: Setara dan Nyambung
Saya bukan ahli soal ini. Namun, berdasarkan pengalaman saya, mencari pasangan itu yang penting sekufu dan klik. Sudah! Tidak perlu ada syarat-syarat atau kriteria-kriteria lain, nanti malah ribet.
1. Sekufu
Artinya, setara. Ini sangat penting, supaya seiring berjalannya waktu, kita bisa tumbuh bersama pasangan. Tidak ada yang “menggendong” pasangannya dari waktu ke waktu. Yang ada, berjalan beriringan bersama sepanjang waktu.
Sekufu itu bisa berarti dalam hal:
- Agama. Sebisa mungkin, cari pasangan yang pemahaman (ilmu agama) maupun praktiknya (takwa) tidak jauh berbeda dari kita. Lo, memangnya tidak ada pernikahan beda agama yang bisa bertahan puluhan tahun? Ada, tetapi jumlahnya sedikit. Sisanya, makan ati setiap hari. Maka saran saya, jangan dicoba. Di dunia sulit, apalagi di akhirat nanti.
- Harta. Kalau bisa, cari pasangan yang tabungan, aset, penghasilan, dan hal-hal terkait materi lainnya kurang-lebih setara dengan kita. Jangan yang jauh lebih kaya atau jauh lebih miskin dari kita.
- Pendidikan. Jika kita lulusan SMA, carilah pasangan yang juga lulusan SMA dan sederajat. Lulusan SMP? D3? S-1? Boleh juga, karena pada dasarnya, itu tidak terpaut jauh. Namun, sebaiknya jangan cari yang lulusan S-2, apalagi S-3. Sebab, itu dua tingkat lebih tinggi. Bisa menjadi masalah atau tekanan batin ke depannya, baik bagi kita atau pasangan.
- Status sosial. Meskipun gajinya sama, berat kalau status sosialnya jomplang. Misalnya, istrinya CEO di perusahaan rintisan, penghasilannya 5 juta, sementara suaminya sopir di perusahaan besar dengan gaji sama. Secara ekonomi memang setara, tetapi perbedaan mencolok antara wewenang CEO dan “sekadar” sopir membuat pola pikir, cara merespon permasalahan, atau cara bercanda keduanya kemungkinan berbeda jauh.
- Fisik. Tinggi badan, misalnya, jangan cari yang terlalu jauh, agar terlihat serasi. Soal tampan-cantik bisa juga. Kalau kita merasa tampang pas-pasan, jangan minder. Namun, cari pasangannya juga jangan yang spek artis. Bagi pria bertampang jelek, mendapatkan perempuan cantik memang kebanggaan, tetapi pikirkan konsekuensi-konsekuensi berikutnya: kita minder kalau jalan bareng, dibicarakan orang, pasangan tergoda untuk selingkuh, dan sebagainya.
Jangan pernah cari pasangan yang tidak sekufu. Mungkin sedikit di atas kita, atau setingkat di bawah kita, tidak mengapa. Namun, jika sudah selisihnya jauh dari kita, masalah-masalah akan timbul.
2. Klik
Tidak mungkin semua elemen dari prinsip sekufu di atas bisa diterapkan. Tidak ada dua insan yang serbasetara. Kabar baiknya, bila ada beberapa elemen yang tidak setara, kita selalu bisa membicarakannya dari hati ke hati bersama pasangan.
Nah, pembicaraan itu memungkinkan jika kedua pasangan saling klik. Atau bahasa sederhananya: nyambung.
Sebagai lulusan Komunikasi, hal ini bagi saya sangat penting. Percayalah, perempuan yang mendapatkan pasangan yang super tampan, badannya berotot, dan perutnya six pack pun akan sia-sia kalau tidak nyambung.
Saat kamu bicara tema X, ia menguap kebosanan. Sebaliknya, ketika ia bicara topik Y dengan antusias, kamu malah pergi meninggalkannya karena merasa tidak tertarik. Apa asyiknya hubungan semacam itu?
Isi pernikahan itu 80 persen obrolan suami-istri, sisanya hal-hal lainnya. Seks? Itu paling tidak sampai 5 persen dari masalah-masalah kehidupan berumah tangga.
Jadi, bodoh sekali kalau kita menikah hanya karena ia rupawan atau hartawan. Kalau mengobrol saja tidak nyambung, kecantikan dan ketampanan itu akan terasa hambar. Rumah pun hanya terasa sebagai tempat tinggalmu, bukan istanamu.
Nasihat Terakhir tentang Pernikahan
Jika umur sudah 19 tahun, usia minimal pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, sudah wajar bila kita mulai berpikir menikah. Namun, tentu saja ada pertimbangan-pertimbangan lainnya, seperti tanggungan studi, penghasilan, karier, dan sebagainya.
Untuk penghasilan, banyak (pria) yang overthinking. Menurut saya, bila penghasilan kita hitung-hitung sudah cukup untuk membiayai kebutuhan sandang (pakaian), pangan (sembako), papan (biaya beli rumah atau mengontrak dan tagihan-tagihannya), serta kesehatan, minimal untuk dua orang, itu sudah cukup.
Tak perlu menunggu kaya dahulu, dapat pekerjaan tertentu, atau omzet bisnis minimal sekian. Sebab, kemungkinan besar, kondisi ideal itu takkan tercapai dalam waktu dekat. Kalau kasusnya begitu, kapan menikahnya?
Bukankah lebih romantis untuk tumbuh, berkembang, dan berjuang bersama suami/istri kita tercinta?
Jangan pula membebani diri dengan target-target yang tinggi dalam mencari pasangan. Cukup berkaca di depan cermin untuk mereviu keadaan kita. Lalu, pegang dua kriteria ini: sekufu dan klik. InsyaAllah mencari jodoh akan lebih mudah. Pernikahan pun akan bertahan lama, dan bahagia.
Ini bukan hanya berlaku untuk bujangan maupun perawan, tetapi juga untuk duda maupun janda. Hanya, untuk orang yang sudah pernah menikah, biasanya masalahnya kompleks. Pertimbangannya akan jauh lebih banyak. Misalnya:
- Kalau sudah punya anak dan anaknya masih kecil, memangnya calon pasangan baru kita mau merawatnya dengan tulus?
- Sebaliknya, kalau anak-anaknya sudah besar, biasanya anak-anak itu yang rewel mengetahui orang tuanya akan menikah lagi. Sebab, ada konsekuensi-konsekuensi seperti: pembagian kasih sayang, perhatian, warisan, dan sebagainya. Tambah ruwet!
Makanya, meskipun terlihat berat, jomlo di masa bujang/lajang yang menanti kesempatan menikah itu sebenarnya jauh lebih gampang dibanding fase-fase kehidupan setelahnya. Minimal, umumnya, ada orang tua yang siap membantu kita, baik tenaga, pemikiran, maupun dana. Manfaatkan itu!
Karena itulah, orang tua kadang terkesan sok tahu dan mendesak anaknya untuk segera berumah tangga manakala sudah masuk usia pernikahan. Mereka punya pertimbangan sendiri. Walaupun, keputusan akhir tentu tetap berada di tangan kita.
Bagaimanapun, waktu terus berjalan. Menggerus tubuh serta sumber daya kita, secara perlahan. Tanpa bisa kembali lagi.
2 replies on ““Kapan Nikah?” Pertanyaan Maut di Pertemuan Keluarga Besar”
Aku dulu kalo ditanya, “kapan nikah?”, biasanya kutanggapi dengan cengar-cengir. Atau, waktu lumayan booming jawaban, “Mei… Maybe yes, maybe no,” kupake jawaban itu. Tentu saja, sambil jengkel dalam hati.
Ya, “Meibe yes, meibi no!” itu pernah juga kupakai. Tapi akhirnya terlalu banyak yang pakai, jadi bosan sendiri. Hehehe….