Judul film: Dreams
- Penulis: Akira Kurosawa
- Sutradara: Akira Kurosawa & Ishirô Honda
- Pemain: Akira Terao, Mitsuko Baishô, Chishû Ryû, dll.
- Durasi: 119 menit
- Tahun rilis: 1990
- Produksi: Jepang & Amerika
Barangkali kata-kata bijak itulah yang ada di kepala Akira Kurosawa, lebih dari 20 tahun silam, ketika membuat film yang kaya warna ini. Dreams sungguh film yang penuh simbol. Katakanlah penonton paham dengan nilai-nilai budaya Jepang yang terekspos, masih ada alasan bagi penonton untuk berkerut dahi mencerna mimpi seseorang yang seringnya subyektif, liar, aneh, kadang bahkan pemimpinya sendiri gagal paham.
Terdapat delapan film pendek di sini. Masing-masingnya memvisualisasikan delapan varian mimpi dari orang Jepang.
Film pendek terakhir berjudul Village of Watermills. Ia benar-benar pas diletakkan sebagai pamungkas dari Dreams. Kurosawa di sana menyampaikan pesan bahwa betapa pun buruknya sebuah mimpi, ia tetaplah bukan kenyataan, setidaknya belum. Sungguh pun ia menjadi kenyataan pada akhirnya, mereka—orang Jepang—punya cara tersendiri untuk membuatnya tampak menyenangkan.
Alur menggelinding saat kamera menyorot seorang pemuda. Dialah sang Tokoh Utama, sang Pemimpi. Dan kalau tidak keliru, dialah sang Akira Kurosawa sendiri. Pemuda tanpa nama tersebut memasuki sebuah desa yang juga tanpa nama. Bunga-bunga di sana terasa kontras dengan pemandangan sunyi yang tersaji. Pemuda itu tanpa canggung menyapa seorang tua berkulit legam yang sibuk membenahi salah satu kincir air. Mereka pun mulai terlibat percakapan.
Kulit si pemuda yang kuning cerah itu sudah bicara sesuatu, sebetulnya. Dialah representasi orang kota yang terpelajar, jarang berada di bawah terik matahari lantaran pekerjaannya indoor, rumahan dan pastinya mewakili segenap pemikiran orang kota.
Sementara, kulit legam Pak Tua menyimbolkan kehidupan yang karib dengan mentari, pokoknya akrab dengan alam. Golongan seperti ini terstereotip sebagai orang sabar, sederhana, lugu namun bijak.
Dialog yang terbangun pun merupakan benturan klise dari kedua budaya tersebut. Contohnya ketika si pemuda mempermasalahkan absennya listrik yang mengakibatkan tak adanya penerangan di desa. Pak Tua malah balik bertanya, “Mengapa malam harus seterang siang?” Percakapan mereka lalu banyak terlempar ke wilayah filosofi. Terasa kering.
Adegan itu hadir tanpa musik. Tampaknya, Kurosawa berusaha memfokuskan penonton pada dialog yang terjadi. Dari satu sudut pandang, jelas monoton. Apalagi menyimak Pak Tua yang selalu bercakap dengan lambat. Penilaian itu agaknya muncul karena saya—yang mengaku modern ini—begitu saja memosisikan diri di pihak pemuda.
Setelah serentetan adegan “monoton” tadi, Sound Director menampilkan stinger untuk membawa penonton ke ending film. Segemerincing alat musik terdengar, kemudian diikuti live show dari warga setempat. Secara eksplisit, tarian dan nyanyian itu melambangkan keceriaan. Lucu, mengingat arak-arakan tersebut diadakan dalam rangka penguburan seseorang. Namun jadinya meriah sekali, mirip festival tahunan di Rio de Janeiro.
Ini mengingatkan saya pada karya Kurosawa beberapa dekade sebelumnya, The Hidden Fortress. Pada period movie tersebut arak-arakan juga disajikan kolosal secara langsung di depan kamera. Suasananya juga meriah berkat penataan musik yang piawai (dan penyutradaraan yang apik, tentunya).
Yang harus digarisbawahi, The Hidden Fortress berformat hitam putih. Itu berarti satu hal: kalau mau, sebenarnya Kurosawa tidak membutuhkan warna untuk menghidangkan atmosfer ceria kepada penonton.
Saya malah lebih suka The Hidden Fortress, omong-omong. Namun secara keseluruhan, Dreams adalah masterpiece yang juga sedap dipandang. Plus, sarat kalimat perenungan.
One reply on “Kau Dapat Mengubah Dunia Jika Punya Mimpi”
film jepang memang syarat akan pesan