Sudah empat hari lebih kami ngekos di rumah sakit ini. Sejak pertama datang kemari tanggal 26 Oktober, saya sudah sempat merasakan “empuknya” tidur di kursi (kadang-kadang hanya dua kursi pun saya paksakan jadi ranjang), di lantai, atau paling mewah di single bed yang harus dibagi berdua dengan istri saya. Kami juga melihat pasien persalinan lain yang datang belakangan tapi keluar lebih dulu. Ah, enaknya….
Suasana hati saya perlahan-lahan menjadi muram. Suntuk. Begini ya kalau kelamaan di rumah sakit. Padahal bukan saya yang sakit. Dan padahal, baru juga empat hari saya di sini. Bagaimana dengan pasien yang harus berbulan-bulan mendekam di rumah sakit? Semoga kita semua tak pernah mengalaminya.
Yang saya sesalkan, selama di rumah sakit, saya tidak produktif. Empat hari yang kosong melompong. Mau mengerjakan tulisan, malas. Yang ada hanya catatan selintas seperti yang sedang Anda baca ini. Mau menonton film, takut berisik dan meresahkan Kiara. Namanya juga bayi, tanpa suara-suara saja ia suka menangis dan merengek. Apalagi kalau ayahnya memutar The Amazing Spider-man. Itu sama saja dengan membangunkan singa betina yang sedang kelaparan!
Namun kami beruntung. Dalam beberapa hari ini, ASI istri saya sudah mulai lancar. Coba kemarin-kemarin, saat Kiara baru 1-2 hari muncul di bumi. Waktu ia menangis, tidak ada sesuatu untuk menenangkannya. Disusui? Ia memang diam. Tapi hanya sementara. Karena kemudian, ia kecewa, tak keluar apa-apa dari puting susu itu. Menangislah ia sekencang-kencangnya. Sementara, kebijakan RSI tidak memperkenankan penggunaan susu formula. Harus ASI!
Prinsip yang bagus. Namun, ASI kan keluar baru 2-3 hari setelah sang ibu melahirkan (untuk kelahiran sesar bisa lebih lama lagi). Eh, ternyata, si bayi sebenarnya secara alami membawa bekal nutrisinya sendiri sampai 72 jam. Jadi, bayi takkan kelaparan meski belum menerima asupan apa-apa selama 3 hari. Subhanallah, Allah memang telah mengatur segalanya dengan keren!
Lebih kerennya lagi, hari ini, Kiara boleh pulang. Leukositnya normal kembali, meskipun masih sedikit lebih tinggi dibanding standarnya. Syahdan, setelah melunasi biaya-biaya (yang untungnya hanya Rp 4.591.000), Kiara pun bisa melihat rumahnya (eh, maksud saya kamarnya) yang sebenarnya. Bukan lagi kamar yang bernomor 103 itu.
Selamat datang di kehidupan yang sesungguhnya, Kiara Hanifa Anindya! Kami, ayah dan ibumu, mungkin masih berstatus orangtua magang. Jadi maafkan bila kami belum lihai merawat dan mendidikmu. Tapi satu janji kami, bahwa kami akan selalu menyayangimu, dalam suka maupun duka. Semoga kau pun begitu.
Omong-omong, kau tahu maksud dari namamu, Nak?
Kiara artinya pohon besar sejenis beringin dalam bahasa Sunda, bermakna kuat, teduh dan mengayomi. Hanifa artinya wanita yang berjalan lurus dalam bahasa Arab, bermakna konsistensi dalam kebenaran dan agama. Lalu Anindya artinya cantik dalam bahasa Sansekerta, bermakna cantik sebagaimana takdirnya sebagai perempuan: bukan tomboi, wanita yang berusaha menyingkirkan kodratnya, atau wanita yang menyukai wanita (naudzubillah).
Jadi, melalui penamaan Kiara Hanifa Anindya, kami berdoa semoga kau menjadi perempuan cantik yang kuat, baik secara fisik, mental, agama, wawasan dan pengetahuan, sosial, termasuk (kelak) finansial. Amien, ya Rabbal ‘Alamin!
Namamu yang sederhana itu juga niscaya tidak sulit untuk dilisankan, baik oleh bangsa Melayu seperti kita, orang bule, Jepang atau Arab. Sehingga kau tidak perlu berulang kali mengucapkan namamu, apalagi sampai harus mengejanya, ketika berkenalan dengan orang lain. Menurut kami, ini penting. Terutama karena kami yakin kau akan menjadi manusia lintas etnis, lintas ras, lintas negara. Manusia yang tidak berkutat pada orang-orang Indonesia saja, tapi tetap bangga dan tak lupa akan keindonesiannya.
Kiara, maafkan kami hanya mengutarakan harapan-harapan, dan belum bisa mencontohkan apa-apa padamu. Kami adalah sepasang suami-istri yang biasa-biasa saja. Namun, kami sangat yakin, kau akan menjadi insan yang jauh lebih hebat dari kami. Insya Allah. [photo by Brahm]
14 replies on “Kiara 3: Kenapa Namanya Kiara Hanifa Anindya?”
Maafin bunda juga, Kiara. Tulisan & puisinya blm selesai… Soalnya bunda super duper sibuk: jd pabrik ASI, laundry, satpam, dan entah apa lagi. Tp semuanya jg buat kamu kok. Love you much 🙂
lupa ga ngasih tau sambil menunggu asi nya keluar kasih madu dl tp madu yg encer. kt mmh kt nya kalo d sunda kiara itu nama pohon hehehe apa pun nama nya yg penting hrs menjadi putri yg solehah berbakti sm ortu nya dan menjadi kebanggaan ortu nya. Amien ….
Nggak boleh sama dokternya, Teh. Prinsipnya harus ASI 🙂
Iya, Kiara itu pohon yg gede dan rindang itu. Tapi bukan Kiara yg condong lho ya 😀 Tp Kiara yg hanifa dan anindya.
Wah keren nama anakmu, Brahm. Campuran ada arab, sunda dan sansekerta. Tapi nggak ada Jawa Timur/Surabayanya ya? Biaya tinggal dirembeskan ke mbak Titien (dari royalty masih sisa banyak tuh). Hehehe. Sekarang saya nunggu undangannya untuk selamatannya. Hehehe.
Nama Jawa Timuran bosen, Pak. Ganti suasana 🙂 Selamatan aqiqah sebenarnya besok, Pak. Jam 12-an gitu. Kalau mau, bisa langsung menuju TKP, Pak. Tp SMS dulu kalau mau datang.
Yo wis, aku langsung mampir ke tempatmu. Tapi aku pesan sate sapi saja. Jangan kambing… Sudah tua. Nanti tekanan darah tinggi. Hehehe.
Oke, Pak. Tp sapi nggak ada. Halah, gak papa kambing, sekali2 lah 😀
Wah ..tgl lahire sama ,nanti pas ultah bareng are cak.heheheh
Oh iyo ta, Med. Yo wis, ultah bareng. Sing mbayar sing luwih gerang yo 🙂
Wah wah, kiara sekarang sudah selucu apa ya? 😀
Yunanta C. Buana recently posted..Kapan? Sudah atau belum?
Aku udah gede, Om Yunan! Gigi baru satu tapi pipi tetep menggelembung. 😀
nama yg bagus !! Pgn deh nanti klu pnya anak perempuan namanya kiara hanifa anindya..
Kalau anaknya laki, kasih nama Brahmanto Anindito sekalian, dong 😀
[…] kesempatan saya mencegah penuaan secara gratis itu jadi berkurang sekarang. Pasalnya setelah anak pertama lahir, kami malah jarang berpelukan. Maklum, ada […]