Categories
kesehatan

Kiara 4: Si Kuning yang Jahat

Semasa mahasiswa, saya pernah menjadi loper majalah selama empat tahun. Keuntungannya hanya Rp 2.000-4.000 per majalah. Uang memang bukan tujuan utama. Saya sedang belajar sebagai penulis media. Saya ingin menyerap berbagai gaya penulisan di majalah. Maka sebelum saya antar, majalah-majalah pelanggan itu saya baca habis dulu, hehehe. Lumayanlah.

Sekarang sih saya sudah berhenti dari profesi yang melelahkan itu. Tapi, mulai 1 November ini, saya kembali menjadi loper. Kali ini loper susu. Bolak-balik, sehari 2-3 kali, keluar-masuk rumah sakit. Buat apa?

Dokter Ninik Soemyarso, spesialis anak di RSI Jemur Sari Surabaya, memvonis Kiara terkena ikterus alias bayi kuning. Terlihat dari matanya yang kuning, dan kulitnya yang menampakkan warna kuning ketika ditekan. “Ini kuningnya sudah sampai kaki lho,” terangnya.

Eh, apa sih ikterus itu?

Ikterus ada karena pigmen bilirubin. Kita tahu, setiap saat, sel darah merah mati dan terurai, salah satunya menjadi bilirubin. Hati bertugas menguraikan bilirubin dan membuangnya melalui BAB. Sewaktu bayi dalam kandungan, hati sang ibulah yang menangani tugas ini. Namun setelah lahir, bayi harus mengandalkan hatinya sendiri, meski belum sempurna. Bilirubin pun jadi tak tertangani dengan baik. Di sinilah warna kuning terbentuk.

Selain itu, “Perbedaan golongan darah ibu dan bayi dapat menyebabkan ikterus,” terang dr. Ninik. Kiara memang bergolongan darah AB, sama seperti saya. Sementara, ibunya B.

Ada juga penyebab lainnya, tapi tidak relevan bagi Kiara. Misalnya, karena bayi lahir prematur. Bisa juga karena ASI bermasalah. Ini biasanya terjadi pada bayi yang lahir lewat operasi sesar, sebab ibunya kurang memproduksi ASI, atau ASI-nya mengandung hormon yang mengganggu proses penguraian bilirubin, atau justru meningkatkan kadar bilirubin.

“Solusinya, Dok?” tanya saya to the point.

“Ya disinar,” jawab dr. Ninik enteng. “Titipkan bayinya di sini untuk prosedur photo therapy, untuk menguraikan kadar bilirubinnya. Satu sampai dua hari cukuplah. Nanti Ibu bisa memompa ASI dari rumah, dan Bapak bisa mengantarkan ASI dalam botol ke sini, tiap empat jam.”

Tiba-tiba saya ingat, “Kalau dijemur saja bagaimana, Dok?”

“Terus terang, saya ragu dengan metode penjemuran. Sekarang, sinar matahari itu jahat. Semakin panas. Semakin banyak mengandung infra merah. Padahal yang dibutuhkan bayi justru bukan itu.”

Saya terdiam. Mulai berpikir, dokter ini sedang jualan atau memang menyampaikan pendapat profesionalnya? Karena, menginapkan bayi di rumah sakit berarti biaya lagi. Selain itu, saya juga ada beban psikologi. Baru saja kami bersuka cita karena ada tangisan bayi di kamar, eh, sekarang bakal sepi lagi ditinggal Kiara. Apalagi, ipar dan mama mertua saya baru saja tiba pagi tadi di Surabaya. Saya juga sudah mengatur penyelenggaraan aqiqah untuk lusa.

Sempat tebersit untuk mengabaikan saja anjuran dokter. Bagaimanapun, ini hak kami sebagai keluarga pasien. “Apa sih akibatnya kalau kuning ini dibiarkan, Dok?”

Dokter Ninik menjelaskan panjang-lebar. Jika kadar bilirubin di bawah 20 mg/dL, biasanya tidak fatal. Namun jika kadarnya di atas 25 mg/dL, terapi sinar sudah terlambat. Bayi perlu transfusi tukar darah beberapa kali. Pada kadar bilirubin lebih dari 30 mg/dL, lebih mengerikan. “Bilirubin akan meracuni mata, bisa berakibat kebutaan, pada telinga berakibat ketulian, dan pada otak bisa kejang. Kondisi ini dapat menimbulkan kecacatan, penurunan kecerdasan pada anak, bahkan kematian,” imbuhnya.

Orangtua mana yang mau berjudi dengan kesehatan dan perkembangan kecerdasan anaknya, coba? Saya pun setuju. Atas instruksi dr. Ninik, suster lalu menelepon kamar bayi dan menanyakan ketersediaan inkubator di RSI. Ternyata, semua penuh sampai besok sore.

Dokter Ninik yang kebetulan juga praktik di RS Darmo langsung mengontak suster jaga di sana. Kiara hendak dirujuk ke sana. Tapi ditelepon dua kali, belum ada kepastian. Baru setengah jam kemudian, saya telepon sendiri ke RS Darmo dan wanita di seberang bilang, “Ada satu tempat kosong, Pak.”

Kami pun meluncur ke rumah sakit yang terletak di Jl. Raya Darmo itu.

Si biru untuk menggelontor si kuning
Si biru untuk menggelontor si kuning

Alat terapi sinar ternyata terdiri dari lampu halogen, cool white, day bright atau blue fluorescent. Sebelum diletakkan di sana, mata bayi akan ditutup karbon hitam yang dilapisi kain kasa untuk melindungi retinanya.

Saya melihat dari jauh, bayi-bayi itu disinar dalam keadaan telanjang. Katanya, supaya sinar biru itu bisa menerpa seluruh tubuh. Suster akan mengganti posisi bayi secara berkala agar penyinaran merata. Mereka juga memperhatikan kebutuhan minum bayi dan kebersihannya. Suhu dijaga stabil agar nyaman buat si bayi.

Disinar nonstop selama 2×24 jam, apa tidak ada efek sampingnya? Ada, kata suster, tapi relatif kecil. Paling-paling berupa kulit kering, dehidrasi ringan, kemerahan pada kulit bayi yang sensitif, atau diare ringan.

Malam sudah menunjukkan pukul 22.09. Kami pun menyerahkan Kiara ke rumah sakit, tepatnya di Paviliun VI. Pulangnya, kami mampir ke Apotek Kimia Farma untuk membeli pemompa ASI, dua botol dot, dan tiga botol kaca You C1000 sebagai cadangan.

Sampai rumah, saya tidur, istri saya memompa. Pada dini hari, botol dot sudah hampir penuh. Gantian, istri saya tidur, saya mengantarkan stok ASI itu ke RS Darmo. Subuh, istri saya memompa lagi, hasilnya sebotol dot dan sebotol You C1000, dimasukkan kulkas. Lalu jam 7, saya balik ke rumah sakit.

“Mengantar susu lagi, Mas?” sapa satpam yang menjaga pintu masuk.

Saya tertawa saja. Begitulah kegiatan kami selama dua hari. Saat saya sedang bekerja dan tidak bisa menjadi loper ASI, istri saya, ditemani mamanya atau iparnya, datang ke rumah sakit untuk menyusui langsung dan memompa di sana.

Kadang saya trenyuh melihat istri saya getol memompa dadanya selama sekitar satu jam demi sang anak. Wajahnya berkeringat, jari-jarinya kelelahan. Kasihan. Mungkin inilah yang menyebabkan Islam meletakkan ibu di urutan pertama, kedua sekaligus ketiga yang harus dihormati anak. Sementara bapaknya hanya masuk urutan keempat.

Dalam kasus ini, hanya sang ibu yang bisa membantu Kiara dengan ASI-nya (ASI yang teratur juga membantu mengenyahkan bilirubin). Tapi saya khawatir juga. Bagaimanapun, kalau ibunya terlalu capek, stres atau sedih, ASI malah macet. Untungnya, sampai tulisan ini dibuat, itu tak pernah terjadi.

Hanya, pada 2 November, kami harus rela Kiara minum susu formula. Malam itu pukul 19.53, rumah sakit menelepon saya dan menyampaikan kalau stok ASI Kiara habis. Padahal istri saya, dari siang sampai jam 17 sudah menyusui Kiara plus menyetok dua botol di rumah sakit. Sekarang sudah habis? “Wajarlah, Pak, penyinaran memang membuat bayi cepat haus,” terang suster di seberang.

Kiara setelah disinar dan pulang
Kiara setelah disinar dan pulang

Apesnya, stok di kulkas rumah kosong. Mau memompa lagi, pasti kelamaan. Terpaksa saya beli susu formula. Tentu saja ini jalan keluar sementara, bukan seterusnya, sebab kami tak mau Kiara menjadi anak sapi.

Besoknya, Sabtu, usia Kiara sudah tujuh hari. Paket Aqiqah tiba di rumah jam 11.46. Rasanya aneh. Aqiqah tanpa kehadiran sang bayi dan ibunya. Mereka ada di rumah sakit. Sedihnya.

Tapi, akhirnya happy ending. Barangkali juga berkat doa anak-anak panti asuhan yang menyantap nasi kotak aqiqahan Kiara, malamnya kami menerima kabar baik. Pukul 21.34, rumah sakit menelepon dan menyampaikan hasil tes darah. Kadar bilirubin Kiara turun menjadi 7 mg/dL. Belum sepenuhnya terbebas dari si kuning. Tapi dengan kadar di bawah 10 mg/dL, pasien boleh dibawa pulang. Alhamdulillah. Total biaya rumah sakit Rp 1.297.000. [photo by Brahm]

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

9 replies on “Kiara 4: Si Kuning yang Jahat”

Saya dulu loper lebih berat, Brahm. Loper ASI. Kalau loper koran, hanya beberapa hari saja. Saya nyerah nyari ordernya. Karena istri kerja, maka saya loper ASI dari kantornya ke rumah.

Tapi ini berat, sehingga akhirnya lama-kelamaan saya nyerah. Meski begitu Zidan suberi ASI sampai 2 tahun. Sedangkan Zelda hanya sekitar 6 bulan. Dia sendiri tidak mau.

Btw, kalau Kiara kemungkinan bisa 2 tahun penuh. Lha, Ibunya di rumah. Masak kalah dengan Zidan yang ibunya kerja saja bisa disusui ASI sampai 2 tahun. Hehehe.
Mochamad Yusuf recently posted..Enerlife [7]: Anak Cowok atau Cewek?My Profile

Pastinya diusahain dua tahun, Pak. Orangtuanya sudah berkomitmen utk itu. Semoga Kiara juga punya komitmen yg sama 😀

Ah, tidak perlu dikhawatirkan. Bilirubin Jenvey kemarin malah sampai 25,6 mg/dL tapi si kecil tidak menunjukkan sama sekali gejala dia terganggu karena jaundice-nya.

Kemarin kami lebih beruntung karena masih ada sepupu Yani yg bisa jadi donor asi, menginap cuma 30 jam di RS tapi menghabiskan kurang lebih hampir 400 ml asi.

Meskipun pulang dari RS dengan kadar bilirubin masih 12.1 mg/dL, tapi alhamdulillah dengan asi dan jemur rutin tiap pagi, metabolismenya jadi normal dan di bulan pertama bobotnya sudah naik lebih dari 1 kg.

Cheers!

Itulah, Dit, aku curiga kuning ini hanya masalah biasa yg sengaja dibesar2kan. Karena di generasi 10 tahun lalu, nggak ada kuning2an. Ada, tp rekomendasi terapinya kebanyakan cukup dijemur dan ASI. Btw, di sini juga ada donor ASI. Mbak Arik ngaku ASI-nya masih keluar, Kiara ditawari waktu itu. Tp kok sawangane, hahaha….

Generasi 10 tahun lalu pasti lain asupan nutrisi ibunya dengan jaman sekarang, contohnya putri, dulu ngga sempat tuh ngalamin yg namanya kuning dan musti disinar segala.

Tapi nampaknya kecenderungan virus dan bakteri jaman sekarang memang luar biasa serangannya, jadi memang tidak ada salahnya untuk siaga tiga ketimbang gambling di kemudian hari.

Kemarin memang sengaja kami usaha untuk dapat donor asi, semata-mata supaya kebutuhan nutrisi dan perbaikan metabolismenya bisa didongkrak secara instan, karena susu formula tidak memberi manfaat apa-apa selain meredakan lapar dan hausnya saja. Nutrisi di dalam asi itu yang lebih penting, makanya kemarin kami cari donornya juga gak sembarangan dan memang diusahakan dari orang terdekat..
widi aditya recently posted..JAP – day 4My Profile

Iya. Tp lihat aja, Jenvey katamu 12 mg/dL boleh pulang. Percaya atau nggak, Kiara sebelum masuk ya sekitar segitu. Pulangnya baru 7 mg/dL. Nah, kok beda2 standarnya?

Pihak RS juga pasti tahu ketakutan terbesar para orangtua, lebih2 orangtua dg anak pertama. Jd diberikanlah gambaran yg ekstrim2 utk “menakut2i”. Spt kata temenku, “Karena kita orang awam, kita tak pernah tahu.” Makanya nurut aja apa yg dikatakan dokter (selama biayanya masih masuk akal, hehehe).

Yo’i, bro. ASI itu nggak tergantikan. Bagaimanapun produsen susu formula mengeklaim keberhasilan mereka “meniru” ASI, tetap saja tidak sama. Cuma, bagaimana membuat ASI-nya lancar dan bayinya mau terus minum ASI, itu seni tersendiri.

Ankku kena bilirubin mencapai 19 jam2 msk rmh skt langsung d sinar dan saya berusaha untuk memberikan asi…tp jam 2 mlm ank saya dinyatakan meninggal..semua ank selamat..tp kenapa ank saya tdk

Pasrah dan sedih saya rasakan…biaya hanya bbrp jam kena 2.300.000. Apapun saya lakukan agar ankku selamat..

Mungkin ada penyebab lain selain kuning, Bu Fuzi.

Bagaimanapun, saya turut berduka atas bayinya :'( Semoga dia diterima di sisi-Nya dan jauh lebih bahagia di sana.

Leave a Reply to Brahmanto Anindito Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu