Categories
pandangan

Membangun 100 Smart City di Indonesia? Membuat 1.000 Candi Rasanya Lebih Mudah

Dalam sebuah kota pintar (smart city), kegiatan administrasi tidak berbelit, karena semua tersimpan serta tersambung dalam sistem mahadata (big data) yang aman.

Membangun 100 Smart City di Indonesia? Membuat 1.000 Candi Rasanya Lebih Mudah

Konsep kota pintar (smart city) telah menjadi tren global. Kota pintar memadukan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta Internet of Things (IoT) untuk terhubung dan memfasilitasi pelayanan warganya. Bukan hanya “pintar” teknologinya, di sana warganya pun didorong dan difasilitasi untuk menjadi pintar.

Dalam sebuah kota pintar, kegiatan administrasi tidak berbelit, karena semua tersimpan serta tersambung dalam sistem mahadata (big data) yang aman. Pemangku kekuasaan dapat mempertimbangkan dan mengambil keputusan secara lebih cepat dengan Decision Support System (DSS) yang mumpuni.

Warga pun menjadi lebih aman beraktivitas di kotanya. Sebab, kamera CCTV di mana-mana. Intelligent Video Analytics (IVA) siap mengolah data yang masuk, mulai dari wajah orang, kerumunan, plat nomor, sampai senjata.

Dalam kota pintar, masalah lingkungan, sistem transportasi, keluhan warga, dan penyalahgunaan kekuasaan (seperti pungli dan rekayasa anggaran) pun dapat dipantau dengan transparan.

Smart City Standar Nasional

Indonesia memiliki ambisi besar untuk mengembangkan 100 kota pintar di seluruh tanah air. Ini merupakan program bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PUPR, Bappenas, dan Kantor Staf Kepresidenan, yang dicanangkan sejak 2017.

Tujuannya, meningkatkan pelayanan publik, efisiensi pemerintahan, dan kesejahteraan masyarakat.

Sayangnya hingga kini, program ini masih jauh dari harapan. Dari target 100 kota, baru 52 kota yang menyandang status kota pintar, sedangkan 48 kota lainnya masih dalam proses. Dari 52 kota yang “sudah jadi” pun belum tentu memenuhi semua aspek kota pintar.

Menurut Kominfo, terdapat enam pilar utama yang menjadi dasar pelaksanaan program kota pintar, yaitu:

  1. Tata pemerintahan (smart governance)
  2. Infrastruktur (smart infrastructure)
  3. Ekonomi (smart economy)
  4. Kehidupan (smart living)
  5. Masyarakat (smart people)
  6. Lingkungan (smart environment)

Namun dalam praktiknya, banyak kota yang hanya berfokus pada salah satu atau beberapa aspek saja.

Misalnya, ada kota yang hanya mengandalkan aplikasi daring untuk memberikan layanan publik, tanpa memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial. Ada pula kota yang hanya mengembangkan sektor ekonomi digital, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Barangkali karena itulah, apa yang dianggap sebagai kota pintar oleh pemerintah Indonesia ternyata belum cukup pintar di mata dunia.

Smart City Standar Internasional

IMD World Competitiveness Center baru saja merilis daftar indeks 141 kota pintar di dunia 2023. Juaranya masih Zurich (Swiss) dan peringkat keduanya tetap Oslo (Norwegia). Zurich dan Oslo aman bertengger di posisi masing-masing selama empat tahun berturut-turut.

Bagaimana dengan kota-kota Indonesia? Hanya tiga yang berhasil tembus. Jakarta menempati peringkat 102, Medan di urutan 112, dan Makassar di posisi 114.

Tidak ada Surabaya di sana. Padahal selama ini, Surabaya sering menjadi rujukan kota-kota lain di Indonesia yang ingin membangun kota pintar.

Akan tetapi, Putu Rudy Setiawan tidak merasa heran. Sebagaimana dikutip DetikJatim, pengamat tata kota dan transportasi dari ITS itu mengatakan bahwa secara umum, semua pelayanan di Surabaya masih berbasis manual.

Sistem boleh canggih, tetapi pompa-pompa penanggulangan banjir, misalnya, masih dioperasikan secara manual. Ada juga jukir yang menagih uang parkir, meski sudah ada mesin parkir.

Surabaya Belum Tepat Disebut Kota Pintar

Sebagai warga Surabaya, saya sendiri belum puas dengan transportasi publik di kota yang baru berulang tahun ke-730 ini. Tidak ada kereta komuter yang bisa diandalkan untuk menghubungkan titik-titik di dalam kota.

Pun, transportasi modern yang tersedia hanya Suroboyo Bus dan Trans Semanggi yang trayeknya hanya menjangkau sebagian kecil wilayah kota. Sisanya, armada angkot dan bus bersistem lama yang tidak relevan dalam konteks kota pintar.

Soal administrasi kependudukan, Surabaya sebenarnya memiliki aplikasi Kawin, Lahir, Mati, Pindah, Datang (KLAMPID) yang andal. Mengurus surat-surat terkait peristiwa-peristiwa itu tak perlu antre fisik, cukup melalui ponsel pintar atau komputer.

Sayangnya, saat mengambil hasilnya, seperti KTP atau akta kematian, petugas tetap meminta e-kitir tercetak sebagai arsip. Sungguh ironis, mengingat huruf “e” itu singkatan dari “elektronik” (digital) dan di dalamnya mengandung QR-Code (kode respon cepat) yang sebenarnya dapat dipindai dengan mudah oleh petugas.

Saya tidak tahu bagaimana urusan kependudukan di kota-kota pintar dunia. Sebab, di antara 20 besar kota pintar menurut IMD World Competitiveness Center, penulis hanya pernah berkunjung ke Singapura (peringkat 7) dan Amsterdam (peringkat 15).

Yang jelas, inovasi bila dijalankan setengah-setengah, malah merugikan lingkungan dua kali.

Penggunaan sistem daring dimaksudkan untuk meminimalkan dampak kertas bagi lingkungan. Banyak pohon yang ditebang untuk menghasilkan kertas. Pun, ada segunung sampah serta limbah selama proses produksi, distribusi, serta konsumsi kertas.

Yang mungkin jarang diketahui, TIK pun tidak sepenuhnya ramah lingkungan. Perangkat-perangkat elektronik dan peladennya (server) membutuhkan energi listrik, dan listrik selalu meninggalkan emisi karbon.

Harusnya, pejabat pelaksana tidak setengah-setengah dalam membuat kebijakan operasional. Kalau memilih kertas, lebih baik gunakan kertas semua (dengan risiko kita tidak sejalan dengan tren dunia). Kalau memilih digital, sebaiknya juga total paperless.

Jangan sampai warga tetap disuruh mencetak atau memfotokopi arsip-arsip. Menyampah dua kali (limbah kertas dan emisi karbon) bukan saja kurang bijak, tetapi rasanya juga kurang pintar.

Tantangan Smart City

Selalu ada tantangan yang menghambat pengembangan kota pintar di Indonesia. Antara lain, kurangnya anggaran, sumber daya manusia, dan regulasi. Banyak pemerintah daerah yang masih kesulitan mengalokasikan dana, membangun fasilitas, dan menyusun kebijakan yang sesuai dengan konsep kota pintar.

Mungkin benar yang dikatakan Menteri BUMN Erick Thohir, bahwa ongkos berinvestasi di kota-kota yang sudah ada akan dua kali lebih mahal dibanding membangun kota pintar baru, seperti di IKN Nusantara.

Ada pula hambatan aktif dan pasif dari warga sendiri. Hambatan aktif misalnya dari mereka yang merasa lapangan pekerjaannya tersudut akibat digitalisasi. Mereka seperti jukir, sopir angkot, teller, akuntan umum, dll.

Sementara, hambatan pasif datang dari warga yang enggan belajar teknologi baru, entah karena memang tidak sanggup (misalnya sudah uzur) atau sekadar malas. Pemerintah harus menyiapkan solusi untuk warga-warga seperti ini.

Begitu banyak hambatan. Jika target 100 kota pintar adalah sepuluh tahun sejak dicanangkan, rasanya akan sulit terwujud. Apalagi bila yang dipakai adalah standar kota pintar dunia.

Barangkali membangun 1.000 candi dalam semalam seperti pesanan Roro Jonggrang lebih masuk akal. Namun, kita harus mengapresiasi upaya pemerintah. Bagaimanapun, kota pintar bukan sekadar proyek prestisius, melainkan memang kebutuhan masyarakat zaman ini.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index