Categories
kesehatan relaksasi

Mengutamakan Pijat Refleksi ketimbang Obat-obatan

Suka pijat refleksi? Saya dulu tidak. Bahkan sangat membencinya karena trauma masa kecil. Namun akhir-akhir ini, atau tepatnya sejak memutuskan menjadi freelancer lima tahun silam dan pola hidup saya berubah tidak sehat, saya jadi memandangnya sebagai solusi.

Titik-titik di telapak kaki dalam refleksologi

Saya sering kurang tidur. Baru tidur malam setelah hari berganti. Ini jelas tidak sehat. Makanan juga ngawur. Lantaran keadaan perekonomian membaik, lagi “ngidam” apa langsung beli, langsung makan. Sulit puasa, intinya. Sudah begitu, olahraga pun jarang sekali, kecuali berjalan kaki yang tak seberapa.

Tinggal satu benteng terakhir dalam menjaga kebugaran tubuh, yaitu pijat kesehatan. Bukan “pijat enak”, tetapi “pijat sakit”: pijat refleksi. Sudah empat tahun ini saya mengandalkan terapi refleksi untuk mengatasi beberapa masalah kesehatan yang muncul.

Anda tahu refleksologi, bukan? Ciri khas pijat yang sudah berkembang di Cina sejak lebih dari 4.000 tahun ini adalah tekanan atau tusukan ke titik-titik saraf tertentu telapak kaki dan tangan, baik menggunakan jari-jari si terapis maupun alat bantu. Ketika ada organ tubuh kita yang bermasalah, kita akan kesakitan saat titik-titik tertentu itu ditekan, dijepit, atau digerus.

Saya, misalnya, selalu merasa nyeri ketika jari tengah kaki kanan saya dipijat, entah apa artinya itu. Saya juga kesakitan saat pemijat menekan bagian tengah telapak kaki saya (solar plexus), baik yang kanan maupun yang kiri.

Namun, saya tidak pernah menjerit-jerit atau mendesah-desah kesakitan. Saya bahkan tidak pernah memprotes atau meminta si pemijat lebih kalem. Sesi pemijatan selalu saya serahkan sesuai prosedur normalnya.

Manfaat Pijat Refleksi

Dengan pijatan-pijatan kulit ke kulit di titik-titik yang tepat, peredaran darah akan lancar. Terdapat lebih dari 7.000 ujung saraf di telapak kaki. Semuanya tersambung ke seluruh tubuh melalui sistem saraf pusat. Memijat telapak kaki atau ujung saraf artinya merangsang tubuh untuk melakukan penyembuhan secara mandiri. Ini membuat tubuh bugar dan prima.

Maaf bila saya tidak sanggup memaparkannya secara ilmiah. Saya cuma bisa menceritakan kisah sukses saya berkaitan dengan pijat refleksi ini.

Beberapa waktu lalu, saya batuk kering selama sebulan lebih. Minum OBH sudah dua minggu, belum sembuh juga. Saya pun pergi ke dokter pada hari Jumat. Didiagnosa, terjadi sesuatu dengan paru-paru saya. Maka dokter meminta saya tes riak di laboratorium.

Waduh, kok jadi seperti penyakit parah begini?

Saya memang alergi debu, yang kemudian menyebabkan asma. Sejak kecil seperti itu. Ini penyakit warisan kakek pihak ayah. Namun, masa sampai berdampak ke paru-paru? Saya ngeri juga.

“Tapi riaknya nggak ada, Dok,” protes saya, agar dia menganulir diagnosanya.

“Ya makanya, ini saya kasih pengencer dahak,” dokter itu memberi solusi. Sayangnya, itu bukan solusi yang saya harapkan. Saya akhirnya menerima tiga macam resep: obat batuk, antibiotik, dan pengencer dahak. “Dalam tiga hari, belum sembuh, bawa sampel riak Bapak ke lab, Senin minggu depan.”

Saya mengangguk patuh. Di rumah, saya meminum obat-obat beraneka warna itu secara rutin. Syukur, obat itu ternyata mujarab! Batuk saya berkurang drastis.

Hanya, efeknya seperti yoyo. Begitu obatnya habis, batuknya mampir lagi. Tinggal sirup pengencer dahak yang masih tersisa setengah botol. Saya berpikir, lanjutkan atau tidak, ya?

Tiba-tiba, teringat kenangan di masa kecil. Dulu saat SD, ada masanya saya diwajibkan untuk pijat rutin. Nama pemijatnya kalau tidak salah Pak Soelchan. Saya tidak suka bapak itu, karena pijatannya tidak pernah enak. Selalu menyakitkan dan menyisakan linu-linu di sekujur tubuh. Tukang siksa itulah yang membuat saya membenci pijat hingga masa remaja saya.

“Buat asmamu, Nak, biar nggak sering kambuh,” begitu penjelasan orang tua setiap saya protes keras mengapa Pak Soelchan bolak-balik dipanggil ke rumah.

Waktu itu, saya tidak percaya. Buktinya, saya masih saja mengalami sesak napas sehabis jalan sehat di pagi hari atau beres-beres kamar (yang sudah pasti berdebu). Sudah sakit, hasilnya nihil. Buang-buang waktu saja!

Saya benci pijat! Saya benci Pak Soelchan!

Namun setelah dewasa dan terserang batuk kering sebulan lebih, saya kembali teringat beliau. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau waktu itu memang saya yang terlalu ringkih? Bagaimana kalau pijatan Pak Soelchan sudah berhasil membuat saya yang sangat ringkih menjadi sedikit ringkih? Itu kemajuan yang lumayan, bukan?

Saya lupa, teknik Pak Soelchan tergolong pijat refleksi atau bukan. Namun ditinjau dari rasa sakitnya, sepertinya memang refleksi.

Siapa tahu, pijat refleksi bisa jadi solusi sekali lagi?

Ya, sebenarnya, saya pernah tertolong oleh pijat refleksi. Jauh setelah era “penyiksaan” Pak Soelchan, tepatnya beberapa tahun lalu, dada bagian kanan saya sering terasa nyeri. Clekit-clekit dan seperti kram sesekali. Periodenya acak, barangkali dua atau tiga hari sekali.

Lalu saya memberanikan diri datang ke gerai pijat refleksi. Singkat cerita, ketika terapisnya memijat lengan bawah saya, serasa ada saraf yang bereaksi. Seperti efek setrum menjalari pangkal lengan saya. Namun setelah sesi pijat itu, ajaib, saya tidak merasakan nyeri lagi di dada.

Berharap mengulang keberhasilan tersebut, saya pun pergi lagi ke stan-stan refleksologi di Mal Royal. Sebelum memulai, saya berpesan ke masseur-nya, “Mas, aku batuk nggak sembuh-sembuh. Ini apanya yang dipijat biar sembuh?”

“Kaki-tangan? Cuma 30 menit?”

“Iya.”

“Kalau batuk, sebaiknya kaki-pundak, Mas. Yang kaki, titiknya di sini,” kata pria itu sambil menekan satu bagian di telapak dan punggung kaki saya. “Juga di sini….”

“Yang di tangan… nggak ada?”

“Ada, tapi lebih efektif di pundak dan punggung. Kan ini cuma 30 menit.”

Saya menurut saja. Akhirnya, saya persilakan kaki dan punggung yang dipijat. Padahal, biasanya saya memilih paket kaki-tangan.

Kata terapis itu, untuk penyakit-penyakit minor, pijat refleksi memang dapat diandalkan. Sakit kepala, batuk, pilek, masalah pencernaan, mata, nyeri punggung, depresi, stres, gampang marah, hingga sindrom pramenstruasi, atau lainnya bisa beres. Karena semua itu ada hubungannya dengan peredaran darah.

Untuk penyakit yang berat, semacam jantung, parkinson, sklerosis, pijat refleksi hanya berguna untuk meredam rasa sakitnya. Tidak sampai ke tahap penyembuhan.

Menjadi Agenda Rutin

Trauma Pak Soelchan rupanya tidak berbekas lagi setelah saya dewasa. Saya sudah bisa menikmati pijat refleksi dan mulai akrab dengan rasa sakitnya.

Lagi pula, refleksi itu termasuk pijat. Diurut, ditekan, ditusuk, dipukul dengan lembut, semua itu menimbulkan rasa enak dan rileks bagi saya. Kadang-kadang, saya sampai mengantuk. Terutama di titik-titik yang tidak bermasalah. Efek minimalnya, peredaran darah lancar, kepenatan kerja hilang, stres pun amblas.

Setelah saya dipijat sore itu, saya pulang. Batuk masih saja menyerang. Tiap jam saya terbatuk, seolah oksigen yang saya hirup selalu kotor, baik di mal, di jalan, di masjid, maupun di rumah.

Namun dari hari ke hari, serangan batuk semakin berkurang intensitasnya. Padahal sejak hari saya pijat, saya tidak minum obat apa-apa lagi. Jadi, pasti pijat refleksi itulah yang menyebabkan kondisi kesehatan saya membaik. Saya pun bertekad, minggu depan saya pijat lagi, supaya segera tuntas!

Eh, sebelum rencana itu terlaksana, batuk membandel sudah benar-benar hengkang. Alhamdulillah!

Melihat manfaat-manfaat refleksi, akan saya rutinkan saja agenda pijat ini. Kalau sehat, mungkin tiga bulan sekali. Sementara jika ada keluhan kesehatan, saya akan langsung berkunjung ke terapis refleksologi. Daripada harus mengonsumsi bahan-bahan kimia alias obat yang berdampak ke ginjal secara jangka panjang, mending saya memilih pengobatan luar yang lebih alami.

Untungnya, pijat refleksi ini tidak mahal, tidak seperti Thai Massage, Siatsu, atau lainnya.

Saya pikir dengan pola pikir dijaga tetap positif, selalu merasa bersyukur dan bahagia, cukup tidur, mulai mengurangi makanan yang “bermasalah”, ditambah rutin pijat refleksi, sedikit olahraga pun tak masalah. InsyaAllah, sehat terus!

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

One reply on “Mengutamakan Pijat Refleksi ketimbang Obat-obatan”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index