Categories
etika

Mewahnya Sepotong Ucapan Terima Kasih

Manusia hidup dengan etika. Kalau diberi orang, besar atau kecil, riil (seperti barang) atau abstrak (seperti informasi), ucapkan terima kasih.

Mewahnya Sepotong Ucapan Terima Kasih

Bayangkan ada pengendara motor yang memotong jalan Anda dan bertanya, “Mas, Dispenduk itu dimana ya?” Anda pun menjelaskan panjang lebar dengan harapan orang itu bisa sampai ke tujuan tanpa tersesat. Lalu tanpa mengangguk pamit, tanpa senyuman basa-basi, tanpa ucapan terima kasih, orang itu menutup kaca helmnya dan langsung tancap gas meninggalkan Anda. Apa reaksi Anda?

Kalau saya, pertama, tentu saja tercengang. Geleng-geleng kepala. Kedua, saya akan mengingat sebisa mungkin si pengendara itu. Suatu saat kalau kebetulan bertemu dan dia bertanya-tanya lagi, saya takkan seramah dan seloyal sebelumnya dalam memberi informasi. Tetap saya jawab. Tapi dengan jawaban secukupnya saja.

Dalam kehidupan yang sebenarnya, tanpa kata “bayangkan”, saya terkadang mengalami ini. Pelakunya kebanyakan adalah teman sendiri. Mereka bertanya kepada saya melalui FB message, SMS, atau email. Tidak sekadar bertanya, terkadang minta tolong pula. Namun setelah itu, tak sepotong ucapan terima kasih saya terima.

Jadi merasa tidak dihargai, gitu. Sakitnya tuh di sini…

Saya akhirnya menyiapkan skema pembalasan: kalau dia bertanya-tanya lagi, jawaban saya harus lebih pendek dari pertanyaannya!

Umpamanya (ini hanya contoh), dia bertanya, “Gimana, sih, cara merawat anakan komodo? Aku kok gagal terus ya? Induknya sudah kawin, bertelur, terus menetas, eh, beberapa minggu kemudian anakan-anakannya mati. Ada saja masalah. Bisa kasih tips?”

Perhatikan, pertanyaan itu terdiri dari 29 kata. Maka jawaban saya untuk si tak tahu terima kasih itu tidak boleh sampai 29 kata.

Misalnya, saya akan menjawabnya begini, “Pisahkan komodo dewasa dan anakan biar nggak dikanibal. Sediakan juga pohon, supaya si komodo kecil bisa memanjat kalau di-bully atau akan dimangsa komodo-komodo dewasa.”

Kalau dia tanya lagi dengan pertanyaan yang lebih pendek, jawaban saya pun otomatis akan makin pendek. Contohnya, “Cara misahinnya gimana? Terus, pohonnya jenis apa?”

“Disekat. Pohon apapun yang dahannya kuat.”

Astaga, dia bertanya lebih pendek lagi! “Trembesi? Beringin? Mangga?”

Ya sudah, saya jawab saja, “Bisa.”

Hehehe, bukannya dendam atau berharap pamrih atas jawaban-jawaban saya. Saya cuma ingin mengingatkan bahwa manusia hidup dengan etika. Kalau Anda diberi orang, sekecil apapun pemberian itu, dalam bentuk benda riil atau abstrak (informasi), ucapkan terima kasih kepada sang pemberi.

Bahkan di mata saya, kalimat “nanti aku tanya-tanya lagi boleh, ya?” meski tanpa “terima kasih” pun kesannya lebih bersahabat daripada diam saja dan langsung pergi.

Sekali lagi, ini etika, Bos! Si penanya itu sudah membuang-buang waktu saya untuk memecahkan problemnya (yang sebenarnya bukan urusan saya). Saya tidak minta bayaran, karena itulah makna pertemanan. Namun, bila sesudah itu dia tidak berterima kasih dan plencing begitu saja seperti ilustrasi pengendara yang tanya lokasi Dispenduk tadi, berarti dia hanya butuh informasi, bukan pertemanan dengan saya!

Dan kalau dia tidak butuh pertemanan, buat apa saya harus menjawab panjang-lebar dan penuh senyum? Bahkan, buat apa saya menjawabnya (meskipun saya tak pernah tega untuk bersikap setegas ini)? Pada akhirnya, setiap orang ingin pertemanan dan dihargai, bukan?

Saya tidak bicara komentar-komentar blog. Kalau di blog, orang bertanya dan langsung pergi (tanpa berterima kasih) setelah dijawab itu sudah biasa. Saya memakluminya, karena warganet itu masih banyak yang pengembara (blogwalker) anonim.

Namun, ini teman-teman sendiri! Terkadang juga mahasiswa-mahasiswa yang mewawancarai saya karena skripsinya tentang novel saya. Dia bertanya-tanya, saya sempatkan jawab di sela-sela pekerjaan yang menumpuk, eh, setelah itu tak ada kabarnya lagi. Tak ada kalimat perpisahan. Apalagi kalimat terima kasih.

Kasihan sekali orang-orang “pelit” ini. Sepotong ucapan terima kasih yang sebenarnya gratis pun seperti sangat mahal bagi mereka.

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

5 replies on “Mewahnya Sepotong Ucapan Terima Kasih”

Betul sekali tulisanmu ini. Bravo. Saya dukung sekali tulisan ini. Saya juga sering mengalami. Bahkan lebih sering. Tapi kadang setiap melakukannya, saat sebelum melakukannya saya berniat dulu beribadah. Kalau tidak diucapkan terima kasih, saya harap dapat terima kasih dari Tuhan.

Tapi benar, katamu, harusnya ini tetap etika. Apa ya sebabnya? Tidak ada pelajaran etika di sekolah?
Mochamad Yusuf recently posted..Bandung Kini (4): Menjamurnya Wisata Kuliner di BandungMy Profile

bener sekali pak brahmanto,jangan sampai kita menjadi orang yang tak beretika. Ini hidup dan kita pun harus punya ETIKA.
Terima kasih sudah mengingatkam pak bram.minta izin untuk share ya pak

Leave a Reply to Rie Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu