Mimpi ini baru terjadi beberapa hari yang lalu, tetapi saya lupa kapan tepatnya. Dalam mimpi tersebut, saya sedang berada di pikap Hiace bersama papa. Kalau mobil legendaris itu masih ada, wah, berarti latar waktu mimpi ini adalah masa kecil saya. Nostalgia banget, nih!
Mobil biru ini adalah andalan papa ketika masih bekerja di perusahaan kontraktor dahulu. Saya diantar ke sekolah, sampai SD kelas 5, menggunakan pikap ini. Pergi ke mana-mana berempat juga naik ini, termasuk saat rekreasi keluar kota.
Selain untuk mengangkut orang, pikap ini juga dapat digunakan untuk mengangkut material bahan bangunan. Cocoklah untuk pekerjaan papa. Multifungsi! Jadi, ketika Hiace biru ini dijual, kalau tidak salah saat saya baru kuliah, papa lantas membeli pikap lagi, yakni Suzuki Carry.
Di dalam mimpi, papa yang menyetir di jok sebelah kanan. Beliau masih bisa menyetir? Artinya, mimpi ini seolah mesin waktu yang menarik saya kembali ke masa lalu. Oh, saya benar-benar rindu masa itu…
Namun, anehnya, saya bukan anak kecil di sana. Saya hadir dengan fisik, pemikiran, dan ketenangan orang dewasa. Bukan versi anak-anak atau remaja saya yang masih gampang panik dan peragu.
Kami berkendara entah ke mana. Papa melajukan mobil dengan cepat di jalanan yang lumayan lengang. Tampaknya, menuju pinggiran kota. Bagaimanapun, akhirnya kami masuk ke sebuah kawasan elite. Di alam sadar, saya mengaitkan kemiripannya dengan daerah Pakuwon, di Surabaya Barat.
Ternyata, kami berhenti di sebuah gedung besar, seperti gedung perkantoran. Kami parkir di sana. Papa menitipkan kunci Hiace dan sebuah map yang entah berisi apa. Katanya, kalau urusan lancar, saya harus pulang sendiri.
“Terima kasih sudah mengantar,” ucap papa.
Lalu kami turun dan masuk ke kantor itu. Banyak orang berpakaian rapi yang berlalu lalang di sana. Sebagian bersenda gurau dengan sesamanya. Para pegawai itu cuek dengan kehadiran kami, tetapi tampak ramah ketika kami bertanya arah.
Papa menyelesaikan urusannya di ruangan tertentu. Sementara saya duduk di ruang tunggunya.
Beberapa menit kemudian, papa mendatangi saya. Beliau mengatakan diterima. Wah, jadi, ini wawancara kerja? Saya tidak bertanya apa-apa di mimpi itu.
Papa, masih dalam posisi berdiri, menepuk-nepuk sakunya. Seperti terburu-buru mencari sesuatu. Apakah uang buat saya? Kita lihat saja, apa papa masih memberi saya uang saku ketika saya sudah dewasa begini? Hehehe….
Ternyata, tidak, Saudara-saudara! Beliau hanya mengecek sesuatu di kantongnya, kemudian menyuruh saya pulang. Hahaha…
Saya pun pamit. Saya berjalan membelah kantor itu. Suasana lumayan sepi, sehingga suara sepatu saya sampai terdengar seirama langkah-langkah kaki. Tak! Tok! Tak! Tok!
Ya, saya sedang mengenakan pantofel dan kemeja lengan panjang di mimpi tersebut. Berarti, sebelumnya saya sudah diberi tahu kalau akan diajak ke tempat formal.
Yang lucu, saya pulangnya tidak membawa Hiace yang kuncinya sudah saya bawa tadi. Saya malah jalan kaki hingga jalan raya. Bahkan sampai di pertigaan, saya terpikir untuk naik angkot apapun yang muncul.
Gerimis pun mulai turun sore itu. Namun, itu bukan masalah. Sebab, kondisi psikis saya sedang senang.
Kenapa senang?
Barangkali karena bangga telah berandil membantu papa. Atau, karena puas bernostalgia, bermobil dalam Hiace biru penuh kenangan, sambil mengobrol berdua dan disopiri oleh papa lagi. Atau, girang karena semua tampak terjadi di masa lalu, jadi saya tahu bahwa ketika pulang nanti, almarhumah mama masih ada di rumah. :’)
Entahlah…
Belum sempat menentukan langkah selanjutnya, mau pulang atau jalan-jalan dahulu, saya terbangun subuh itu. Sayup-sayup terdengar rekaman orang mengaji dari masjid sekitar rumah.
- Gambar ilustrasi dibuat dengan Dall-E AI.