Sejak SMP, saya selalu tertarik hal-hal yang berkaitan dengan para pendahulu manusia. Siapa mereka? Siapa puncak rantai makanan sebelum hadir spesies yang pintar merekayasa seperti kita? Bagaimana rupa para penguasa bumi sebelum kita itu? Bagaimana kehidupan sosial mereka? Mengapa spesies mereka tidak bertahan hingga hari ini? Pokoknya, banyak sekali pertanyaan yang ada di otak saya.
Dan bagi orang awam seperti saya, rasanya hanya ada satu tempat yang paling masuk akal untuk mencari jawabannya: museum purbakala. Beruntung, di Indonesia lumayan banyak museum seperti ini. Di Pulau Jawa, ada Museum Pleret, di Kabupaten Bantul, DIY. Ada Museum Trinil, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tapi kata orang, yang terbesar dan terlengkap adalah Situs Sangiran dan Museum Purba Sangiran di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Maret lalu, saya mengunjungi Museum Mahameru di Blora, Jawa Tengah. Di kota kelahiran pujangga Pramoedya Ananta Toer itu, saya sempat blusukan pula ke dalam goa purba yang bolong-bolong atapnya: Goa Terawang. Keren dan eksotik sekali!
Tidak tahu, ya, kenapa peninggalan-peninggalan prasejarah banyak berserakan di Provinsi Jawa Tengah. Mungkinkah area Jawa Tengah dulunya adalah pusat peradaban? Atau semacam destinasi migrasi yang dianggap ideal oleh “manusia-manusia” pada ratusan ribu hingga jutaan tahun silam? Lantas, kalau saya selalu tertarik berwisata ke Jateng, berarti saya satu selera dong dengan manusia-manusia purba itu, hehehe….
Saya pun memutuskan pergi ke Solo, dengan tujuan utama Museum Purba Sangiran. Selain untuk bahan tulisan, juga untuk mengajak keluarga kecil saya jalan-jalan. Lho, tapi, kok Solo? Katanya museumnya di Sragen? Benar. Tapi setelah saya lihat di peta, Museum Purba Sangiran ternyata lebih dekat dengan Kota Surakarta, meskipun masih dalam wilayah administrasi Sragen. Jadi, saya merasa lebih efisien booking hotelnya di Solo. Alasan kepraktisan saja.
Dari Surakarta ke Museum Purba Sangiran
Kalau Anda menggunakan GPS, silakan masukkan koordinat 7°27′0″S 110°51′0″E. Itulah letak kawasan purbakala Sangiran. Tepatnya di Kecamatan Kalijambe. Menurut para peneliti, inilah lokasi perkampungan manusia purba sekitar 1,8 juta tahun silam. Di sinilah, Museum Purba Sangiran dibangun.
Dari hotel kami yang kebetulan dekat dengan Terminal Tirtonadi, kami menumpang bus jurusan Purwodadi. Tidak sampai satu jam, bus berhenti di Pertigaan Kalijambe. Perjalanan menuju museum masih sekitar empat kilometer lagi. Tidak ada kendaraan umum ke sana. Adanya hanya ojek yang mangkal di sekitar pertigaan itu.
Tarif ojek dari Pertigaan Kalijambe menuju Museum Sangiran, saat kami berkunjung, adalah 30.000 per orang. Siapkan juga Rp5.000 per kepala untuk tiket masuk museum.
Di sepanjang perjalanan motor menuju museum, saya melihat banyak rumah penduduk yang memajang suvenir berupa patung-patung manusia purba, gading, kepala kerbau, atau lainnya. Apakah itu asli? Saya yakin tidak. Kalau asli, pasti mereka sudah ditangkap polisi karena memperdagangkan harta karun nasional, bukan?
Ada Apa di Museum Purba Sangiran?
Sesuai ekspektasi saya, di sini, saya menemukan “harta karun” berupa ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan manusia purba di Jawa Tengah dan sekitarnya. Tidak hanya telling, museum empat lantai ini juga showing. Mengamati fosil hewan, tulang belulang makhluk purba, artefak (alat-alat yang mereka gunakan), patung, diorama, lukisan, dan piranti multimedia, saya seperti sedang mengendarai mesin waktu dan kembali ke zaman batu.
Usia koleksi-koleksi museum ini ratusan ribu hingga dua juta tahun. Tertata apik. Ruang-ruangnya pun nyaman, lumayan canggih, elegan, dan terawat. Jadi, tiket Rp5.000 sebenarnya tergolong sangat murah dibanding pengetahuan serta suasana yang akan pengunjung peroleh di sini. Boleh dibilang, Museum Purba Sangiran adalah satu di antara sedikit museum yang pengelolaannya berkelas internasional.
Tidak terlalu mengejutkan, sebenarnya. Karena United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pun turut andil di sini. Sekadar catatan, pada 1996, badan PBB yang mengurus budaya, ilmu pengetahuan dan pendidikan dunia itu menetapkan Sangiran sebagai situs cagar budaya warisan dunia (World Heritage Site).
Di wilayah seluas 56 kilometer persegi inilah Profesor Von Koenigswald (arkeolog asal Jerman) menemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus, salah satu spesies Homo erectus. Penemuan-penemuan lain, seperti fosil gajah purba, kerbau purba, buaya, dan lain-lain pun melengkapi kepingan-kepingan misteri pada masa itu. Para peneliti, baik lokal maupun mancanegara, jadi terbantu untuk menyimpulkan teori-teori berkaitan dengan kehidupan prasejarah. Ini menjadikan situs Sangiran kunci peradaban “manusia” di Asia, bahkan dunia.
Banyak sekali yang bisa kita temukan di museum ini maupun di situs Sangiran secara keseluruhan. Jangan terpancang pada artikel saya yang sangat terbatas ini. Yang jelas, bagi saya, berkunjung ke Museum Purba Sangiran merupakan eduwisata yang sangat menyenangkan. Saya sangat merekomendasikannya!
Jika Anda tidak memiliki ketertarikan sebesar saya dalam hal prasejarah dan manusia purba pun sebetulnya bukan masalah. Dengan desain tata ruang yang generasi kekinian bilang Instagrammable atau shareable di media sosial, Museum Purbakala Sangiran tetap “sesuatu” untuk dikunjungi. Meskipun pada kenyataannya Kiara, anak kami yang berusia 2,5 tahun, takut setiap dekat dengan apa yang dia sebut (patung) ‘sya puba itu. [photos by Brahm]
9 replies on “Museum Purba Sangiran dan Jejak-jejak Penghuni Bumi sebelum Kita”
Nice article….
Terima kasih sudah mampir dan membaca, Pak Agusman 🙂
Terakhir saya ke Museum Sangiran, masih direnovasi. Itu berarti sudah lama … banget! Tidak jauh dari museum, ada sungai yang konon merupakan salah satu “tambang” fosil. Waktu saya masih anak-anak, kalau jalan di pinggiran sungai itu, bisa menemukan batu-batu kecil yang polanya mirip kayu atau daun. Tapi terakhir saya ke sana, sudah susah turun ke sungai dan sepertinya sungainya sudah bersih dan rapi. Mungkin sekarang batu-batu itu sudah habis. XD
Dyah recently posted..Makan-Makan di FIlipina
Wah, terima kasih informasinya, Mbak Dyah. Memang, situs ini luas sekali. Sayang, waktu itu kami cuma muter-muter di dalam museumnya, karena kadung janji sama tukang ojeknya cuma satu jam, hehehe. Kapan-kapan, semoga bisa berkunjung lagi dan blusukan hingga sekitaran museum plus desa-desanya 🙂
Keren ya mas Museum museumnya, nggak lumayan banyak juga museumnya di sekitar tempat di mana saya dilahirkan.
Jadi teringat saat mengunjungi Naturhistorische Museum di Wina Austria beberapa tahun lalu.
Btw, blognya lama juga ya mas dibukanya.
Dunia Ely recently posted..Pohon Walnut di Jerman
Keren, dong 🙂 Di sini juga bahas dikit tentang orang-orang purba Eropa, lho, seperti Homo neanderthalensis. Juga migrasi antarbenua komunitas-komunitas saat itu.
Eh, maksudnya loadingnya lama? Itu di luar “kekuasaanku”, Mbak El….
heeeee. tak kiraaain ada bacaan lagi….belom ada ya..
salam
Belum sempat, hehehe…
[…] tujuan utamanya adalah Museum Manusia Purba, kami pun tidak main-main ke keraton, Museum Danar Hadi, Kafe Markobar, atau shopping di Pasar […]