Sampai beberapa bulan lalu, saya bukanlah pecandu kopi. Jadi, setiap mendengar jargon kekinian semacam “ngopi dulu biar nggak salah paham”, “seruput kopinya”, atau “lo pasti belum ngopi”, saya cenderung mengerutkan dahi. Rasanya geli sendiri. Nggak penting banget!
Saat itu, saya memandang pecandu kopi sama dengan pecandu rokok. Kegiatan yang membuang-buang waktu dan uang saja. Meskipun sejak lama saya sudah tahu bahwa kopi tidak merusak tubuh. Alih-alih demikian, kopi malah menyehatkan jantung dalam takaran yang tidak berlebihan.
Penelitian di Universitas John Hopkins pada 2015 menyimpulkan, mengonsumsi kopi dapat menurunkan risiko penyumbatan arteri yang bisa berujung pada serangan jantung. Diduga kuat, ini karena sifat antioksidan di dalam kopi.
Makanya meskipun tidak suka, saya tidak “mengharamkan” kopi. Sesekali, saya minum juga. Misalnya, saat bertamu dan tuan rumah menyuguhi kopi, ketemuan dengan klien di sebuah kafe, atau mampir di warung saat jadi musafir dan tidak ada minuman lain.
Dalam kondisi normal, agak mustahil saya sengaja mencari minuman hitam yang pahit ini. Apalagi karena jarang minum kopi, dampak kafeinnya terasa dramatis di tubuh saya. Dalam kasus terparah, saya pernah melek sampai menjelang subuh.
Sifat apatis saya terhadap kopi ini diperteguh dengan fenomena teman-teman saya yang biasa mengobrol ngalor-ngidul sambil mengopi dan (apa lagi kalau bukan) merokok. Kepulan uap air panas beraroma kafein bercampur gumpalan asap nikotin, wah, ini jelas bukan tempat saya.
Belum lagi melihat maraknya kedai-kedai kopi yang harganya selangit hanya untuk secangkir kopi. Tidak masuk akal! Kopi dipergunakan untuk jualan citra, bukan esensi. Maka saya semakin berbulat tekat, “Kopi jelas bukan gaya hidup saya!”
Jadi sewaktu film laris Filosofi Kopi, lalu Filosofi Kopi 2, sedang tren, saya tenang-tenang saja. Tidak ikut dalam euforia “pemuja kopi” itu.
Begitulah saya. Tidak mudah mengikuti tren, tidak gampang terpengaruh dengan kondisi sekitar. Meskipun ayah, paman-paman saya, dan sebagian teman saya, termasuk yang perempuan, meminum kopi.
Mulai Suka Ngopi
Sampai suatu titik, ketika saya merasakan sendiri manfaat minuman yang terpopuler kedua setelah teh ini, kurang-lebih setahun silam, saat saya dikejar tenggat dan istirahat terasa kurang….
Semakin dikepung #deadlines, semakin akrablah aku dengan #kopi. Dan memang, ia teman yang menyenangkan.
— Brahmanto Anindito (@braindito) September 2, 2017
Ya, baru beberapa bulan saya menjadi penikmat kopi. Ini setelah saya mencari tahu secara khusus manfaat-manfaat kopi. Beruntungnya, saya adalah penderita darah rendah. Jadi justru zat-zat dalam kopi ditengarai bagus untuk meningkatkan tekanan darah saya.
Satu per satu kopi yang ada di minimarket langganan pun mulai saya jajal. Termasuk kopi instan atau botolan.
Namun, pada akhirnya, pilihan favorit saya bukan itu. Bukan pula pada kopi sachet instan, kopi 2 in 1, 3 in 1, 4 in 1 atau apapun namanya. Saya justru suka pada kesederhanaan kopi bubuk, tanpa gula, krimer, choco granule, atau tambahan lainnya. Tetapi sachetan.
Mungkin ada pecandu kopi yang menertawakan dan merisak penikmat kopi sachet. Biar sajalah orang-orang kurang kerjaan itu. Mereka pikir semua orang seperti dirinya, hobi menumbuk-numbuk biji kopi.
Inilah bedanya penyuka kopi dan pemuja kopi. Saya penyuka kopi. Apa yang saya butuhkan dari kopi cukup kafeinnya dengan berbagai khasiat “ajaibnya”. Itu saja. Saya tidak mau repot-repot mendengarkan orang berceramah, “Begini, lo, cara menikmati kopi yang hakiki!”
Sebab, saya enggan terjebak menjadikan minuman hitam ini sebagai gaya hidup. Kata orang bijak, kan, “Hidup itu sebenarnya sederhana. Gaya hidup itu yang mahal dan rumit. Lebih-lebih, hidup gaya.”
Kopi Favorit
Setidakgaya-tidakgayanya saya dalam ngopi, saya punya selera juga. Saya tidak suka kopi yang berampas. Apalagi kopi yang dalam penyajiannya terlihat bubuk-bubuknya meluber di gelas, cangkir, atau tatakannya. Entahlah, kesannya jorok saja di mata saya.
Makanya, saya kurang suka dengan sebuah merek nasional yang berasal dari Surabaya. Mohon maaf kalau analisis saya salah, tetapi pengalaman mencoba produk-produk merek itu, daya penghilang kantuknya kurang kuat. Selain itu, kopinya meninggalkan ampas. Saya malas membeli kertas filter atau alat-alat kopi. Maklumlah, bukan pemuja kopi.
Jadi, favorit saya adalah kopi yang sejak awal dirancang tanpa ampas. Juga, tanpa krimer dan gula. Dengar-dengar, krimer tidak baik bagi kesehatan. Kalau gula, sudah lama saya tahu, itu penyebab diabetes. Makanya saya terus berusaha menguranginya, meskipun orang tua saya tidak ada yang mengidap penyakit gula ini.
Saya tidak pernah fanatik merek tertentu. Namun saat ini, saya suka Nescafe sachet 5 gram. Sekali sobek, bisa untuk segelas kopi 250 mililiter yang cukup kuat. Tanpa ampas! Kalau sedang ingin manis, saya bisa tambahkan gula maksimal dua sendok teh.
Saya mengonsumsi kopi paling banter sehari cuma sekali. Biasanya, pagi-pagi. Sehabis sarapan, saya menyeruputnya pelan-pelan.
Nah, pada bulan puasa begini, awalnya saya bingung, kapan harus minum kopi? Saya jelas butuh kekuatan kafein supaya bersemangat mengawali hari. Namun bila minum kopinya ketika sahur, takutnya jadi gampang haus sepanjang hari.
Sedangkan kalau pas berbuka, takutnya lambung yang tadinya kosong tidak kuat. Plus, tengah malam bisa-bisa saya masih mendelik gara-gara pengaruh kafein.
Pikir punya pikir, saya akhirnya memilih minum kopi setelah menyantap makanan utama berbuka. Soal efek kafein, ternyata justru bagus. Salat Tarawih saya, meski dalam keadaan perut penuh, jadi tetap fokus, tidak bolak-balik menguap.
Dan karena berangkat ke masjidnya jalan kaki, pulang-pergi jaraknya sekitar 1,5 kilometer, plus salat belasan rakaat, saya pikir itu sama dengan olahraga. Hehehe. Capai juga. Jam 22-an, efek kafein itu ternyata sirna nyaris tak berbekas. Saya bisa mengantuk. Alhamdulillah.
Jangan Sampai Ketagihan Kopi
Saya pun semakin terbiasa meminum kopi. Saya dan kopi sudah seperti sahabat. Namun, muncul kekhawatiran baru. Bagaimana kalau saya sudah ketagihan kafein? Bagaimana kalau tubuh saya loyo dan otak sulit diajak berpikir sebelum kopi melewati kerongkongan?
Bagaimanapun dekatnya seorang sahabat, tidak baik kalau kita terus-terusan mengandalkannya, bukan? Kita harus selalu bergantung pada diri sendiri, bukan?
Akhirnya, saya mencoba menahan diri untuk tidak mereguk kopi selama beberapa hari. Coba lihat, apakah tubuh saya ada tanda-tanda menagih kafein?
Hasilnya?
Sudah tiga hari ini saya tidak minum kopi. Ternyata, saya tetap bisa segar, asalkan istirahatnya cukup. Ya, memang saat ini saya tidak terlalu banyak pekerjaan. Fix! Kopi hanya akan saya konsumsi ketika butuh saja. Tidak harus setiap hari.
2 replies on “Persahabatan Saya dan Kopi”
ada setangkup asa dalam kopi, meski ia tak berasa
Syedaaaap…