Beberapa kali, saya melewati Jalan Raya Prambon. Kalau menuju Surabaya, mata saya hampir selalu tertumbuk pada papan bertuliskan “Candi Watu Tulis”. Penasaran juga untuk mengunjunginya.
Meskipun, kalau dilihat dari papannya yang begitu bersahaja dan jarangnya pemberitaan mengenai petilasan ini, ekspektasi saya tidak berlebihan. Jangankan semegah Borobudur atau Prambanan, menyamai Candi Barong atau Situs Arca Joko Dolog saja saya ragu.
Walau begitu, Candi Watu Tulis yang terletak di Desa Watu Tulis, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ini saya yakin banyak menyimpan sejarah peradaban tanah Jawa. Sebagian masih berupa teka-teki, entah dari Kerajaan Kahuripan, Jenggolo, atau lainnya.
Yang jelas, periode candi ini lebih tua dari Majapahit. Persisnya peninggalan dari tahun berapa, saya kurang tahu. Perkiraannya zaman ketika pusat peradaban Jawa masih berada di Jawa Tengah. Sebab, batuan yang digunakan berjenis andesit. Kita tahu, kalau sudah masuk masa Majapahit, candi-candi cenderung menggunakan bata merah.
Pagi itu, karena sedang tidak terburu-buru, saya spontan memutuskan mengunjungi Petilasan atau Candi Watu Tulis. Sekadar mengobati rasa penasaran.
Posisi candi ini berada di belakang perkampungan warga. Sebelah kirinya adalah hutan jati, dan sebelah kanannya perkebunan tebu yang dikaryakan oleh pabrik setempat. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, jalan menuju tempat ini tidak ada. Jadi, pengunjung harus berjalan kaki dulu melewati hamparan sawah. Sekarang, jalannya sudah di-paving.
Kompleksnya pun lumayan terbangun. Menurut Pak Buadi, juru kunci Petilasan Watu Tulis yang menemani kami langsung saat kunjungan, itu berkat sumbangan pihak pemerintah atau pejabat-pejabat yang merasa berutang budi.
Dahi saya kontan mengerut. “Berutang budi apa, Pak?”
“Jadi, tempat ini biasanya ramai kalau ada momen-momen spesial. Contohnya, Malam Satu Suro besok. Atau, hari-hari biasa tapi dini hari. Banyak orang Jawa Timur yang kalau punya hajat, lari ke sini. Misalnya, mau jadi lurah atau camat. ‘Berdoanya’ di sini, Mas. Nah, setelah benar-benar jadi, mereka berterima kasih dengan cara memperbaiki tempat ini,” demikian kurang-lebih penjelasan Pak Buadi sambil menunjuk trotoar, pendapa, kanopi, dan pagar kawasan.
Melirik tempat sesaji dan dupa di sini, saya tentu paham benar maksud juru pelihara candi yang asli penduduk Desa Watu Tulis ini.
“Tapi ini dulu memang candi, Pak?” tanya saya ragu-ragu. Bagaimana tidak ragu, sejumlah batu andesit ditumpuk begitu saja. Walau di tumpukan tersebut, masih bisa saya lihat relief barong (Buto Kala), perempuan, dua orang, dan gaya ukiran-ukiran Zaman Hindu-Buddha.
Pak Buadi mengangguk, lalu menceritakan sejarah candi ini (yang masih samar). Termasuk soal usaha terakhir pemerintah dalam memugarnya. Pada 1992, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur pernah merestorasi puing-puing Candi Watu Tulis. Sayangnya, usaha tersebut tidak berlanjut hingga hari ini. Mangkrak!
Bagaimanapun, pria berusia sekitar 60 tahun itu sudah cukup bersyukur karena Pemerintah Desa tetap menunjukkan kepedulian, dengan cara membantu pembangunan pendapa, rumah juru kunci, sampai membayar tagihan listrik bulanannya.
“Selain batu-batu ini, Pak, yang merupakan peninggalan bersejarah yang mana lagi?” uber saya yang merasa kurang puas mendapati daya tarik utama situs ini ternyata cuma tumpukan batu.
“Ya cuma itu,” jawab beliau dengan bahasa Jawa halus. “Kalau soal payung kuning, itu dari Bali. Baru. Bukan termasuk peninggalan. Begitu juga makam dan pendapa itu.”
Rumornya, itu makam Syeikh Subachir dari Persia. Namun, faktanya? Bahkan Pak Buadi meragukannya. Syeikh Subachir memang benar-benar ada, tetapi tidak berhubungan dengan Candi Watu Tulis. Makam itu bahkan mungkin sebenarnya kosong. Yang ada cuma petilasan Mbah Joyo.
Di dekat makam itu, terdapat dua kolam kecil yang ditegel dengan keramik hitam. Air di sana konon dipercaya ampuh memberi kesembuhan berbagai penyakit. Benar-tidaknya, saya tidak tahu dan tidak tertarik membuktikannya. Karena bagi saya, mending minum es legen, hahaha….
Terlepas dari keserbasederhanaan situs purbakala ini, lokasinya yang adem dan tenang cocok sekali untuk beristirahat sebentar. Jika Anda sedang dalam perjalanan panjang melewati Jalan Raya Prambon, tidak ada salahnya membelokkan mobil atau motor ke Candi Watu Tulis. Setidaknya, untuk berteduh sejenak sambil mengapresiasi kekayaan budaya Indonesia.
– Foto-foto oleh Brahmanto Anindito