Categories
pandangan

Sulitnya Membunuh Radio

Di tengah dominasi televisi yang multimediatik dan internet yang interaktif, radio seperti hidup segan mati pun enggan. Namun, tiada yang ingin media ini mati.

Sulitnya Membunuh Radio

Radio seharusnya sudah lama almarhum, terbunuh oleh televisi yang lebih multimediatik atau internet yang lebih interaktif. Toh maraknya layanan podcast, streaming lagu, dan aplikasi musik terbukti berhasil membuat media yang menyasar hanya ke indra pendengaran ini sedikit demi sedikit kehilangan pendengarnya.

Namun, jika memang radio selemah itu, kenapa stasiun-stasiunnya tidak kunjung berkurang? Kenapa sepanjang programnya masih disesaki iklan? Kenapa produsen mobil otomotif dan mobile phone tidak pernah absen menanamkan fitur Radio FM di produk-produknya?

Ternyata, memang tidak semudah itu membunuh radio. Bahkan bagi orang yang tidak suka bekerja dalam lingkungan yang berisik (sifat khas radio) seperti saya sekalipun!

Hubungan Putus-Nyambung dengan Radio

Radio adalah hiburan utama saya di masa kecil. Salah satunya, saya suka mendengarkan pertandingan sepak bola melalui radio. Saking ekspresifnya sang penyiar, sampai-sampai saya seperti melihat sendiri pertandingan itu. Bahkan ketika saya datang ke stadion (Gelora 10 November) langsung, atau nribun kalau bahasa suporter bola sekarang, ayah saya tetap merasa perlu membawa radio, supaya jelas nama-nama pemain yang sedang membawa bola di lapangan.

Saya juga senang menyimak sandiwara radio, biasanya drama kolosal tentang pendekar. Setiap pekan saya tunggu. Suara tokoh-tokohnya yang bening, bebunyian latarnya yang kreatif membangkitkan imajinasi, serta jalan ceritanya sungguh membuat saya ketagihan. Belakangan, setelah menjadi penulis profesional, saya merasakan benar betapa menulis drama auditory tidaklah mudah.

Jangan salah, dari hasil penelusuran saya sejak beberapa hari lalu, ternyata banyak juga radio yang menyiarkan sandiwara-sandiwara semacam itu. Entah sandiwara silat zaman kerajaan atau drama kekinian. Padahal, di era ’90-an dan awal 2000-an, genre ini sempat punah. Barangkali, karena dianggap tidak laku lagi. Makanya, di masa-masa itu, saya tidak mendengar radio lagi.

Baru ketika menjadi mahasiswa, saya kembali menengok radio. Saya tiup debu-debunya yang sudah menebal. Saya lap. Lalu, saya menyalakannya. Bukan untuk hiburan, kali ini. Seingat saya, saya kembali jadi pendengar setia radio “hanya” untuk meresapi tren terbaru, jokes kekinian, dan informasi-informasi gaul lainnya. Di masa-masa itu, saya memang sedang mencari identitas, hahaha.

Berikutnya, sinyal internet semakin merata dan murah. Saya bisa memperoleh informasi, hiburan, serta “identitas yang hilang” itu cukup dengan bantuan Google dan media sosial (medsos). Saya nyaris mengucapkan selamat tinggal kepada radio, pada periode itu.

Namun, di akhir masa perkuliahan, saya malah magang di Suara Surabaya (SS) FM, stasiun radio terbesar di Jawa Timur, bahkan mungkin di Indonesia. Meskipun saya mengurusi majalahnya, bukan radionya. Tetap saja, supaya tidak jadi anak magang yang plonga-plongo dan buta tentang perusahaan itu, saya harus mendengarkan radio lagi, terutama SS FM.

Periode magang habis, begitu pula hubungan saya dengan radio. Saya tinggalkan begitu saja radio saya. Membiarkannya kembali berdebu. Bahkan sampai rusak pun saya tidak pernah berpikir untuk memperbaikinya.

Tidak ada radio dalam lima atau enam tahun, hidup saya baik-baik saja.

Sampai ketika saya bekerja di perusahaan ketiga. Senior saya menunjuk saya untuk menemaninya siaran di PAS FM, salah satu radio bisnis terkemuka di Indonesia. Aduh! Menjadi pendengar radio saja sudah tidak pernah, sekarang malah disuruh jadi pembicara. Lagi pula, saya ini cenderung pendiam, kenapa malah disuruh cuap-cuap di ruang siaran? Yang benar saja!

Namun lantaran ini “tugas negara”, terpaksa, saya menyalakan lagi radio. Kali ini, melalui ponsel pintar. Dan kali ini, tujuannya untuk mempelajari karakteristik PAS FM serta gaya pembicara-pembicaranya.

Ilmu ini berguna. Karena berikutnya, saya beberapa kali harus tampil di radio untuk mempromosikan buku-buku saya sendiri, baik di radio-radio Surabaya maupun Bandung.

Begitulah hubungan putus-nyambung saya dengan radio. Entah bagaimana ke depannya. Namun, firasat saya mengatakan, saya akan bertemu kembali dengan radio.

Yang Masih Jadi Keunggulan Radio dan Yang Sudah Bukan

Ketika kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dulu, saya mempelajari keunggulan-keunggulan radio. Begitu cepat waktu berlalu. Begitu dinamis kemajuan yang terjadi di bidang media. Ilmu di bangku perkuliahan rasanya sudah banyak yang tidak relevan.

Dulu saja, saya sudah merasa aneh ketika dosen mengatakan radio itu dapat menciptakan theater of mind (imajinasi versi sendiri). Pendengar, contohnya, dalam titik tertentu akan mulai menerka-nerka wajah penyiar favoritnya.

Menurut saya, bukan radio saja yang mampu menciptakan efek samping itu. Semua media pun bisa! Seperti komik, novel, majalah, atau lainnya. Bahkan di media yang “lengkap” seperti televisi pun, tetap ada ruang theater of mind. Kita tetap membayangkan bau-bauan di tempat yang digambarkan oleh televisi, rasa sakit yang dialami seorang tokoh film, atau rasa enak yang dikecap oleh pembawa acara kuliner. Jadi, apa istimewanya theater of mind ala radio ini?

Lalu, ada yang bilang, radio unggul di sifatnya yang dekat dengan khalayak. Mungkin kesan itu timbul karena penyiar radio berbicara layaknya teman yang menyapa dan mengoceh di hadapan kita. Membuat kita seolah-olah tidak sendirian dan kesepian lagi. Namun, bagaimana seandainya ocehan penyiar tidak terdengar seperti teman kita? Masihkah dibilang ini keunggulan radio?

Kesan akrab juga muncul karena biasanya penyiar bersiaran langsung dan radionya bisa ditelepon kapan pun kita ingin menimbrung dalam percakapan. Namun, bagaimana seandainya radio itu siarannya menggunakan rekaman? Faktor kedekatan ini masih berlakukah?

Jangan-jangan, akun medsos justru lebih dekat dengan khalayaknya. Di Twitter, komentar kita bisa dijawab hanya dalam hitungan menit, bahkan detik. Di Live Facebook atau Live YouTube, kita juga dapat aktif berinteraksi dengan “penyiar” dan sesama pendengar/pemirsa. Di Instagram, kita bisa menguntit kegiatan penyiar, ikut berkomentar di foto atau videonya, dan ditanggapi balik oleh sang artis seketika itu juga. Nah, lebih dekat, bukan?

Keunggulan lain yang patut dipertanyakan: radio memiliki jangkauan yang luas, sampai ke pelosok-pelosok. Apalagi kalau radio AM. Barangkali benar, jika dibandingkan dengan majalah, televisi (tanpa relay), atau media lain. Namun, kira-kira, lebih luas mana dengan media-media daring?

Banyak keunggulan radio yang hanya teoretis. Dalam praktiknya, keunggulan-keunggulan itu sudah luntur, bahkan hilang sama sekali, tergerus oleh kemajuan zaman. Namun bagaimanapun, harus diakui, ada beberapa keunggulan radio yang sulit dibantah. Antara lain:

  1. Mudah Didapat. Setiap ponsel, yang kuno sekalipun, dilengkapi dengan fitur radio. Minimal FM. Tinggal colok dengan earphone, kita sudah tersambung dengan stasiun-stasiun radio setempat. Bila Anda menggeluti bidang elektronika, Anda pasti tahu, merakit radio sendiri pun tergolong gampang.
  2. Gratis. Kecuali aksesnya melalui streaming atau radio on demand yang membutuhkan kuota internet, radio menggunakan gelombang ranah publik. Kita tidak perlu membayar apa-apa untuk menikmatinya.
  3. Bisa Disambi. Radio dapat didengarkan tanpa kita harus berfokus kepadanya. Kita bisa menyimak konten radio sambil bersih-bersih, bekerja, menyetir, joging, dan lain-lain. Anda Facebook-an saja mana bisa seleluasa itu?
  4. Praktis. Seorang teman kantor pernah mengungkapkan mengapa dia masih mendengarkan radio. Katanya, “Nggak perlu buang-buang waktu menata lagu, Brahm. Serahkan saja ke penyiarnya. Biar dia yang repot memilihkan lagu-lagu enak. Kita tinggal mendengarkan.”

Boleh jadi, inilah keunggulan-keunggulan yang membuat produsen tetap yakin radio memiliki pendengar fanatik. Sehingga, mereka tetap mau memasang iklan di radio.

Sayang, saya tidak memegang data teraktual mengenai berapa pendengar radio di Indonesia dari tahun ke tahun. Begitu pula durasi mereka menyimak radio. Cenderung stabilkah? Menurunkah? Atau justru bertambah?

Yang jelas, menurut saya, perilaku pendengar radio pasti berubah. Contoh paling sederhana, kalau dulu mereka request lagu atau titip salam dengan cara mendatangi studio langsung atau menelepon, sekarang cukup menulis di akun medsos radio atau WhatsApp (WA). Dulu, menikmati radio di gelombang FM, sekarang streaming. Dan sebagainya.

Saya jadi ingat wawancara saya dengan Pak Errol Jonathans, sesepuh di belantika radio Indonesia. Kami bicara utamanya mengenai konvergensi media. Wawancara itu terjadi tahun 2007, tetapi visi Pak Errol sudah sejauh itu. Luar biasa.

Memang, selama pengelola radio melek dengan pergeseran cara orang menikmati radio, saya yakin, radio akan terus berjaya. Sebab, meskipun tampak kuno, radio bukanlah media kaleng-kaleng. Hingga hari ini, televisi tak sanggup membunuhnya. Internet pun tak mampu membenamkannya.

Lagi pula, siapa yang tega membunuh atau membenamkan radio? Terlalu banyak kenangan tersimpan di sana. Dan siapapun tahu, kita semua mengandalkan kenangan untuk bisa bertahan di masa tua kelak.

Selamat Hari Radio se-Dunia bagi praktisi dan penikmatnya. Jayalah selalu di udara!

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

4 replies on “Sulitnya Membunuh Radio”

Saya sejak dulu pendengar radio. Tidak pernah jeda. Apalagi saat ngantor di Pucang. Datang, sebelum meletakkan tas menyetel radio dulu. Baru duduk. Dan seharian menyala sampai pulang. Sekarang juga. Mulai bangun tidur sampai Maghribi. Ya, kecuali keluar kantor.

Tapi jangan tanya kalau televisi. Sudah belasan tahun sejak Zidan mulai sekolah SD, saya tidak nonton TV. Sekarang nonton lagi yakni ILC. Tapi lihatnya lewat rekaman Youtube. Hehehe.

Btw, kamu kok masih kuat nulis panjang-pan kayak gini. Saya, entah malas atau hal lain, tidak melakukannya. Lebih baik ngedit video dapat duit. Hehehe.

Lhaaaa ini, salah satu orang yang “menjerumuskan” saya ke dunia radio akhirnya muncul 😀

Kuat, dong, Pak. Masa cuma 1.200 kata nggak kuat? Soal duit, rezeki sudah ada yang atur, hehehe….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index