Untuk kepentingan riset novel terbaru, saya mengunjungi Candi Barong. Perjalanannya tidak mulus. Kanan-kiri adalah hutan jati, mahoni, sonokeling, dan entah apa lagi. Sementara jalannya masih berupa makadam. Ada jalan aspal, tetapi sempit, sehingga bila berpapasan dengan mobil lain, salah satunya harus minggir dulu.
Jalan itu naik-turun dengan kelokan-kelokan yang lumayan tajam. Tidak mengerikan, tetapi cukup melelahkan, bahkan bagi saya yang hanya sebagai penumpang.
Padahal, kalau diintip di Google Maps, seharusnya Candi Barong gampang ditemukan. Letak candi Hindu ini dekat dengan Keraton Ratu Boko. Bangunan andesit yang diperkirakan dari abad 9 atau 10 ini berada di Dusun Candisari, Desa Sambirejo, Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi DIY.
Sebenarnya, mudah untuk mencapai candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno ini. Cuma karena sopir saya kurang familier, jadi kami sempat menyasar-nyasar dulu. Entah yang kurang gaul itu sopirnya atau Candi Barongnya.
Mau menggunakan Bus TransJogja pun bisa. Ambillah Jurusan 1A atau 1B dan turun di Halte Prambanan. Tinggal sedikit lagi. Tetapi jangan jalan kaki. Saran saya, lanjutkan dengan ojek atau taksi. Secara arah, dari Prambanan, langsung saja ke timur. Setelah sampai di pertigaan Pasar Piyungan, beloklah ke kanan (selatan). Ikuti saja petunjuk-petunjuk jalan di sana.
Barong, Candi yang Simetris
Dari luar, Candi Barong tampak seperti benteng kokoh yang sulit dimasuki. Saya sempat memutarinya sebelum menemukan satu-satunya tangga untuk masuk di sisi barat.
Struktur Candi Barong ternyata lahan berundak tiga. Di teras pertama dan kedua, saya tidak melihat bangunan apa-apa. Hanya ada sisa-sisa umpak atau alas dari batu.
Teras kedua adalah area terbuka yang cukup luas. Terdapat beberapa benda dari batu berbentuk segi delapan. Diperkirakan, fungsinya sebagai fondasi bangunan pendopo.
Untuk memasuki teras tertinggi atau teras ketiga, saya harus melewati gerbang paduraksa (gapura beratap) kecil yang mengapit tangga. Di teras yang dianggap paling suci inilah saya baru menemukan bangunan-bangunan.
Ada sepasang candi di sana. Masing-masing berukuran sekitar 8,18 m × 8,18 m, dengan tinggi 9,05 m. Dua-duanya tidak mempunyai pintu dan ruang dalam. Sehingga kalau ada upacara pemujaan, pasti itu dilakukan di pelataran luar.
Di setiap relung candi yang simetris itu, Anda bisa melihat hiasan yang mirip barongan (raksasa bertaring), yaitu Kala (dewa penguasa waktu) dan Makara (binatang laut mitologi Hindu berkepala gajah, buaya, atau rusa, dan berekor ikan atau naga). Inilah alasan penamaan Candi Barong.
Dekorasinya berupa relief Ghana dan Shanka bersayap. Ghana adalah manusia kerdil yang menyangga relung-relung candi, dan Shanka adalah simbol Dewa Wisnu.
Barong, Candi yang Sinkretis
Sesuai arca-arca yang ditemukan, candi ini kemungkinan besar memang dibangun untuk memuja Wisnu (dewa pemelihara) dan Sri (dewi padi dan kesuburan).
Ini agak menyeleneh, karena candi-candi Hindu di Jawa biasanya dibangun untuk pemujaan Siwa. Meski begitu, Candi Barong masih ada kaitannya juga dengan Dewa Siwa. Sebagai contoh, saya melihat relief Kala (putra Siwa), Ghana (pelayan Siwa), dan katanya ditemukan pula arca Ganesha (putra Siwa yang juga dewa pelindung dan pengetahuan).
Bagaimanapun, Candi Barong bisa dibilang beraliran sinkretisme, karena sifatnya menggabung-gabungkan dengan kepercayaan setempat. Salah satunya, itu tadi, pemujaan terhadap Dewi Sri.
Walaupun ada yang menyamakan Sri dengan Laksmi, pasangan atau sakti dari Wisnu, tetapi Dewi Sri ini sebenarnya khas nusantara. Setahu saya, ia hanya dipuja di kultur Jawa, Sunda, dan Bali. Di negara asal Hindu, India, dewi padi ini tak dikenal.
Hal tidak umum lain seputar Candi Barong adalah strukturnya yang berundak dengan pusat pemujaan di bagian paling timur. Asal tahu saja, candi-candi Mataram Kuno atau Medang Jawa Tengah umumnya meletakkan bangunan utama di pusat kompleks.
Dari era tersebut, hanya Candi Ijo yang memiliki karakteristik serupa. Yaitu punden berundak yang ditengarai sebagai gaya arsitektur candi asli Indonesia.
Pemugaran Candi Barong
Pertama ditemukan pada 1913, Candi Barong hanya berupa puing-puing yang berserakan. Seorang Belanda tanpa sengaja menemukannya ketika ia hendak memperluas perkebunan tebu.
Pemerintah lalu memugar dua candi utamanya pada 1987-1992. Setelah itu, dilanjutkan dengan pemugaran talud (dinding penahan tanah) dan pagar.
Selama pemugaran, ditemukan dua arca Dewa Wisnu dan dua arca Dewi Sri yang masing-masingnya dalam posisi bersila. Juga satu arca Ganesha, dua arca yang belum rampung, dan beberapa peripih (wadah) kotak terbuat dari batu andesit dan batu putih.
Dalam salah satu peripih, terdapat lembaran-lembaran perak dan emas dengan tulisan yang sudah tidak terbaca. Di sekitar peripih, ditemukan pula mangkuk keramik, mata panah, guci, dan sendok.
Sayang, semua itu sudah disimpan di Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala demi alasan keamanan dan pelestarian. Yang bisa dilihat di situs wisata Candi Barong tinggal bangunan candi kembarnya.
Sekitar Candi Barong
Kata orang, Candi Barong akan terlihat indah saat matahari tenggelam. Kebetulan, saya datang ke sana siang hari menjelang sore. Tetapi karena dikejar jadwal kereta, saya pun tidak terlalu ambil pusing dengan tergelincirnya mentari.
Boro-boro mengurusi sunset, untuk kepentingan riset saja waktunya terlalu mepet. Sudah begitu, mendung dan gerimis pula! Membuat lensa kamera saya basah, buram, dan sedikit mengembun.
Tidak ada tempat berteduh di Candi Barong. Melipir ke bawah paduraksa pun ternyata masih kena cipratan hujan. Dan selain air, ancaman lain ialah petir.
Terletak di Bukit Batur Agung, Candi Barong berdiri 199,27 meter di atas permukaan laut. Posisi yang tinggi dan tanah yang lapang itulah yang membuat saya khawatir jadi sasaran empuk petir.
Saya pun buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Saya merekam Candi Barong sebanyak-banyaknya dengan kamera dan daya ingat saya.
Hujan menderas. Saya pun memutuskan untuk kembali ke mobil dan cabut. Artinya, kunjungan ke Candi Barong ini cuma sekitar 15 menit! Untung, masuk ke Candi Barong ini gratis. Coba kalau ditiketkan dan semahal Borobudur, Prambanan, atau Keraton Boko, kan rugi!
Oh ya, menurut sopir saya, sebenarnya di sekitar Candi Barong, masih ada Candi Dawangsari dan Candi Sumberwatu. Candi Dawangsari hanya berjarak 100 meter. Sayangnya, candi itu ternyata hanya berupa reruntuhan. Banyak bagian candi yang hilang.
Namun yang menarik, Dawangsari adalah candi Buddha. Dua candi berbeda kepercayaan dan sezaman berada dalam satu kompleks. Ini menandakan toleransi antarumat beragama waktu itu patut diacungi jempol, bukan?
Candi Barong juga dekat dengan Tebing Breksi, tempat wisata bekas penambangan yang instagrammable. Sopir saya menawari untuk mampir sekalian. Namun karena sedang terburu-buru, saya lewatkan penawaran itu.
– Photos by Brahmanto