Seorang klien mengajak saya berdiskusi tentang calon filmnya. Menarik sekali project-nya itu. Rencananya, saya akan disewa sebagai penulis skenarionya. Secara halus, saya digiring untuk terus mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga ke sana. Saya menurutinya, meski belum dibayar apa-apa.
Setelah itu, ciluk baaa! Si calon klien hilang. Tidak ada kabar. Saya mencoba menghubungi, dia bilang masih berpikir. Namun mengamati status-statusnya di Facebook dan situsnya, kemungkinan besar dia batal menggunakan jasa penulisan saya. Ah, itu sudah biasa. Saya tidak bisa memaksanya untuk teken kontrak dengan saya. Tapi, yang luar biasa, tanpa permisi, ternyata dia langsung melobi rekanan filmmaker saya! Wow….
Sesudah saya mondar-mandir mencari rekanan yang kompeten, meminta-minta harga murah demi calon klien satu ini, lalu menyodorkan hasil perburuan dua minggu saya buatnya, dia malah melangkahi saya. Mungkin dia mau potong kompas agar biayanya lebih murah.
Untung saja, rekanan saya orangnya baik. Dia meng-SMS saya bahwa si calon klien baru saja menghubunginya dan menanyakan segalanya. Rekanan saya itu mengingatkan, “Sudahlah, nggak usah diterusin, Brahm. Ada gejala-gejala orang ini nggak ‘beres’. Tenang, aku juga males jawab pertanyaan-pertanyaannya kok. Aku sendiri sudah berpengalaman dengan orang-orang semacam ini.”
Beberapa bulan kemudian, si calon klien menghubungi saya kembali. Berbagai alasan dia kemukakan untuk menjelaskan kenapa dia putus kontak dengan saya. Setelah basa-basi itu, dia pun mengutarakan maksud yang sebenarnya. Dia ingin saya menggarap project penulisan bukunya. Tapi, jujur, saya sedang sibuk. Dan terlanjur tidak tertarik padanya. Maka dengan berusaha tetap santun, saya memberitahunya untuk antri sampai akhir tahun. Ini sebenarnya hanyalah salah satu bentuk penolakan yang halus, hehehe.
Lain kasus, lain waktu, klien saya yang lain juga mengecewakan saya. Dia ingkar janji soal pelunasan. Yang mestinya dibayar tanggal 16, digeser secara sepihak menjadi tanggal 24. Saya kecewa, tentu saja. Namun dengan enteng saya mengatakan, “Ya sudah, Pak, tidak apa-apa. Semoga rezekinya dilancarkan.”
Nah lo, kenapa perlakuan saya bisa beda begitu antara klien A dengan klien B? Mengapa kita sangat mudah memaafkan si A, bahkan selalu membelanya bila ada yang mengkritik? Sebaliknya, mengapa kita mudah sekali marah pada si B hanya karena kesalahan kecilnya?
Jawabannya adalah karena Tabungan Emosi yang berbeda, kawan. Pernahkah Anda mendengar teori ini? Mirip bank, di dalam hati setiap manusia sebetulnya tersimpan rekening emosi dari semua orang yang dikenalnya.
Ketika Sandra berbuat baik pada Yuli, dia langsung mencatat saldo positif pada tabungannya. Saat Yuli melihat atau mendengar Sandra berbuat baik pada orang lain, dia mencatatnya lagi. Perbuatan baik berkali-kali akan membuat saldo Sandra menumpuk positif di bank Yuli. Tabungan ini bahkan bisa pula bertambah bila orang-orang lain membicarakan kebaikan Sandra. Sehingga, suatu saat Sandra tidak menepati janji pada Yuli, dengan mudah Yuli menganggap Sandra sekadar khilaf, bukannya sengaja ingkar janji.
Sebaliknya, orang yang Anda anggap egois, sering berkelakuan buruk pada Anda atau orang lain, Anda catat saldonya negatif. Sehingga walaupun suatu saat dia memberi Anda kado ulang tahun, tetap saja Anda tidak menyukainya.
Sangat masuk akal, bukan?
Kalau saldo Anda positif pada bank-bank orang lain, apapun yang Anda lakukan akan dinilai positif pula. Sekali-kali Anda berbuat kesalahan, orang akan mudah memaafkan, bahkan membela Anda. Dengan tabungan positif yang banyak, Anda akan ditolong orang saat kesusahan, dibantu saat menderita, dibeli walau harga Anda lebih mahal, dan sebagainya. Ketika orang yang dianggap baik berkata sinis, orang-orang akan menganggapnya lucu. Sementara jika si rese yang berkata sinis, orang-orang akan menganggap bahwa dia memang jahat.
Saya kira, teori ini berlaku universal. Berlaku untuk teman dengan teman, atasan dengan bawahan, anak dengan orangtua, guru dengan murid, dosen dengan dosen, semuanya! Termasuk kita dengan klien kita, sebagaimana kisah nyata saya di awal tulisan.
Jadi, milikilah tabungan positif di sebanyak mungkin bank emosi orang lain, insya Allah kita akan lebih sering mengalami keberuntungan. Itu pula yang dianjurkan agama, bukan? 🙂
One reply on “Tabungan Emosi, Alasan di Balik Perlakuan terhadap Orang Lain”
Thanks for sharing your thoughts on emosi. Regards
direzione recently posted..direzione