Assalamualaikum, Brahm!
Kalau kamu membaca tulisan ini, berarti kemungkinan kamu sedang sakit gigi. Benar, ya? Kalau benar, yang sabar. Yang tenang. Ingat, kamu pernah beberapa kali mengalaminya di masa lalu.
Ketika surat ini ditulis, kamu baru sembuh dari sakit gigi yang pertama kalinya sejak kamu dewasa. Waktu itu, kamu juga sudah lupa kapan terakhir sakit gigi. Barangkali ketika SMA dulu. Aku ceritakan ulang sedikit, ya, kronologinya. Eh, masih kuat membaca, kan? Ayolah, cuma sedikit, kok….
Tanda-tanda sakit ini sebenarnya sudah terasa saat kamu mudik ke Bandung akhir Juni 2018. Di sana, gigimu sering ngilu, lebih-lebih ketika bersentuhan dengan dinginnya air. Namun, sakit itu tidak sampai mengganggu. Jadi kamu bisa mengabaikannya tanpa obat.
Setibanya di Surabaya, tepatnya saat kamu mau lanjut jalan-jalan ke Bojonegoro, sakit itu semakin mengganggu. Kamu mulai memakai obat.
Di tengah-tengah kesakitanmu itu, kamu sempat menulis surat ini untuk dirimu di masa depan, kalau-kalau tertimpa musibah sakit gigi lagi. Ada tujuh pesan, Brahm…
(1) Jangan Meremehkan Gejala Sakit Gigi
Kalau gigi terasa sakit, jelas bukan selalu karena jarang sikat gigi. Tidak sesederhana itu. Jadi, jangan menyepelekan dengan hanya minum Oskadon, Ponstan, atau sikat gigi sampai lima kali dalam sehari.
Namun mentang-mentang sudah belasan tahun tidak sakit gigi, kamu memandang sepele nyeri di geraham kananmu. Usaha pertamamu hanya membeli Sensodyne, pasta gigi khusus gigi sensitif. Ya, kamu berpikir ini hanya akibat cuaca yang dingin. Mengingat nyerinya mulai terasa di Bandung.
Udara di sana kurang-lebih seperti di Surabaya, jadi masih bisa kamu tahan. Tetapi tidak dengan airnya. Terutama buat kumur-kumur.
Kalau memang sesepele itu, kenapa dua minggu lebih sakitnya tidak kunjung reda? Sesampainya di Surabaya, kamu pun membeli Ponstan 500 mg. Tidak berhasil, beli lagi Scanaflam 50 mg (aduh, yang 500 mg saja kurang ampuh, ini 50 mg?). Lalu, balik lagi membeli Ponstan. Mungkin Rp100.000 habis buat beli obat-obatan atas inisiatif pribadi ini.
(2) Refleksologi Tidak Mempan, Karena…
Obat kurang ampuh, kamu juga berikhtiar dengan melakukan swapijat refleksologi. Sesuai text book, titik-titik pijatnya adalah ubun-ubun, tengkuk kanan dan kiri, atas telinga, rahang, selaput antara jari telunjuk dan jempol tangan, serta jempol kaki.
Timbul nyeri seperti kesetrum di gigi yang bermasalah ketika kamu tekan beberapa titik itu! Mungkin itu tanda-tanda sarafnya memang terhubung. Faktanya, setelah sesi terapi itu, sakitnya mereda. Namun, itu sepertinya bukan berkat refleksologi saja. Karena kamu masih meminum obat-obatan.
Setiap gigi cekot-cekot, kamu lakukan terapi swapijat 10-15 menit. Berhasil!
Namun subuh-subuh bangun tidur, gigi kembali nyeri. Kamu segera ambil posisi duduk untuk terapi refleksologi. Celakanya, titik-titik itu sekarang terasa sakit kalau disentuh. Barangkali memar karena sering ditekan-tekan kemarin. Waduh!
Sedihnya lagi, terapi itu sudah tidak mempan. Dampak peredam nyerinya sudah tidak sebagus kemarin. Bahkan sakit itu semakin intens. Kamu pun menghentikan terapi pijat ini. Dugaanmu, ini bukan masalah saraf atau peredaran darah. Ini pasti ada yang tidak beres di luar itu, meskipun kamu belum tahu apa.
(3) Langsung Saja ke Klinik atau Rumah Sakit
Dengan gigi nyut-nyutan, kamu akhirnya pergi ke puskesmas. Masuk ke sana, si dokter enak saja mengetuk-ngetuk gerahammu yang bermasalah untuk mencari tahu persis gigi mana yang sakit. Hahahasyeeeem…
Vonis pun langsung turun, “Tambalannya bermasalah, Pak. Mau dibongkar langsung atau diobati dulu?”
Kamu memilih diobati dulu. Karena takutnya, nyeri tambah menjadi-jadi kalau dalam keadaan sakit, gigi diulik-ulik, dibor, atau dipermak. Di ruang dokter, mungkin tidak masalah. Karena sambil mengebor, ada gas biusnya. Tetapi beberapa menit atau jam setelah itu?
Seperti biasa, dokter puskesmas “hanya” membekalimu dengan serenteng obat pereda sakit (Asam Mefenamat 500 mg) dan antibiotik untuk meredakan bengkak (Amoxicillin 500 mg). Hanya cukup untuk tiga hari. “Hari Senin balik sini, ya, Pak,” kata Mas Dokter Gigi.
Tiga hari kemudian, kamu kembali dengan nyeri yang lumayan mereda. Dokter yang sama pun membongkar tambalanmu. Dia takjub, “Masih pakai amalgam? Lawas banget ini!” Amalgam adalah tambalan logam berwarna abu-abu yang ternyata tidak baik bagi kesehatan karena mengandung merkuri.
“Ya, namanya juga tambalan sejak SMA,” katamu. “Kalau di sini, memangnya pakai apa, Dok?”
“Laser!” jawabnya mantap. “Nanti hasilnya akan sewarna dengan gigi.”
Oke, sip! Kamu pun pulang beranjak dari kursi dokter gigi dalam kondisi tambalan sudah dibongkar, tetapi belum ditambal ulang. Hanya dikasih kapas yang katanya suruh buka-tutup. Kamu agak ragu. Dengan tambalan saja terasa nyeri, apalagi dalam keadaan polosan begini!
Tetapi, “Kalau sudah dibongkar begitu, gigi sudah enteng, kok, Mas!” kata dokter yang lain, mencoba menghiburmu. Kamu memang tidak merasakan sakit waktu itu. Jadi, kamu mengangguk-angguk saja. Oh, lugunya….
(4) Bersiaplah untuk Berpuasa
Ternyata, kekhawatiranmu terbukti. Terutama setelah tiba jam makan siang. Ketika mengunyah, geraham kanan atas dan bawah bertabrakan. Tuuuung… ngilu langsung terasa sampai ubun-ubun. Membuat air mata spontan keluar.
Kampret!
Kamu langsung kumur-kumur untuk menghilangkan sisa makanan yang terjebak di sana dan menelan obat pereda nyeri. Makan siang yang menunya empuk-empuk itu, yakni nasi pulen, dadar jagung, dan sayur bayam, tidak kamu sentuh lagi. Padahal, kamu makan baru seperempat porsi.
Berikutnya, kamu harus menahan rasa lapar. Puasa! Menumu jadi serbabubur. Itu pun lauknya tidak bisa yang keras. Karena tahu goreng pun mampu menciptakan penderitaan bagimu. Lauk seperti itu harus diblender. Rasanya memang jadi amburadul, tetapi bagaimana lagi?
Kamu juga rutin membeli jus buah yang manis. Sewaktu-waktu lapar menyerang, kamu tinggal sedot. Lumayan mengatasi lapar.
(5) Biarkan Gas Infeksi di Gigi Keluar
Ada kesalahpahaman tentang buka-tutup kapas sebagai penambal sementara gigi. Kamu pikir, sebisa mungkin kapas terus dipakai, supaya lubang tidak kemasukan apa-apa. Setiap habis makan dan gosok gigi, kapas pun kamu ganti yang baru.
Tetapi ternyata, kapas itu dianjurkan sesering mungkin dilepas, terutama ketika akan tidur. Sebab, tujuannya supaya gas yang dihasilkan dari infeksi gigi bisa keluar. Kamu tidak tahu bagaimana penjelasan ilmiahnya dan tidak sempat menanyakannya, karena kamu sibuk mengadukan nyeri yang semakin menjadi-jadi ke dokter, sewaktu balik ke puskesmas.
“Katanya, kalau sudah dibuka tambalannya, jadi enteng. Yang ada tambah cekot-cekot, Dok!” protesmu ke dokter yang kali ini perempuan itu.
Dokter itu pun mengatakan akan memberikan obat pereda nyeri lagi. Dia belum bisa menambal, karena gigimu masih sakit. Sementara itu, kamu kembali diminta menambal dengan kapas.
Kamu menolak. Bukan apa-apa. Kamu bosan tiga hari makan bubur dan mengunyah dengan gigi sisi kiri terus.
Akhirnya, gigimu tetap ditambal dengan kapas yang diberi obat luar. Dari rasanya yang pedas dan aromanya, sepertinya bahannya tembakau. Lalu, bagian atasnya ditambal sementara.
Setelah itu, kamu dirujuk ke Rumah Sakit Umum (RSU) Haji. Tujuannya untuk dirontgen, sebagai bahan untuk memutuskan tindakan medis yang lebih akurat.
(6) Siapkan Fisik dan Mental, ke Dokter Gigi Tak Cuma Sekali
Di RSU Haji, kamu menjujuk Unit Gigi dan Mulut. Dokter di sana menyarankan gigimu difoto di Instalasi Radiologi dulu. Namun karena unitnya sudah tutup siang itu, kamu kembali datang keesokan paginya.
Sayang, pagi itu, alatnya sedang rusak. Jadi kamu tidak foto panoramik (yang memperlihatkan gigi secara keseluruhan). Hanya foto periapikal yang memotret sisi geraham kanan. Hasilnya bisa diambil sekitar 10 menit kemudian.
Foto seukuran 3 x 4 cm itu kemudian kamu bawa kembali ke bagian Klinik Gigi. Vonisnya, gerahammu masih bisa dirawat. Tidak perlu dicabut.
Tambalan sementara dari puskesmas pun dibongkar. Kapasnya diganti, obat tembakaunya diisi ulang, lalu ditutup kembali dengan tambalan sementara yang baru. Prosesnya hanya sekitar satu menit.
“Hari Jumat balik lagi, ya, Pak?” kata Bu Dokter.
(7) Kenali Hal-hal Yang Bisa Menghancurkan Tambalan Sementara
Sepulang dari RSU Haji, gigimu terasa enteng. Alhamdulillah, tidak sakit sama sekali, padahal kamu sudah berhenti mengonsumsi obat pereda nyeri. Jadi, malamnya, kamu enak saja makan nasi dan mi hangat. Bukan bubur lagi… hore!
Namun sewaktu enak-enak bersantap malam, tiba-tiba rasa mi berubah. Seperti lebih pedas dan ada sensasi tembakaunya. Juga terasa kerikil-kerikilnya. Apakah berasnya berpasir? Mustahil! Ini tahun kapan, kok, masih ada saja beras berkerikil?
Perasaanmu tidak enak. Maka sehabis makan, kamu langsung pergi ke kamar mandi untuk mengecek tambalan di depan cermin.
Kekhawatiranmu terbukti, tambalan itu memang hancur! Jadi, pedas dan sensasi tembakau tadi pasti dari obat yang bocor. Sedangkan kerikil itu adalah gerusan material tambalan.
Setelah kamu berkumur-kumur dan menyikat gigi, tampak bahwa tambalan itu tidak hancur semuanya. Masih ada “pulau” kecil di sana. Karena tidak ada rasa sakit, kamu biarkan saja begitu.
Namun, kamu menyesal sudah sok-sokan mengunyah dengan geraham kanan. Apalagi mi dan nasinya panas berkepul-kepul. Ternyata, tambalan sementara gigi dapat hancur kalau dipaksakan mengunyah makanan yang panas.
Sementara, itu saja catatan buatmu. Sebab, kejadian-kejadian berikutnya, kita sudah sama-sama tahu. Gigimu akhirnya ditambal permanen, dan dua minggu setelah itu kamu sudah lupa lagi rasanya sakit gigi.
Tetapi tolong, ingat baik-baik ketujuh pesan ini.
Salam sehat,
dari dirimu di masa lalu