Kata para pakar marketing, konsumen membeli lebih karena emosinya, bukan lantaran logikanya. Benarkah begitu? Karena saya yakin, saya tidak seperti itu. Selalu ada alasan logis di balik pembelian-pembelian yang saya lakukan. Soal produk telepon seluler atau ponsel, misalnya.
2002: Nokia 3350
Saya membeli produk ini karena merupakan merek terbaik saat itu. Awalnya, saya memenangkan nomor Mentari. Waktu itu, saya mendapat undangan perayaan HUT Radio JJ FM Surabaya. Ada doorprize, dan nomor undian saya nyantol. Saya pun mendapatkan paket nomor perdana Indosat (yang waktu itu harganya 250.000) di atas panggung, langsung dari tangan pembawa acaranya, Tamara Geraldine.
Punya nomor GSM tetapi ponsel belum ada, saya cengar-cengir. Dalam hati, “Biarkan ini jadi benda kenangan saja.” Namun begitu tahu itu, ayah saya malah menawari untuk membelikan ponsel.
Saya sebenarnya menampik. Benar-benar menolak, karena tidak mau direpotkan dengan ponsel dan “kewajiban” isi pulsa tiap bulan. Ah, seandainya saya tahu kalau 15 tahun kemudian ponsel sudah bisa menggantikan komputer, saya pasti tidak selugu itu menolak.
Untungnya, ayah saya bersikeras dan langsung mengajak saya ke toko ponsel Erafone. Katanya, biar saya mudah dihubungi kalau pulang malam. Ya sudahlah. Resmilah saya mulai berponsel sejak 2002. Ponsel pertama itu adalah Nokia!
Dan tahukah Anda, nomor Mentari saya yang dari artis Tamara Geraldine itu sampai sekarang masih aktif saya gunakan.
2005: Sony Ericsson K300i
Beli ponsel ini sekadar biar beda, karena teman kuliah setahu saya tidak ada yang pakai. Ponsel mereka bagus-bagus. Saya tidak mau kalah. Saya cari yang juga bagus, tidak sama, tetapi murah. Sony Ericsson tipe ini pun saya bawa pulang.
2009: ZTE Kompas-Flexi
Dapat hadiah ponsel CDMA ini dari Kompasiana, karena saya juara satu lomba blog. Saya sempat memakainya, tetapi hanya beberapa hari, karena saya malas harus mengantongi dua ponsel (GSM dan CDMA) terus.
2009: Ivio-Indosat
Saya kurang tahu apakah ini ponsel lokal atau produk Cina. Yang jelas, saya membelinya, karena ini satu-satunya ponsel dual yang hibrid GSM-CDMA saat itu. Kalau ponsel dual yang GSM-GSM, jangan tanya, banyak sekali!
Saya benar-benar mendambakan ponsel hibrid untuk mengawinkan kartu Mentari dan Flexi saya. Namun, saya tunggu sampai Lebaran Kuda pun merek-merek global tidak ada yang merilis dual GSM-CDMA ini, entah mengapa. Jadi, saya membeli merek kasta kedua (atau ketiga?) ini saja. Yang penting, saya akhirnya bisa pergi ke kantor atau ke mana-mana dengan satu ponsel saja.
2011 November: Samsung Galaxy Y/Galaxy Young
Sudah tahun 2011 pun belum ada ponsel merek global yang mengeluarkan produk hibrid GSM-CDMA. Padahal tombol on/off di ponsel Ivio saya sudah rusak, dan casnya yang unik itu juga tidak berfungsi.
Puncaknya adalah pada hari-hari pernikahan saya, ponsel itu kehabisan daya dan mati. Saya terpaksa berbulan madu di Hotel Panghegar Bandung dengan ponsel candy bar pinjaman Om Untung, almarhum paman saya.
Sampai Surabaya, saya langsung beli ponsel baru. Keliling dari mal ke mal bersama istri saya, ponsel hibrid yang diidam-idamkan benar-benar tidak ada. Akhirnya, daripada tidak pegang ponsel, belilah produk global: Samsung. Tetapi yang termurah, karena bujetnya terbatas, hehehe. Ini ponsel dengan slot kartu SIM tunggal. Jadi, saya terpaksa membawa dua ponsel ke mana-mana: Samsung ini dan Kompas-Flexi (lagi).
2015 Maret: Nexian Journey1
Ini ponsel lokal, tetapi rekanan resmi Google untuk memperkenalkan produk Android One (dengan OS Android Lollipop/5.0 yang bisa diperbarui tiap ada rilis terbaru). Ponsel dual, tetapi bukan GSM-CDMA.
Namun, lantaran Flexi saat itu sudah menjadi GSM (Kartu As), saya sudah tidak berambisi untuk mencari ponsel hibrid lagi. Sekarang, meskipun dua nomor, ke mana-mana cukup bawa satu ponsel.
Saya sangat senang dengan ponsel ini. Karena versi Androidnya terkini, saya dapat mempelajari fitur-fitur terbaru Android. Sayang, kualitas peranti lunak maupun kerasnya kurang. Namun dengan harga di bawah satu juta, lumayanlah! Parameter ponsel lumayan saya saat itu sederhana, yaitu kompatibel untuk gim yang lumayan berat seperti Mortal Kombat.
Selang sebulan memakainya, saya membelikan istri ponsel tipe yang sama. Masa cuma kaus yang couple? Ponsel juga, dong!
2016 Oktober: Infinix Hot 3 Max
Saat sinyal 4G mulai merajalela, barulah saya sadar, ternyata Nexian Journey1 milik kami mentok di 3G! Saya pun membeli Infinix. Spek merek Cina ini lebih baik: 4G, RAM 2 GB, dan baterai 3.000 mAh. Kameranya 13 + 5 MP (kayaknya 13 MP yang abal-abal, sih), tetapi cukuplah buat kamera cadangan untuk vlogging Homerie. Lumayan awet. Sejak 2019, ponselnya saya hibahkan ke istri.
2018 Juli: Samsung Galaxy J7
Di antara beberapa merek yang pernah saya jajal, harus diakui, yang paling memuaskan adalah Samsung. Baik produk maupun service center-nya. Jadi, saya pun tidak ragu untuk membeli merek dari Korea ini lagi.
Galaxy J7 berkamera 13 + 5 MP (kalau ini MP yang sesungguhnya), RAM 2 GB, Android 8.1, baterai 3.300 mAh. Cocok untuk mendampingi kamera Canon IXUS-185 untuk memproduksi vlog-vlog kelas pemula.
Per 2021, ponsel ini saya hibahkan ke papa. Masih bagus. Hanya, setelah beberapa tahun dipegang papa, beberapa tombolnya tidak berfungsi.
Saya selalu merawat ponsel dengan baik. Namun melihat daftar riwayat kepemilikan ponsel yang tidak pernah mencapai lima tahun, ganti ponsel sepertinya adalah keniscayaan. Apalagi sebentar lagi era 5G, sudah pasti harus beli ponsel lagi yang support 5G!
Entah merek yang mana lagi yang akan menyertai kehidupan personal dan profesional saya. Namun, rasanya saya tidak akan menggunakan produk-produk Cina lagi, terutama bila mereka jadi kompak menggunakan OS Hongmeng akibat perang dagang Amerika-Cina. Bukan rasis, masalahnya saya sudah terbiasa dengan Android saja.
Yang jelas, sebagaimana produk fesyen atau otomotif, saya membeli ponsel bukan karena gengsi atau tren. Saya selalu berfokus pada fungsi. Jadi, rasanya, pembelian-pembelian saya selalu dapat dipertanggungjawabkan secara logika.