- Judul: Sudut Mati
- Genre: Novel thriller korporasi
- Pengarang: Tsugaeda
- Editor: Pratiwi Utami, Ika Yuliana Kurniasih, Adham T. Fusama
- Penerbit: Bentang Pustaka
- Tebal: viii + 344 halaman
- Terbitan: 2015
Seorang teman pernah berpesan, “Kalau saudara kandungmu banyak yang laki-laki dan sudah pada bisa cari duit, usahakan jangan sering-sering ketemu. Atau, kalau terpaksa harus ngumpul di rumah, sembunyikan pisau dan barang-barang tajam lainnya. Karena kalau nggak gitu, mereka bakal bacok-bacokan di rumah.”
Barangkali, teman saya itu cuma bercanda. Tapi, barangkali juga tidak. Kita tahu, status saudara kandung pun bukan jaminan hidup rukun. Bisa saja saudara yang satu merasa paling kuat, yang satu merasa paling cerdas, yang satu merasa paling benar. Awalnya, perang dingin. Lama-lama, perang fisik. Inilah yang juga saya temukan di Sudut Mati.
Novel Sudut Mati berkisah tentang perseteruan dua kerajaan bisnis di Jakarta pada 2013. Sigit Prayogo, konglomerat Grup Prayogo, memiliki empat anak. Tiga yang pertama adalah laki-laki: Titok Prayogo (33 tahun), Teno Prayogo (30 tahun), dan Titan Prayogo (26 tahun). Yang satu merasa paling kuat, yang satu merasa paling cerdas, yang satunya lagi merasa paling benar. Awal-awalnya saja mereka akur. Berikutnya, miriplah dengan wejangan teman saya tadi.
Padahal, dalam Sudut Mati, Prayogo mempunyai rival korporat yang tangguh, Ares Inco (PT Ares Bhineka Utama). Grup yang didirikan oleh Jose Mangun ini sudah bercokol sejak Orba, lalu tenggelam pada era reformasi dan krisis moneter. Namun, mereka berhasil bangkit kembali. Dan siap melumat Prayogo.
Sudah tahu hubungan kedua grup selalu buruk, Sigit malah besanan dengan Nando, bos besar Ares Inco. Tiara Prayogo (23 tahun), putri bungsunya yang berprofesi artis, menikah dengan Kevin, putra tunggal Nando. Jangan dikira setelah itu perseteruan Ares Inco-Prayogo mereda. Konflik malah kian meruncing!
Sigit sendiri kemudian menyibukkan diri dengan persiapan Pilpres 2014. Mungkin rencananya, begitu menjadi presiden kelak, dia bisa mematikan Ares Inco secara lebih terstruktur. Urusan perusahaan induk, sementara Sigit tak bisa aktif, diserahkan kepada Danang, COO (Chief Operating Officer) dari grup yang bermarkas di Jalan Gatot Subroto itu. Juga kepada Titan Prayogo yang sepulang dari Amerika Serikat langsung didapuk sebagai CFO (Chief Financial Officer).
Keputusan ini jelas membuat gerah Titok si sulung. Calon pewaris tahta Prayogo itu merasa disingkirkan pelan-pelan. Padahal, walaupun tidak disukai dan tidak menyukai Danang, Titok tergolong setia. Dia banyak membantu ayahanda dalam membangun bisnis sedari perusahaannya masih merangkak di comberan.
Masalahnya, Sigit selaku CEO (Chief Executive Officer) tidak melihat kemampuan bisnis dan managerial Titok. Pria berotot seperti Bruce Lee itu lebih mengenal bahasa kekerasan ketimbang bahasa korporat. Makanya, Sigit selama ini hanya memberinya kursi CPO (Chief Procurement Officer), jabatan yang samar fungsinya mengingat aktivitas procurement masing-masing perusahaan sejatinya tak perlu diatur dari pusat.
Sigit dilema, mau menyerahkan mahkota CEO kepada siapa seandainya dia benar-benar menang Pilpres 2014. Kepada Danang, orang kepercayaannya? Tidak, dia bukan keluarga Prayogo.
Teno si anak kedua? Mustahil. Sigit membencinya! Dia memang anak yang cerdas dan idealis. Tapi sekaligus aneh dan sulit diatur. Lagipula, Teno sekarang sedang menjalani hukuman 20 tahun penjara setelah pada 2004 silam terbukti membunuh ibu kandungnya, Prameswari, istri Sigit.
Tiara? Lebih tidak mungkin lagi. Selain tak pernah menggeluti dunia korporasi, statusnya sebagai istri Kevin juga membuat opsi ini terdengar konyol. Menyerahkan Grup Prayogo kepada Tiara sama dengan menyerahkan leher ke Ares Inco untuk dijagal.
Hanya Titan calon yang mendingan. Apalagi, setelah menjabat CFO, dia sukses melakukan efisiensi, perombakan, serta restrukturisasi dengan para kreditur. Membuat orang-orang di Grup Prayogo kembali optimistis menyongsong kerasnya persaingan ke depannya.
Mereka hanya belum tahu apa yang terjadi di kawasan Kebayoran Baru. Di sebuah restoran Manado, Nando, Kevin, dan lima dedengkot Ares Inco lainnya mengadakan rapat. Agendanya satu. Menghabisi keluarga Prayogo.
Latar korporasi dalam Sudut Mati memang layak diacungi jempol. Saya merasakan thrill di sini dan di sana. Salah satunya, saat Titok membereskan Ndaru di Bukit Hambalang. Ketika dia melapor kepada ayahnya tentang nasib wartawan majalah investigasi itu, Sigit hanya mengatakan, “Good job.” Sejak itu, saya jadi tahu bahwa Prayogo pun tak kalah bangsatnya dengan Ares Inco.
Saya jadi bertambah penasaran, bagaimana jika kedua kubu itu berperang tanpa tedeng aling-aling lagi.
Itu benar-benar terjadi puluhan halaman kemudian. Hanya, tadinya, saya menyangka klimaks Sudut Mati ini akan diarahkan seperti film The Insider atau serial TV Dunia Tanpa Koma. Setidaknya, saya berharap mencium bau yang semakin sengak berkaitan dengan intrik, adu cerdik intelijen bisnis, atau akrobat-akrobat korporat lainnya.
Namun, perangnya Sudut Mati ternyata perang dalam arti harfiah. Bakuhantam. Bakutembak. Mirip cerita-cerita mafia. Seru, seharusnya. Sayangnya, narasi di Sudut Mati kurang mendukung. Adegan-adegan aksi pun jadi tampil sekelebat-sekelebat. Tiba-tiba saja, si tokoh kena tonjok. Tiba-tiba saja, lawannya tersungkur. Tiba-tiba saja, tinggal 10 orang lagi. Tiba-tiba saja, semua terkendali. Tiba-tiba saja, saya membatin, “Kok udahan?”
Duel akbar dua pembunuh bayaran legendaris di Jakarta, yaitu si Dokter versus si Shadow, pun membuat saya mengernyitkan kening, alih-alih ternganga.
Di lain sisi, Titok rupanya seperti Jet Lee (bukan lagi Bruce Lee) yang meski terpojok pun tetap sanggup menghajar puluhan orang. Tepatnya, 30 pasukan khusus bersenjata tajam! Walau dalam Sudut Mati dikisahkan Titok tak terkalahkan di setiap duelnya, dalam logika saya, dia pasti segera terkapar. Masalahnya, ini ruangan tertutup. Nowhere to hide, nowhere to run. Sebuah sudut mati!
Kecuali bila Titok sepiawai Jet Lee yang mampu berlompatan sambil melumpuhkan lawan, harusnya hanya butuh beberapa sabetan untuk memperlambat geraknya dan menguras staminanya. Sabetan-sabetan berikutnya mustinya merupakan jaminan Titok menjadi daging cincang di sana.
Kemudian, catatan lain saya adalah tentang peralihan babnya. Ini unik. Saat tensi suatu bab di Sudut Mati meninggi, pembaca lalu dialihkan ke bab berikutnya yang santai kayak di pantai. Contohnya, bab tentang masa lalu pacar Titan, Kathleen Phan, di Marge’s Pancake, New York. Atau bab tentang masa lalu Teno yang suka memantul-mantulkan bola tenis di sel khusus LP Sukamiskin, Bandung.
Beberapa kali, trik ini diterapkan di Sudut Mati. Entah bagaimana dengan pembaca yang lain, tapi kalau saya, malah terdorong untuk skimming bab-bab lambat itu supaya lekas sampai ke bab baru yang kadar adrenalinnya setara.
Tak peduli dengan begitu, saya akan kehilangan informasi pendalaman karakter Sudut Mati. Tak peduli saya akan kehilangan beberapa dialog menariknya.
Ya, dialog-dialog dalam Sudut Mati memang umumnya sedap disimak. Panjang-panjang, tapi terasa berisi, asyik, dan kadang jenaka. Inilah salah satu kekuatan Sudut Mati.
Satu saja masukan saya soal dialog. Karena Sudut Mati adalah novel, daripada menuliskan “…”, alangkah eloknya bila tokoh-tokoh itu diceritakan saja sedang berkerut dahi, bibirnya mencong, mencembungkan pipi, atau apalah. Kalimat elipsis “…” itu kan banyak dipakai di manga. Namanya juga komik, pasti ada gambar ekspresi si tokoh. Kalau di novel?
Baiklah, saya sudahi saja di sini. Hanya itu catatan saya mengenai Sudut Mati. Terlepas dari kelemahan-kelemahan ringan tadi, saya merekomendasikan novel ini. Terutama jika Anda penggemar genre thriller dan penasaran dengan dunia korporasi yang (digambarkan) hitam. Percayalah, Sudut Mati menawarkan sesuatu yang berbeda.
Membaca Sudut Mati itu seperti duduk di depan seseorang yang dengan lancarnya menuturkan peristiwa-peristiwa brengsek yang dialami atau dilihatnya. Saya tahu, dia sedang membual. Namun sialnya, saya malah terbuai. Sehingga, saya tetap duduk manis di sana dan terus mendengarkannya sampai dia sendiri yang memutuskan berhenti.