- Judul: Misteri Patung Garam: tak ada yang bisa menghentikannya, bahkan dirinya sendiri
- Genre: Novel misteri-detektif
- Penulis: Ruwi Meita
- Penerbit: GagasMedia
- Tebal: 284 halaman
- Cetakan I: 2015
Pertama melihat novel ini, saya langsung kepincut. Pertama, oleh genre-nya. Kedua, oleh sampulnya yang ngeri-ngeri sedap. Maka segera saja saya membelinya. Meskipun saya tidak langsung membaca dan menulis resensinya, karena saat itu sedang sibuk-sibuknya. Tapi seperti yang bisa saya tebak dari sinopsisnya, Misteri Patung Garam berbeda segmen dengan Kamera Pengisap Jiwa.
Alkisah, Surabaya sedang geger oleh sebuah pembunuhan yang “artistik”. Korbannya, seorang pianis, dimumifikasi dengan adonan garam. Pembunuhnya meninggalkan jejak sandi di sana. Ini jelas bukan kriminalitas biasa. Bisa jadi ini ulah psikopat.
Seorang penyelidik berprestasi, Kiri Lamari, pun “diimpor” dari Reskrim Bojonegoro untuk menangani kasus tersebut. Dia dipasangkan dengan penyelidik organik Bareskim Polda Jawa Timur, Inspektur Satu Saut Kresnadi.
Belum sempat mendapat petunjuk yang berarti, seorang korban kembali tumbang. Kali ini, seorang pelukis.
Lalu, seorang chef tak lama kemudian.
Semua korban itu adalah wanita muda yang cantik. Namun, tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual. Tidak ada pula harta benda yang diambil. Pelaku sepertinya hanya fokus membunuh. Polanya pun sama: menciptakan patung garam dengan tubuh korban dan meninggalkan kode IDIS (dalam Font Symbol). Apa atau siapa itu IDIS? Silakan dibaca sendiri.
Cerita Misteri Patung Garam merambat dengan lancar. Membongkar puzzle-nya sendiri satu per satu. Hingga akhirnya saya berhasil menebak siapa pelakunya. Terutama sejak kondisi psikis dan keluarga tokoh baru ini mulai diperkenalkan. Yang saya tidak bisa menebak adalah, pelaku ternyata sudah mengendalikan keadaan sejak awal. Dia bahkan telah (tega) membereskan saudaranya.
Bagaimanapun, saya tidak sampai tercekam atau merinding membaca kesadisan demi kesadisan si pria beraroma lavendel ini. Bukan apa-apa, karena saya terbiasa dengan cerita-cerita semacam ini. Sudah kebal, barangkali. Dalam dunia fiksi, maksudnya. Bukan dalam dunia sebenarnya.
Di Misteri Patung Garam, saya suka MO (Modus Operandi) pelakunya yang kreatif. Juga tokoh-tokohnya yang unik. Tokoh cilik Ireng, umpamanya. Dia proletar, tapi cerdas dan pandai bersiasat. Saya sebenarnya sudah membayangkannya menjadi sidekick dari Kiri Lamari. Sayangnya, tokoh ini pelan-pelan melipir dari alur. Padahal, ini tokoh yang asyik. Walaupun dialek Surabayanya membuat kening saya mengerut.
Misalnya, pengucapan “kon” yang membabi buta. Kon (kamu) memang tergolong kata Jawa kasar yang banyak dilisankan orang Surabaya. Namun melihat Ireng sering menggunakannya kepada Kiri (dan Matari) yang lebih tua, bukan sekadar tidak sopan, kesannya jadi janggal. Kata “sampeyan” mungkin lebih realistis, sekalipun untuk ukuran Ireng yang memang anak jalanan.
Orang Surabaya tidak mengatakan, “Apa pangkat, kon?” atau “Siapa nama pacar, kon?” (halaman 22). Melainkan, “Apa pangkat sampeyan?” Atau, “Apa pangkatmu?” Atau sekalian, “Opo pangkatmu?”
Arek Suroboyo juga jarang sekali ber-kuwi-kuwi atau ber-ora-ora, kecuali dia Jawa pendatang. Jadi sekadar saran, “Yo ben kuwi urusanku. Aku ra tau duwe…” (halaman 16) harusnya diterjemahkan dulu ke langgam Surabaya menjadi, “Yo babahno, iku urusanku. Aku gak tau duwe…” Juga, “Ra sah melu-melu.” (halaman 17) harusnya di-translate menjadi, “Gak usah melok-melok.”
Semoga kalau memang cerita Kiri Lamari ini dilanjutkan, untuk mengisahkan suster misterius di ending Misteri Patung Garam umpamanya, karakter Ireng bisa dibuat lebih Surabaya.
Kemudian, ada satu pertanyaan lagi yang mengganjal. Pertanyaan remeh, sebenarnya. Mengapa Kiri Lamari kemana-mana naik kereta api? Sebagai detektif top yang butuh kecepatan berpindah-pindah dalam rangka penyelidikan, kenapa dia tidak memilih pesawat? Naik kereta pun kenapa harus kelas ekonomi? Di Stasiun Wonokromo, setahu saya, kereta kelas bisnis saja enggan berhenti.
Di luar itu, yang harus saya puji dari Misteri Patung Garam adalah risetnya. Entah berapa lama penulis meriset tentang fungsi serta filosofi garam, pernak-pernik forensik, prosedur kepolisian, serta sedikit mitologi. Yang jelas, hasilnya, novel ini tidak hanya sukses memberi saya hiburan, melainkan juga inspirasi dan referensi.
7 replies on “Serpihan Garam dari Masa Lalu sang Psikopat”
Ulasannya detail sekali tapi tetap tidak mengurangi rasa penasaran orang untuk membaca.
Cerita movelnya sendiri emang bikin penasaran ~_^
Wooo jawanya beda gitu ya
Yups 🙂
Brahm recently posted..Menjajal Game Mortal Kombat X versi Android
Baca review-nya makin penasaran pengin baca bukunya ^^
Siiiip… 🙂
Brahm recently posted..Investasi: Upaya Menyayangi Diri di Usia Senja
rasanya penasaran , harus baca pokoknya hehehe