Berawal dari kejenuhan dan prinsip “mumpung belum ada kerjaan besar”, saya mengajak keluarga jalan-jalan ke museum ini. Tahu ada Museum Surabaya sebenarnya dari newsfeed di Facebook. Banyak teman yang memposting pembukaannya oleh Wali Kota Ir. Tri Rismaharini pada 3 Mei 2015 kemarin. Saya penasaran juga.
Apalagi, Dukut Imam Widodo (sastrawan sekaligus sejarawan Surabaya) mengatakan ini museum Surabaya yang kedua. Lho, bukannya ada Museum Kesehatan dr. Adhyatma, Mph, Mpu Tantular (sekarang pindah Sidoarjo), House of Sampoerna, Tugu Pahlawan, De Mata, dan banyak lainnya? Kok dibilang yang kedua?
Entahlah. Mungkin, yang dimaksud adalah museum yang murni berisi artefak-artefak atau barang bersejarah Surabaya.
Yang jelas, menurut Dukut, “Sebelum kita merdeka, G.H. Von Faber, sejarawan Belanda-Jerman yang lahir di Surabaya, sudah mendirikan museum di sini. Tapi beberapa koleksi Museum Von Faber itu akhirnya dipindahkan ke Museum Mpu Tantular.”
Lokasi Museum Surabaya
Posisinya sangat stragetegis dan terkenal lewat lagu yang legendaris, “Rek, ayo, Rek. Mlaku-mlaku nang Tunjungan.” Tepatnya, Museum Surabaya berdiri di bekas Gedung Siola, Jalan Tunjungan.
Jadi, bila Anda mlaku-mlaku (berjalan-jalan) di kawasan bisnis yang terletak di jantung kota ini, jangan lupa untuk mampir Museum Surabaya. Masuk ke museum ini gratis!
Ada apa saja di dalam Museum Surabaya
Ketika kami datang, Museum Surabaya masih sedang digarap. Meskipun sudah rapi dan bersih, beberapa pekerja berlalu lalang menata dan berdiskusi tentang peletakan barang-barang museum. Kami juga belum menemukan plang Museum Surabaya di pintu masuknya. Satu-satunya petunjuk kami hanya mobil pemadam kebakaran (blangwir), lokomotif kereta antik, dan meriam kuno yang nongkrong di depan museum.
Bagaimanapun, sembilan puluh persen penampakan museum sudah terlihat. Terdapat puluhan artefak yang mencerminkan Kota Surabaya di sini.
Kita bisa melihat, misalnya, dua buah meriam kuno yang ditemukan Risma saat menjabat di Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya. Sebelumnya, dua meriam itu dititipkan di Museum Trowulan, Mojokerto. Namun berhubung Surabaya sekarang sudah memiliki museum, koleksi berharga itu pun diboyong pulang.
Ada pula angkutan-angkutan umum di Surabaya pada era ’70 atau ‘80-an. Yang saya lihat bemo, bajaj dan becak. Berbagai alat transportasi juga dipajang, seperti cone jalan, tiang rambu, traffic light, dan sebagainya.
Kami juga melihat perlengkapan pemadam kebakaran jadul, berbagai alat kesehatan bersejarah, buku catatan sipil zaman Belanda, penghargaan-penghargaan yang diperoleh Kota Surabaya, serta kenang-kenangan dari berbagai kota atau negara sahabat yang perwakilannya pernah menginjakkan kaki di kota pahlawan ini.
Desain museum ini modern, saya jadi merasa seperti berjalan-jalan di mal saja. Tidak hanya karena ber-AC segar dan lantainya kinclong, melainkan juga ada manekin-manekin. Mereka mengenakan seragam dinas petugas Pemkot Surabaya, mulai dari PNS, pemadam kebakaran, Satpol PP, Dinas Perhubungan, hingga pakaian-pakaian adat.
Ada pula film dokumenter Surabaya yang selalu diputar melalui layar LCD. Saya merasa, museum ini kelak bisa jadi tempat yang kondusif bagi para sineas dokumenter atau fiksi sekalipun (asal berkaitan dengan Surabaya dan menambah pengetahuan), untuk pamer karya.
Pigura-pigura dijajar artistik. Mulai dari foto-foto eagle eyes dari 16 taman (modern) yang indah di Surabaya sampai Hall of Fame 17 Wali Kota Surabaya sejak masa A. Meyroos, bule yang menjabat pada 1916-1920. Tampak di deretan pigura itu, Risma adalah satu-satunya Wali Kota Surabaya perempuan.
Saya yakin, seiring berjalannya waktu, Museum Surabaya akan semakin lengkap, variatif, representatif, sehingga dapat menjadi rujukan. Bukankah itu fungsi utama museum? Yaitu menjadi media edukasi bagi pengunjungnya tentang sejarah sebuah peradaban.
Di samping itu, “Museum ini menunjukkan bahwa Surabaya adalah kota yang besar, bahkan sebelum Indonesia merdeka,” tukas Risma ketika meresmikan museum ini.
[photos by Brahm]