Categories
birokrasi keluarga

Akira 3: Urusan Identitas dan Hal-hal Kecil Lainnya

Bayi kedua kami ini berambut lurus (setidaknya awalnya), lebat, dan matanya sipit. Mirip orang Jepang. Karena itu, kami memikirkan nama Jepang untuknya. Nama yang merupakan anagram dari Kiara.

Mirip bayi orang Jepang

Kami terkejut mengetahui bayi ini ternyata perempuan. Karena sebelumnya, berdasarkan analisis USG dari bidan-bidan di Rumah Zakat (tempat bersalin yang dirujuk oleh Faskes I BPJS kami), janin ini berkelamin laki-laki. Makanya, kami menyiapkan nama laki-laki dengan pedenya.

Butuh waktu sehari bagi kami untuk mengocok ulang kombinasi nama-nama bagi adik dari Kiara Hanifa Anindya ini.

Pada akhirnya, sepakatlah kami dengan nama Sang Hanifa Shaumakira. Atau panggil saja Akira.

Dalam bahasa Prancis, “sang” artinya “darah”, simbol keberanian atau garis keturunan. Kenapa Prancis? Karena inilah salah satu bahasa asing yang sama-sama orangtuanya kuasai (dulu) dan mempertemukan mereka sebelum menuju pelaminan.

Sementara menurut kamus bahasa Indonesia, “sang” adalah kata depan untuk penekanan atau penghormatan. Semisal “sang jenderal”, “sang arjuna”, dan sebagainya.

“Hanifa” dalam bahasa Arab berarti istiqamah, konsisten, perempuan (karena bentuk katanya mu’annats atau feminine) yang lurus. Sang Hanifa berarti penekanan untuk sifat “hanif” itu, jika sang-nya dari bahasa Indonesia. Atau “darah yang lurus”, jika sang-nya dari bahasa Prancis.

“Shaum” itu istilah Sunda (asal keluarga bundanya) yang dipengaruhi bahasa Arab, bahasa yang kuat pengaruhnya bagi kultur Melayu sejak setidaknya tujuh abad lampau. Artinya “puasa”. Ya, anak kedua kami lahir pada bulan puasa.

Tapi bukan saat saya sedang berpuasa. Karena lahirnya malam hari, tepatnya pukul 22.17. Itulah makna kata berikutnya. Dalam versi Arab, “akirah” itu juga istilah feminine yang berarti “malam yang gelap”. Sedangkan dalam versi bahasa Jepang, “akira” bermakna “cemerlang”, “cerdas”, atau “jernih”.

Maka secara umum, Sang Hanifa Shaumakira bermakna, “Darah yang lurus dalam agama, dan lahir pada malam hari di bulan puasa.” Sedangkan nama panggilannya, Akira, bermakna “cerdas cemerlang”.

Nama adalah doa. Demikianlah doa yang kami amini pagi ini.

10 & 11 Juni: Bermalam di Rumah Sakit

Jumat pagi ini, saya harus membawa baju-baju kotor dari rumah sakit ke rumah, mengambil pakaian-pakaian istri dan Kiara, menyiapkan sarapan Kiara, memandikan Kiara di rumah, membawa bekal buat makan siangnya, dan kembali lagi ke rumah sakit. Lumayan repot.

Stamina sempat drop. Tapi karena sedang bahagia, badan rasanya tegak terus. Hanya, saya tidak Salat Jumat, karena harus menjadi suami dan bapak siaga di rumah sakit.

Siangnya, saya dihubungi bidan RSI. Pesannya, “Ari-arinya cepat diambil, Pak. Keburu membusuk.” Biaya membersihkan dan mengemas ari-ari ke dalam kendi di RSI Jemur Sari adalah Rp40.000. Setelah salat Asar, saya membawa ari-ari itu pulang untuk dipendam.

Kiara saya tinggal di RSI bersama ibu dan adiknya.

Di rumah, saya ngabuburit dengan cangkul dan tanah. Barulah saya ingat betapa pegalnya melubangi tanah itu, sekalipun kedalamannya cuma 30-50 cm. Tiga tahun silam, ketika saya mengubur ari-ari Kiara, saya sedang tidak berpuasa. Sekarang? Lemas sekali rasanya. Baru satu menit bekerja sudah bermandi keringat.

Setelah urusan dengan ari-ari Akira tuntas, saya mandi, lalu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa dan bekal. Untung stok daging asap yang saya beli tempo hari masih ada. Saya pun tinggal menggoreng beberapa dan menanak nasi. Itu daging sebenarnya buat burger, tapi enak juga dimakan dengan nasi, kok 😀

Biar praktis, tapi masih 4 sehat 5 sempurna, dong!

Balik ke RSI selepas berbuka dan salat, saya mampir ke Indomaret untuk beli kudapan, susu kedelai untuk sahur nanti, dan diapers buat Akira.

Kami masih harus menginap satu malam lagi di RSI Jemursari. Baru keesokan paginya, saya dipersilakan menyelesaikan masalah administrasi. Alhamdulillah, BPJS ternyata menanggung biaya persalinan, kontrol, dan “penginapan” selama dua malam di RSI.

Full family, bersiap boyongan pulang

Urusan administrasi beres, kami pun dikumpulkan bersama dua keluarga yang barusan bersalin lainnya. Ada briefing cara memandikan dan memperlakukan bayi. Setelah itu, kami langsung pulang.

17 Juni: Menyelenggarakan Akikah

Akikah dilakukan dengan menyembelih kambing, dua ekor untuk bayi laki-laki atau seekor untuk bayi perempuan, sebagai perwujudan syukur. Akikah sekaligus berfungsi sebagai pengumuman resmi nama sang bayi. Bukan kewajiban, sih. Tapi sejak awal, kami berniat menunaikannya.

Anjurannya, akikah diadakan pada hari ketujuh. Akira lahir 9 Juni, jadi hari ketujuhnya jatuh pada 17 Juni. Kenapa bukan 16 Juni? Karena kelahiran yang malam hari akan dihitung sebagai kelahiran pada keesokan harinya. Jadi, hari ketujuh adalah tanggal 17, bukan 16.

Tim akikah dari Nurul Hayat

Sebagaimana akikah kakaknya, saya kembali menggunakan jasa pihak ketiga. Mulai penyembelihan, masak sampai jadi nasi kotak, hingga distribusinya saya serahkan kepada Nurul Hayat.

Akikahan sekaligus buka puasa bersama teman-teman

Saya hanya meminta 25 kotak buat keluarga di rumah, tetangga dekat, saudara dan teman yang mau saya undang untuk buka bersama sekaligus akikahan hari Jumat itu.

Beberapa teman yang menengok Akira. Thank you, Om, Tante!

Sementara, sebagian besar nasi akikah lainnya saya percayakan kepada Nurul Hayat untuk dibagikan ke anak-anak panti asuhan. Praktis, tidak ada acara ramai-ramai di rumah saya.

11 & 13 Juli: Mencukur Habis Rambut Bayi

Ini juga bukan kewajiban, sebenarnya. Namun tetap saya lakukan, dengan mempertimbangkan dua manfaat ini:

  • Membersihkan rambut bayi. Rambut yang dibawa bayi dan tumbuh di rahim itu kotor dan rapuh. Memang rambut itu akan rontok dan terganti sendiri nanti. Tapi dengan dicukur, setidaknya, kita bisa mempercepat proses regenerasi tersebut.
  • Melihat kondisi kepala bayi. Apakah kulit kepalanya berjerawat? Masih ada kerak-kerak bekas air ketuban yang belum bersih? Berketombe? Simetriskah bentuk kepalanya? Semua itu bisa diketahui kalau bayi sudah plontos.

Saya sudah lumayan berpengalaman mencukur kepala bayi, karena Kiara dulu saya juga yang menggundulinya sewaktu berumur satu bulanan. Ini tips mencukur kepala bayi dari saya:

  1. Siapkan pencukur baru. Jangan pakai pencukur bekas pakai, karena dikhawatirkan tumpul. Jangan pula menggunakan pencukur otomatis, agar kita bisa mengontrol bagaimana pisau cukur bersentuhan dengan kulit kepala bayi. Saya menggunakan dua Gillette (dua mata pisau) seharga 15.000 saja.
  2. Keramasi bayi. Ini supaya kerak rambut tidak mengotori pisau cukur. Selain itu, agar rambutnya lebih lembut sehingga menjadi enak dibabat.
  3. Sterilkan pencukur. Anda dapat merendam pisau cukur itu dengan air mendidih atau mengguyurnya dengan alkohol 70%, supaya bakteri-bakterinya mati. Kulit bayi itu sensitif, bisa gawat kalau pisaunya berkuman.
  4. Usahakan rambut bayi kering. Rambut basah membuat pencukuran jadi sulit, karena akan lengket di kulit kepala. Siapkan handuk bersih untuk mengeringkan rambut, baik dari air maupun keringat.
  5. Lakukan bersama partner. Karena leher bayi belum bisa tegak, Anda butuh partner yang menggendongnya serta menyangga kepalanya. Dengan begitu, Anda bisa leluasa mencukur bagian atas, samping, depan, dan belakang kepalanya. Saya berpartner dengan ibunya, sehingga kalau si bayi rewel, bisa langsung disusui selama proses pencukuran.
  6. Gunting dulu rambutnya sependek mungkin. Supaya alat cukur tidak bekerja terlalu keras dan penuh rambut, bantulah dengan gunting dulu. Setelah gunting mentok, baru lanjutkan dengan pencukur.
  7. Cukur sesuai arah tumbuhnya rambut. Gunakan dua tangan. Tangan satu untuk mencukur, satunya lagi untuk memegangi kepalanya, merasakan kontur kulit kepala, dan merenggangkan pori-pori kulit kepala bayi agar pencukuran lebih efektif.
  8. Cukur untuk melicinkan. Proses ini saya lakukan dua hari berikutnya, untuk melihat apakah si bayi stres setelah kepalanya dikerok-kerok. Selain itu, agar sisa-sisa cukuran rambutnya bersih dulu dengan keramas. Baru saya cukur lagi dengan pencukur baru. Kali ini, tidak harus sesuai arah tumbuhnya rambut. Tapi usahakan jangan melawannya. Misalkan tumbuh rambutnya ke bawah, jangan dicukur ke atas, bisa luka nanti. Cukup dicukur ke arah kanan atau kiri.
  9. Bersihkan kepala dari sisa-sisa potongan rambut. Keramasi dia dengan sampo khusus bayi.

Akira tidak terlalu rewel selama proses pencukuran. Itu artinya, insya Allah tidak ada luka yang berarti di kulit kepalanya.

Wefie dulu setelah dicukur

Oh ya, jika nanti masih ada sisa akar rambut sedikit-sedikit, biarkan saja. Takkan mungkin selicin Upin dan Ipinlah! Bagi saya, yang terpenting, kepala bayi sudah plontos, sehingga dua manfaat yang saya sampaikan di atas sudah bisa terlihat.

26 Juli: Menindik Telinganya

Untuk yang ini, saya takut melakukannya sendiri. Maka, ketika suatu hari kami kontrol ke BKIA, kami menitipkan penindikan itu ke bidannya. Saya copot anting Kiara, untuk diberikan ke adiknya. Kiara sendiri beberapa hari kemudian saya belikan anting baru yang lebih besar.

Penindikan dengan cara manual: langsung dicoblos dengan antingnya

Bidan itu mensterilkan anting yang kami bawa. Tanpa alat. Lokasi daun telinga yang ingin dilubangi cukup diberi titik dengan spidol, lalu dicoblos begitu saja dengan antingnya. Akira kontan menjerit, meronta dan menangis. Tapi hanya sebentar. Dan syukurlah, tidak ada darah menetes.

Mengurus Identitas Kewarganegaraannya

Jujur, ini adalah bagian yang paling mengesalkan. Namun sebagai warga negara yang baik, dan demi kelancaran urusan-urusan si anak di masa mendatang, mau tak mau saya harus membereskannya segera.

Bukti pendaftaran akta kelahiran secara online

Pertama, kami meminta surat keterangan lahir dari RSI beberapa hari setelah kami pulang. Dengan surat itu, saya mendaftar di laman Lampid (aplikasi kependudukan untuk kelahiran, kematian, dan pindah ke luar) Surabaya pada 13 Juni 2016. Tinggal memasukkan nomor KK, semua data sekeluarga langsung terlihat. Saya tinggal mengunggah pindaian KTP, KK, buku nikah, dan surat keterangan lahir Akira.

Canggih, ya?

Tapi nggak ngaruh! Namanya saja yang online, seolah-olah pelayanan bisa dilakukan paperless. Faktanya, warga tetap harus mengurus surat keterangan RT-RW, lalu fotokopi surat-surat yang saya sebut di atas, dan mendatangi kantor Kelurahan.

Hebatnya, di Kelurahan, saya masih harus mengisi formulir manual yang kotaknya kecil-kecil dan banyak itu. Padahal semua data sudah saya isi secara daring. Di Kelurahan pun ada semacam komputer khusus untuk urusan lampid via daring.

Tetap, tidak membantu kepraktisan apa-apa. Bahkan kata staf Kelurahan, saya mengunggah dokumen-dokumen yang salah. Harusnya yang diunggah adalah fotokopian. Jadi kalau KK, ya fotokopian KK (yang hitam-putih itu) yang dipindai, lalu diunggah. Astagaaaaa….

Saya tak habis pikir dengan sistem ini. Apa bedanya dengan mengurus secara manual, kalau begini? Toh fotokopi-fotokopi juga, isi-isi formulir pakai pulpen juga.

“Ya bedalah, Mas,” bantah petugas Kelurahan. “Kalau nggak lewat online, sampeyan harus antre di Dispenduk Siola. Kalau lewat web, nggak perlu antre. Nanti aktanya pun diposkan langsung ke rumah sampeyan. Nggak perlu datang ke Dispenduk sama sekali.”

“Prosesnya lebih cepat?” tanya saya.

Staf itu menunjuk tumpukan map pengurusan yang sejenis. “Lihat, itu sudah dua minggu belum diambil orang Dispenduk. Kami nggak bisa apa-apa. Memang tergantung orang Dispenduk kalau via online. Beda lagi kalau sampeyan ngurus sendiri ke Siola. Tapi antreannya, ya itu tadi, panjang dan terbatas. Terserah, sampeyan pilih mana.”

Lantaran terlanjur ingin mencoba fasilitas terbaru Pemkot, saya tetap memilih metode daring. Dulu, saya mengurus langsung di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk), akta kelahiran jadi sekitar seminggu. Dengan sistem daring, berapa lamakah?

Ternyata hampir sebulan! Mendaftar di situs web pada 13 Juni, saya baru menerima paket pos berisi akta kelahiran Akira pada 12 Juli. Payah!

Entahlah. Saya merasa pengurusan dokumen kewarganegaraan di Surabaya kok mengalami penurunan kualitas, ya. Buktinya, selain soal akta, saya juga gemas dengan pengurusan Kartu Keluarga (KK) untuk sekadar memasukkan nama Akira. Dulu hanya seminggu, lho! Sekarang? Sebulan juga.

Sempat mengunjungi Dispenduk di Siola, tapi akhirnya sia-sia

Awalnya, saya mengurus di Dispenduk (berdasarkan petunjuk orang Kelurahan). Tapi kemudian dilempar ke Kecamatan. Selesai memasukkan pengajuan, staf Kecamatan menyuruh saya menunggu 1-2 minggu. “KK akan diposkan ke rumah,” katanya.

Wah, saya senang. Seperti akta kelahiran, KK akan diposkan juga lewat Pos Indonesia.

Namun, saya tunggu selama sebulan, kok paket tak kunjung tiba? Akhirnya, saya datangi langsung Kecamatan. Eh, KK saya ada di sana! Saya ambil saja, sambil berkerut dahi. Dulu katanya akan dikirim oleh Dispenduk lewat Posindo? Kok sampai nyantol di Kecamatan? Kacau!

Harapan saya sederhana, sistem daring harusnya bisa memangkas birokrasi yang mbulet. Antrean di kantor pelayanan publik pasti berkurang drastis dengan dibantu internet, apalagi bila ada kerjasama dengan Posindo. Kantor Kecamatan atau Dispenduk pasti sepi (dalam arti positif), bukannya berjubel seperti pasar malam.

Namun kenyataannya, warga masih harus mengisi seabrek formulir dengan pulpen. Ini bukan sistem daring namanya. Ini sistem jadul yang masih ndeso! Dan bagaimana mungkin sistem baru begini malah membuat waktu tunggu pelayanannya tambah lama? Dari seminggu menjadi sebulan!

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Dan gelengan kepala itu semakin kencang ketika mengurus BPJS Akira. Di sana, malah tak tersentuh teknologi internet sama sekali. Jangankan pengurusan via web, telepon saja tidak ada. Ada nomornya, tapi kalau dihubungi tak pernah diangkat.

Sudah begitu, formulirnya kecil-kecil juga. Kasihan kalau orang tua yang mengisi. Lagipula, sebenarnya buat apa formulir itu? Data warga itu sudah terhubung secara nasional. Dengan NIK atau nomor KK, harusnya sudah terbaca data seorang warga. Tidak harus mengisi formulir ini-itu. Tidak harus berjam-jam di kantor BPJS: antre untuk ambil nomor antrean, lalu antre lagi untuk dilayani.

Apalagi antre di BPJS ini lumayan menguji kesabaran. Jika Anda salah loket atau salah mengambil formulir, tak peduli sudah antre puluhan meter dan puluhan menit, Anda tetap harus balik ke belakang dan antre panjang lagi di loket yang benar.

Dengan jumlah pengantre yang tak pernah sedikit, kurang tertib, kadang saling sikut dan berebut (tidak seperti antrean bank swasta), antre di BPJS memang selalu menjanjikan pengalaman yang lain. Salah satunya, bila Anda berniat meluruhkan lemak dengan sauna gratis, di sinilah tempatnya!

Bagaimanapun saya lega, urusan administrasi kewarganegaraan Akira akhirnya selesai.

Akira dan saya, berpose di depan kuburan ari-arinya

Kalau kendaraan sudah dilengkapi BPKB dan STNK, artinya sudah legal dan siap meluncur ke jalan. Begitu pula Sang Hanifa Shaumakira. Setelah memiliki akta kelahiran, BPJS, dan namanya masuk ke KK, dia pun telah menjadi WNI yang legal dan seutuhnya. Salah satu tugas saya sebagai orangtua beres. Centang!

* Photos by Brahmanto

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu

Index