Warganet zaman sekarang suka hidup berkelompok. Tidak ada yang salah. Hanya terkadang, beberapa kebablasan. Perisakan atau bullying kerap terjadi. Main hakim sendiri, main keroyok untuk menjadikan anggota kelompok lain bulan-bulanan, seolah kubunyalah yang paling benar. Tren konyol ini terjadi hampir di setiap tema pembicaraan, seperti politik, klub bola, negara, bahkan sastra.
Bicara perisakan atau perundungan, saya pernah jadi korbannya. Dulu, ketika awal-awal nge-blog pada 2006. Mulanya, saya menulis artikel kritik tentang acara Empat Mata yang diampu Tukul Arwana di sebuah blog komunitas penulis (semacam Kompasiana).
Waktu itu, saya sedang bangga-bangganya jadi kritikus. Apapun saya komentari panjang kali lebar, dilengkapi dengan teori-teori dashyat. Maklum, baru lulus kuliah. Kebanyakan baca tetapi bingung mau diterapkan di mana, hehehe. Acara televisi tak luput dari sasaran kritik saya. Apalagi Empat Mata yang menurut saya “ajaib” itu.
Tidak banyak komentar di artikel unek-unek itu. Cuma ada empat atau lima. Namun, alhamdulillah, semuanya positif.
Beberapa hari kemudian, blog saya yang masih mendompleng host WordPress kebanjiran pengunjung. Menurut statistik, lonjakan pengunjung datang dari sebuah URL khas Multiply. Sekadar info, platform Multiply pada era itu sedang jaya-jayanya, meski saya tidak pernah paham di mana bagusnya.
Saya klik URL tersebut, lalu log masuk ke akun saya. Nah, inilah salah satu ketidakbagusan blog Multiply: untuk baca saja harus jadi anggota dan login dulu. Untung, meski tidak pernah saya hidupi, saya tidak lupa dengan kata sandinya.
Dan… blog itu ternyata milik komunitas fans berat Tukul!
Awalnya, saya berdebar-debar girang. Bangga juga, karena ini pasti bentuk apresiasi mereka terhadap tulisan saya. Faktanya, saya bukan kritikus sadis. Kritik saya tidak pernah menjatuhkan. Juga tidak pernah menyangkut fisik atau pribadi orangnya. Selalu saya seimbangkan antara informasi, kritikan, dan pujian.
Namun semakin saya baca, rahang saya semakin lebar menganga. Apalagi setelah membaca komen-komennya yang berisi sumpah serapah dan perisakan terhadap saya. Waduh….
Di blog Multiply itu, artikel saya ditayangkan ulang (copy-paste) dengan diimbuhi sedikit caption provokatif. Si admin juga menyalin tempel profil dan tautan ke blog saya, Warung Fiksi.
Itulah mengapa blog saya surplus tamu. Namun, tamu-tamu itu cuma mampir. Tidak satu pun dari mereka yang meninggalkan komentar atau cacian di Warung Fiksi. Berbeda keadaannya dengan di habitat mereka sendiri.
Artikel repost di Multiply itu baru tayang sekira dua hari, tetapi komentarnya sudah ratusan. Hampir semuanya negatif. Seolah semua orang berlomba-lomba mengutarakan kemarahannya. Mulai dari sekadar olokan “sok tahu”, “penulis nggak terkenal aja belagu” (yang ini benar, memang dari dulu saya tidak (mau) terkenal), “goblok”, sampai galeri nama-nama binatang, semua berhamburan di sana.
Herannya, saya mau-maunya membaca tuntas semua komentar tersebut. Padahal, darah saya sedang mendidih saat itu. Selesai, saya siap mengonter satu per satu. Saya ibarat rusa yang tidak gentar memasuki teritorium sekumpulan harimau. Karena saya lihat, nyaris semua komentar itu tidak ilmiah, sekadar fanatisme, atau luapan emosi karena merasa pujaannya telah disenggol.
Busyet, militan juga! Zaman ini belum marak pasukan nasi bungkus, cyber army, atau buzzer, lho. Saya geleng-geleng kepala sambil bertepuk tangan atas-bawah ala Tukul. Luar biasa….
Walau begitu, muncul juga satu atau dua orang yang pemikirannya rasional. Salah satu komentator tersebut menulis, “Teman-teman, meskipun Mas Tukul sudah berjasa menghibur kita dan orang-orang se-Indonesia, tapi apa sih gunanya kita membela mati-matian begini? Kalau memang ada yang mengkritik, ya apa salahnya diterima? Toh demi perbaikan acara kesayangan kita juga.”
Menyusullah beberapa komentar yang menyayangkan kok bisa-bisanya fans Tukul membela “musuhnya”. Namun, hujan komentar itu tidak seagresif dan seramai sebelumnya. Bisa jadi mereka tersadarkan bahwa kritik itu hal biasa. Atau, para Tukul die-hards itu masih sibuk kerja, sekolah, kuliah, entahlah.
Yang jelas, suasananya jadi rada adem. Termasuk di pihak saya yang sedang dirundung. Karena suka atau tidak, saya merasa terwakili oleh komentar itu. Akhirnya, saya memutuskan batal menampakkan batang hidung di komunitas daring tersebut. Meskipun perasaan dendam masih bergemuruh. Maklum, darah muda! Masih punya banyak waktu luang (alias pengangguran akut) pula, hehehe.
Keesokan harinya, saya buka lagi postingan Multiply itu. Saya berharap, sudah banyak komentar-komentar baru yang membuat saya tidak punya alasan lagi untuk berdiam diri. Tetapi, semuanya masih adem.
Besoknya pun tetap tidak ada komentar-komentar seru.
Cara Ampuh untuk Mengatasi e-Bullying atau Perisakan Daring
Setengah kecewa, saya akhirnya memutuskan move-on dan tidak menengok-nengok ke sana lagi. Sampai Multiply gulung tikar, saya tidak tahu bagaimana perkembangan thread itu.
Namun dari pengalaman pertama dihakimi massa di internet ini, saya mendapat sebuah pelajaran berharga. Yaitu, satu-satunya cara ampuh untuk menghentikan perisakan adalah dengan tidak melakukan apa-apa alias mengabaikannya. Biarkan saja para perundung itu mengomel seenak udelnya. Lama-lama, pasti bosan sendiri.
Seandainya kita meladeni mereka, seperti rencana awal saya, konflik tidak akan selesai dalam dua atau tiga hari. Bisa jauh lebih lama menyedot energi dan mood saya. Sebab, itu ibarat api yang sudah akan padam, tetapi kita siram lagi dengan bensin. Kan rugi.
Belajar ilmu kebal (alias cuek) saja. Lalu, alihkan fokus kita ke aktivitas-aktivitas lain yang menyenangkan. Supaya hidup tetap produktif dan bahagia.