Categories
c'est ma vie

Saya Fetisis Cahaya

Cahaya di Goa Terawang, Blora

Dulu sewaktu TK hingga SD, saya sering menginap di rumah nenek. Nenek saya menyewakan salah satu ruangan rumahnya untuk pengusaha salon kecantikan. Tiap pagi, saat salon belum buka dan pegawai-pegawainya belum datang, saya suka berkeliling atau sekadar duduk-duduk di dalamnya. Hanya untuk menikmati garis-garis cahaya matahari yang jatuh dengan indah melalui jendelanya.

Di masa-masa itu, saya juga sering takjub melihat iklan permen Fox’s di majalah. Tahu sendiri, kan, permen ini: kotak, bening, tembus cahaya. Saat itu, kreator iklannya menjual sensasi visual permen yang ditimpa cahaya. Itu membuat saya sampai lama dan bolak-balik memeloti halaman iklan tersebut.

Entahlah, mana yang lebih dulu memengaruhi saya: salon itu atau iklan di majalah jadul itu. Yang jelas, sepanjang yang saya ingat, itulah cikal bakal saya memiliki kecenderungan fetisisme terhadap cahaya.

Ya, saya adalah seorang fetisis cahaya.

Setiap kali melihat, apalagi mengalami sendiri, cahaya matahari yang jatuh dan menciptakan efek pencahayaan serta bayang-bayang yang khas, perasaan saya seperti melayang-layang ke alam lain. Dapat dipastikan, saya betah berlama-lama memandanginya, bahkan sampai berjam-jam.

Bagi orang lain, pemandangan ini mungkin biasa-biasa saja. Tetapi bagi saya, sungguh waaaaaah…

Cahaya matahari yang menerobos kamar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V, “fetisisme” banyak definisinya. Salah satunya, “Benda, ide, aktivitas yang secara irasional dapat membuat seseorang terobsesi.”

Ada juga definisi yang berkaitan dengan penyembahan (spiritual) dan gairah/penyimpangan (seksual). Namun, fetisisme saya sama sekali tidak berhubungan dengan keyakinan atau kepuasan seksual.

Saya hanya takjub dan begitu menikmati pemandangan cahaya matahari hangat (bukan panas terik) yang menciptakan efek tertentu.

Namun, cahaya yang seperti apa? Dalam kondisi bagaimana? Ini yang saya masih sulit mendefinisikan. Sebab, ternyata tidak semua berkas cahaya matahari menimbulkan reaksi yang sama.

Sebagai contoh, saya memfavoritkan adegan dalam film The Lord of The Ring: The Return of the King, ketika Frodo Baggins tidur di ranjang setelah menyelesaikan misinya. Saat itu, dia bermandikan cahaya mentari Middle Earth.

Saya juga merasa sedap-sedap-gimana-gitu menonton Don Juan DeMarco. Terutama pada adegan Don Juan terdampar di Island of Eros dan disambut oleh Doña Ana dalam balutan cahaya matahari pantai.

Tetapi sensasi yang sama tidak saya alami ketika melihat tubuh Edward Cullen, atau vampir-vampir lainnya, berkilauan diterpa cahaya matahari dalam film-film Twilight. Kesannya biasa-biasa saja, meskipun menurut saya, artistik juga adegan itu.

Setahu saya, fetisisme memang tidak bisa didefinisikan secara saklek dan pasti. Fetisisme selalu khas dan personal. Sifatnya juga tidak jelas, tidak logis, dan… aneh.

Cahaya di Candi Ijo, Yogyakarta

Kalau Anda, fetisis jugakah? Terhadap apa?

– Foto-foto: Brahmanto

By Brahmanto Anindito

Penulis multimedia: buku, film, profil perusahaan, gim, podcast, dll. Bloger. Novelis thriller. Pendiri Warung Fiksi. Juga seorang suami dan ayah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

CommentLuv badge

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Maaf, tidak bisa begitu