Beberapa hari yang lalu, seorang kawan menelepon. “Dengar-dengar, kamu sudah jadi penulis terkenal, ya?” katanya. Sepanjang percakapan, frasa “penulis terkenal” itu diulangnya hingga 3-4 kali, dan saya selalu tertawa tiap kali mendengarnya. Bukan hanya karena pernyataan itu jauh dari fakta, tetapi juga karena dia keliru, dikiranya semua orang berambisi tenar.
Saya tidak, Bro!
Percakapan interlokal Tenggarong-Surabaya itu tak urung mengingatkan saya kembali akan percakapan santai dengan paman saya. Waktu itu, kami sama-sama menonton berita di televisi. Beliau tiba-tiba nyeletuk, “Enak, ya, jadi artis. Kamu nggak mau jadi artis aja?”
“Enak apanya?” saya balik bertanya.
“Lho, terkenal! Duitnya banyak.”
“Kalau duitnya banyak, aku jelas mau, Om. Tapi kalau terkenal, apa enaknya?”
Paman saya sepertinya belum percaya dengan apa yang saya katakan. Beliau lantas memberi saya beberapa opsi. Pilih mana, hidup…
a. Melarat dan tidak terkenal?
b. Melarat tetapi terkenal?
c. Kaya tetapi tidak terkenal?
d. Kaya dan terkenal?
Tentu saja opsi A sama sekali tidak menarik. Opsi B mendingan, tetapi… ujung-ujungnya sama saja. Menurut saya, yang ideal adalah opsi C. Sedangkan paman saya memilih opsi D.
Oke, barangkali banyak yang sependapat dengan paman saya. Menjadi kondang dan berlimpah uang memang impian sejuta umat.
Namun, maaf, tidak bagi umat seperti saya.
Sejak dulu, saya tidak nyaman dikelilingi atau menjadi pusat perhatian banyak orang. Barangkali karena saya seorang introver. Atau barangkali karena pikiran logis saya yang bisa mendeteksi bahwa kondang itu identik dengan ribet dan pencitraan tanpa henti. Misalnya…
- Pakaian wajib selalu bagus, modis, dan sesering mungkin ganti yang baru. Kalau tidak begitu, siap-siap saja digunjingkan publik.
- Harus berias setiap keluar rumah. Saya pernah ke toilet Plaza Marina suatu pagi. Di sana, saya bertemu pria-pria yang sedang meminyaki rambutnya, mengurapi wajahnya dengan krim, tak lupa menyemprot parfum. Wow, pria-pria metroseksual! Saya amati, saya buntuti, ternyata mereka kerjanya berdiri di depan konter ponsel, menawarkan gawai-gawai andalan bermodalkan brosur kepada pengunjung yang berlalu lalang. Penjaga konter mal saja perlu berhias seribet itu, apalagi artis terkenal! Saya tidak bisa membayangkan kalau saya yang harus menjalani ritual “berhias diri” seperti itu tiap pagi. Belum lagi perawatan mingguan dan bulanannya. Sudah pasti saya resign dalam seminggu!
- Dituntut selalu tersenyum, tidak peduli sedang gundah, lelah, atau marah. Kalau tidak, masyarakat akan mencap kita sombong.
- Terpeleset atau bertindak konyol sedikit saja, baik di dunia nyata maupun di media sosial, segera menjadi berita. Duuuh….
- Privasi berkurang. Sedang terburu-buru pun harus rela diajak wefie atau dimintai tanda tangan di jalan. Bahkan orang tak dikenal pun bisa tiba-tiba datang, mengajak ngobrol ngalor-ngidul, atau mempresentasikan kerjasama bisnis yang sebenarnya tidak cocok buat kita.
- Lebih sering diundang ke mana-mana. Waktu untuk istirahat, keluarga, dan ibadah semakin habis.
- Tidak lazim minta ditraktir teman. Kitalah yang harus mentraktir setiap kali ada kumpul-kumpul.
- Bolak-balik dimintai sumbangan, termasuk dari lembaga yang tidak jelas. Kalau menolak, kita akan dikata-katai angkuh, pelit, mabuk dunia, kurang beramal, padahal tahu apa mereka tentang amal kita.
- Takkan ada yang percaya kalau kita sedang tidak punya uang. Padahal, selebritas, tokoh politik, atau pengacara top pun bisa bangkrut dan bokek kapan saja.
- Di atas semua itu, sadar atau tidak, kita akan selalu berusaha untuk mempertahankan popularitas ini. Sebuah lingkaran yang tak ada ujung-pangkalnya.
Berbeda dengan orang kaya yang bisa menyembunyikan kekayaannya, ketenaran mana mungkin disembunyikan? Orang yang punya banyak uang, asal tidak banyak bacot, tidak banyak pamer, tidak banyak gaya, mana ada orang lain yang tahu?
Contohnya Mark Zuckerberg. Multimiliuner muda yang bajunya begitu-begitu saja, bahkan istrinya seperti tanpa make up, pakaian, dan perhiasan mahal. Atau almarhum Bob Sadino yang penampilannya sejak zaman Soeharto begitu bersahaja. Seandainya kita tidak mengenal mereka sejak awal dan media tidak mengeksposnya, pasti tidak ada yang tahu mereka ini para taipan.
Sulit Mana, Menjadi Kaya atau Menjadi Terkenal?
Karena saya belum pernah mengalami dua-duanya, menurut saya sama sulitnya. Namun rasanya, menjadi kayalah yang lebih sulit.
Menariknya, ketika sudah kaya, Anda akan lebih mudah menjadi terkenal. Karena Anda bisa menggelontorkan uang untuk menciptakan ketenaran itu. Membeli pengikut atau sering-sering mengadakan giveaway di Instagram adalah contoh paling sederhana dari mekanisme penciptaan ketenaran ini.
Atau bila Anda suka kontroversi, lebih banyak lagi jalan menuju ketenaran. Jadilah YouTuber nyeleneh, tulislah buku yang isinya melanggar norma masyarakat, buatlah situs web yang konsisten mengolok-olok Presiden RI, buatlah fanpage yang terus-terusan menginjak-injak Islam, dan sebagainya.
Atau jika Anda merasa cantik/tampan dan hot, sering-seringlah mengunggah foto atau video yang menampilkan kulit Anda lebih banyak dari biasanya (caption-nya terserah, siapa juga yang peduli caption jika gambarnya sudah “menarik”?). Namun pertanggung jawabkan sendiri perbuatan ini ke Tuhan, orang tua, dan keluarga Anda, ya… 🙂
Bilamana perlu, lakukan kombinasi hal-hal di atas. Asal Anda melakukan semua itu dengan serius (berkualitas) dan rutin (berkuantitas), itu sudah separuh jalan menuju ketenaran. Tinggal tunggu media mengundang Anda atau produser film mengangkat kisah Anda.
Bagaimanapun, kita bisa juga merintis popularitas dengan cara normal. Misalnya, buatlah karya yang bermutu, belajarlah yang benar untuk dapat berprestasi di kantor, sesering mungkin tampillah di depan publik untuk berbagi hal-hal yang berguna, dan sebagainya.
Saya sendiri, entah sudah berapa kali mendapat tawaran tampil kopdar untuk sharing ilmu, baik yang berkaitan dengan bisnis maupun buku-buku saya. Biasanya, yang meminta adalah pihak kampus, forum penulis, penyelenggara seminar profesional, komunitas Google, perpustakaan, taman baca, dan semacamnya.
Sampai sekarang pun masih saja ada tawaran-tawaran itu. Meskipun, semakin ke sini, semakin jarang. Mungkin mereka kapok sering saya tolak atau tidak saya tanggapi, hahaha. Mungkin mereka mulai tahu, saya bukan tipikal orang yang nyaman menjadi pusat perhatian. Mungkin mereka akhirnya paham saya adalah penulis, bukan pembicara, dan saya suka menulis, tidak suka berbicara.
Ya, saya tidak suka tampil di depan publik. Tidak berharap terkenal. Namun tanpa bermaksud menepuk dada, seandainya saya mau, insyaallah saya sudah terkenal sejak dulu.
Begini. Andai saya mau konsisten menerima tawaran-tawaran untuk tampil di depan publik sejak novel pertama saya beredar secara nasional pada 2010, masa, sih, tidak kunjung terkenal?
Sewaktu-waktu, saya juga bisa agresif menawarkan diri. Tidak sedang dalam masa promosi buku pun saya bisa mengajukan diri sebagai pembicara, tentor, atau fasilitator, membedah karya orang lain, menjadi narasumber di televisi, menawarkan diri mengisi rubrik konsultasi di majalah-majalah, mengirim artikel dan cerpen ke sebanyak mungkin media (lokal tidak masalah, honor cuma setara pulsa mingguan pun tidak mengapa, asal nama saya muncul di media itu).
Kalau tetap tidak ada yang mau, saya bisa gratiskan semuanya. Free! Asal saya bisa nongol di publik. Asal saya bisa promosi terselubung karya-karya maupun personal branding saya.
Cepat atau lambat, saya pasti terkenal. Mungkin tetap tidak setenar Eka Kurniawan, Dewi Lestari, atau Raditya Dika. Tetapi setidaknya, jauh lebih terkenal dari diri saya saat ini. Saya yakin. Hakulyakin!
Ikan Harus Tetap di Air, Jangan Dipaksa Terbang
Namun, tidak. Bukan seperti itu karakter saya. Bukan itu yang membuat saya bahagia sebagai penulis.
Saya ini penulis introver yang mencintai ketenangan. Kalau bisa, biarlah karya-karya saya yang lebih kondang. Biarlah orang lebih hafal dengan judul dan cerita novel-novel saya ketimbang nama Brahmanto Anindito atau wajah saya. Sumpah, saya ikhlas.
Penulis yang tidak ingin muncul di permukaan? Orang lain bilang, ini kesalahan fatal. Saya bilang, persetan!
Toh saya tidak mau muncul bukan karena saya sosok rekaan (saya riil, silakan amati akun-akun media sosial saya), penipu, penyebar hoaks, atau menolak mempertanggungjawabkan karya saya. Saya tidak mau muncul, karena saya memang tidak mau. Kenapa tidak mau? Simpel, karena itu tidak membuat saya nyaman.
“Jadi, kamu tidak mau terkenal?” tanya paman saya, sepertinya belum terima. “Beneran?”
Saya menghela napas panjang. “Dari tadi juga sudah kubilang, Om, jadi terkenal itu bukan ambisiku. Bukan prioritasku. Orang-orang saling sikut buat cari panggung, ribut cari lampu sorot, aku malah menghindarinya.”
Paman saya geleng-geleng kepala. “Aneh, kamu itu….”
“Lha, kok Om baru nyadar?”
“Terus, bagaimana caramu jualan buku? Atau membuat buku-bukumu terkenal kalau kamu sendiri nggak terkenal?”
“Nggak harus terkenal dulu untuk bisa jualan buku, Om. Terkenal mungkin keuntungan, tapi bukan syarat mutlak. Ada banyak jurus untuk jualan dan promosi buku. Kita tinggal pilih dan jalankan mana yang sesuai karakter kita. Jangan sampai kita ikan, terus memilih mempelajari jurus-jurus terbang. Ikan ya pakai jurus-jurus berenang. Memaksakan diri untuk belajar terbang, nggak akan bisa, salah-salah ikannya tewas duluan. Betul, nggak?”
Begitulah, inti percakapan kami sore itu. Percakapan ringan yang harus diakhiri karena terdengar azan magrib.
6 replies on “Penulis yang Memilih Jalur Sunyi”
Lebih nyaman jadi diri sendiri ya. Sudah ditakdirkan jadi introvert ya nikmati saja ?
Betul, Mbak. Masing-masing orang ada jalurnya. Nggak usah mencoba mengubah jalur. Jalani aja secara maksimal… dengan bahagia 🙂
Lebih enak terkenl di akhirat sebagai hamba Allah.
Wah, kalau ini, aku nggak bisa komentar apa-apa lagi… 😀
Sebenarnya terkenal itu bukan tujuan, Bram. Cuma kalau memang terkenal ya mau diapakan lagi. Just be your self. Gak perlu weda’an, gak perlu pakai pomade, dan lain-lain kalau itu bukan karaktermu. Orang bilang apa ya suka-suka mereka. Hidup kita ya kita… mau terkenal mau kagak ya tidak ada masalah.
Kalau di industriku, terkenal itu tujuan. Beberapa penerbit malah mewajibkannya. Problemnya, banyak yang mengira semua penulis senang terkenal dan berusaha mengejar ketenaran. Di situ, aku menentukan sikap.